Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Thursday, December 20, 2007

Idul Adha

Ibadah dan Tradisi Muhasabah
Oleh Badru Tamam Mifka

Setiapkali Idul Adha tiba, selalu ada yang mesti kita ajukan:
senjata apa yang terbaik untuk
menyembelih “leher” kebinatangan pada diri kita?

Dalam Islam, setiap ibadah tidak hanya menjelaskan hubungan “mesra” antara seseorang dengan Tuhan (habluminallah), tetapi esensinya juga menjelaskan pentingnya spirit akuntabilitas sosial (habluminannas). Tanpa implikasi sosial dan kepedulian terhadap sekitar, shalat seseorang sekalipun hanya semacam hypocrisy (kemunafikan), atau Allah tak segan menyebutnya “pendusta agama” (QS. 107 : 1-7).

Sejatinya dua matra kesadaran ibadah tersebut bermuara pada komitmen taqwa yang akan melindungi kita dari “penyakit” hawa nafsu yang sewaktu-waktu akan membuat kita jadi manusia “sakit” dan lupa diri. Dalam hal ini, demikian pentingnya kesadaran kritis untuk menangkap pesan substansial dari setiap ritual ibadah dalam menjangkarkan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar.

Tanpa kesadaran kritis menerjemahkan makna simbolis dari setiap ibadah, kita akan terjebak dalam “narsisme religiusitas” yang tak pernah dewasa dalam beragama. Lantas kitapun hanya membiarkan ibadah Ramadhan yang telah lewat misalnya, menjadi sekedar acara rutin tahunan. Kita lupa di bagian mana dalam tubuh ini kita menaruh hikmahnya dan tak berdaya lagi mengamalkannya saat ini. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menerima ego kebinatangan dan banalitas yang tiba-tiba demikian berkuasa mematikan rasa kemanusiaan kita.

Contoh ibadah Ramadhan diatas merupakan salah satu kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Seperti halnya ibadah haji atau lainnya yang hanya dilakukan tanpa semangat pemaknaan yang lebih dewasa. Ibadah dianggap hanya praktik ritual an sich. Akibatnya praktik ibadah jadi statis. Juga shalat yang disebut dalam al-Qur’an dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, pada kenyataannya tak dapat dibuktikan diatas lantai keseharian hidup ini.

Sementara begitu mengherankan bila terdengar bahwa kanker korupsi di negeri yang notabene mayoritas muslim ini masih ganas. Padahal Allah mengecam praktik sesat ini (QS. 2: 188). Yang tak kalah celaka, budaya hura-hura korupsi itu terus menggurita-ria diatas kemiskinan rakyat dan masalah penting lainnya. Disisi lain, kita bersikap masa bodoh karena terlalu tenggelam dalam rutinitas keseharian. Bukankah ini membuktikan bahwa sebagian orang di negeri ini belum bisa menjadikan agama sebagai instrumen mengikis sifat kebinatangan dan mempertebal kepedulian sosial?

Ibadah Sebagai Bentuk Muhasabah
Setiapkali ritual ibadah dijalani, setiap itu pula hadir kemungkinan adanya kesadaran penting soal kritik dari Allah. Seperti ibadah-ibadah lainnya, momen Idul Adha yang hadir adalah sebuah interupsi dari Allah bagi kita bahwasanya seringkali kita tak menyadari masih belum memahami ibadah sebagai proses ”tahu diri”. Karena diri kita sudah terlalu berkarat oleh kotoran hawa nafsu yang jarang dikoreksi. Oleh sebab itu, setiap konsepsi ibadah memberi wilayah yang luas untuk tumbuh-kembangnya kritik.

Semua itu mesti dilakukan dalam rangka membangun ketaqwaan. Tentu saja, kualitas ketaqwaan hanya bisa dikokohkan melalui proses belajar sepanjang hidup (lifelong education). Proses belajar itu bisa dilakukan dengan kemauan keras untuk introspeksi (muhasabah) terus-menerus.

Upaya mengembangkan tradisi muhasabah dalam ranah sosial juga perlu diawali oleh kesadaran diri bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk beribadah. Hayyatuna kulluhu ibadah, demikian Ali bin Abi Thalib berkata, hidup ini seluruhnya ibadah. Muhasabah menjadi teramat penting dalam ungkapan Ali tadi. Karena hidup ini dalam rangka ibadah, maka semangat ketaqwaan dan kemauan untuk introspeksi mesti dilakukan di segala keadaan dan keseluruhan aktivitas.

Ibda binafsik, kata pepatah, mulailah dari dirimu sendiri. Pada mulanya muhasabah binafsi (introspeksi diri). Introspeksi sebagai pelajar dan pengajar bisa berarti mengajukan kritik pada tingkah laku sebagai pelajar dan kualitas mengajar kita. Introspeksi sebagai pemimpin bisa berarti melontarkan kritik pada kelemahan memimpin kita, dan seterusnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas dan fungsi diri. Setelah itu muhasabah ”dikolektifkan” lewat tanggung jawab tawasaubil-haq (kritik membangun satu sama lain), baik level antarpersonal maupun level pemerintahan, dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), bisa dalam bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, bekerjasama memberdayakan rakyat kecil dan sebagainya. Introspeksi (muhasabah) menjadi senjata penting untuk melumpuhkan sifat kebinatangan diri yang acapkali enggan untuk menerima kritik dan berusaha memperbaiki diri.

Alhasil, sepantasnya kita terus bertanya apakah selama ini kita termasuk umat yang “mendustakan agama”, umat yang hirau pada problem sosial, umat yang tega menghardik penderitaan sesama dan tak henti mengisi hidup ini dengan kecurangan, kesombongan, kedzaliman, keserakahan dan kelalaian? Tentu saja, persoalannya apakah kita mau menerima tawaran Allah untuk lebih serius menjalani setiap ibadah sebagai medium memperbaiki kualitas diri atau tidak? Pilihan ada pada manusia. Kita tinggal pilih: deal or nodeal. Wallahu ‘alam.

No comments: