Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, December 14, 2007

Izinkan

Izinkan [Aku Kenal Kamu]
Sebuah refleksi atas tatapan kita kemarin-lusa
Oleh lelaki Disimpang ke-Gilaan

Disaat perjumpaan denganmu
Menatap senyum-Mu adalah segalanya
Hanya bagiku kaulah segalanya
Yang berusaha menasihati dalam perjamuan ini.
Tapi hanya sesaat kita berjumpa
Setelah itu; kita berpisah dalam
Arah yang berlainan

Seperti kayu yang menjadi abu
Lalu tertiup angin
Aku bagaikan puing batu kelabu
Sekarat dihadapanmu

Aku lepas digergaji waktu
Dan merenungi !
Setiap bayang-bayang itu.


Sekedar Prolog;
Bintang gemintang yang menghiasi gelap malam menebarkan khayalnya ke langit yang diselimuti kabut. Khayal yang melekat dilerung-lerung ingatannya memunculkan citra ke-Akuan yang merana dan menderita. Sambil menyaksikan bentangan sayap-sayap khayalnya aku berkata “apakah aku akan kehilanganmu, karena aku merasa memilikimu” khayalku adalah kesunyian yang paling menyiksa jiwaku.

Dalam kesunyian; bulan menghilang
Ketika malam menggenapkan nada burung
Pada batang cemara sunyi.
Ada yang berderai! Ketika;
Seperti jiwa yang bersitahan
Meredam amuk badai dalam gerimis terakhir
Yang menyeret luka telanjang
Keujung selatan paling sunyi-merekahlah kesumat
Dipenghujung malam,
Terdiam lukai setetes nista.
Ketika terselimuti nyanyian subuh.

Terkadang kita memaknai kebenaran sebatas realitas yang nampak, seringkali terjebak pada hal-hal bersifat inderawi. Sesuatu dikatakan real Apabila dapat menyentuh kulit, sebatas mata memandang, alunan bunyi yang masuk lewat telinga dan lain sebagainya. Itu hanyalah gambaran bagaimana manusia dapat mengenal wujud realitas yang material tidak menjelaskan kebenaran yang mutlak, kalau meminjam istilah Plato adalah bayangan dari dunia idea. Lalu timbul pertanyaan apakah realitas itu tetap atau berubah? adakah hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dengan yang berubah? di pihak lain karena Segala sesuatu terus berubah, tak ada yang diam. Realitas yang terus bergerak dianalogikan seperti aliran sungai. Hidup terus berjalan [menjadi] tanpa kita pernah mengerti tentangnya kita tak bisa masuk dua kali ke dalam aliran sungai yang sama.
Hanya ada satu yang benar-benar nyata, yang tidak berubah, yaitu Logos atau rasio (prinsip yang tak berubah atau sebab imanen dalam segala perubahan)

Siapakah Aku?
Merayapi lembah gunung ada luka dalam duka, dilempar kedalam kawah memanjat tebing-tebing sunyi memasuki pintu mistery menggores batu dengan kata sederhana.

Setelah tubuhku lelah berlari dari kekaguman
Untaian lisan; tak lebih dari sekedar bualan.
Tulisan hanya pengantar lelap.
Pada sebatang pohon,
Kusandarkan mimpi atas tubuh yang terkoyak.
Sebelum langit berhenti.
Sekejap;
Matapun tak mampu memandang.

Ketika Gilang pertama kalinya melihat sosok aku yang urakan, kucel, dekil, dan gondrong tak ke urus. Pasti akan punya kesan negatif terhadap penampilanku, sah-sah saja bukan saja kamu yang beranggapan seperti itu bahkan hampir semua orang beranggapan apa yang kamu persepsikan tentang aku. Kenapa orang menstigmakan pandangannya seperti itu? Adakah yang salah dengan diriku? jika suatu objek dipersepsi hanya melalui bentuk visual, maka yang nampak hanyalah sebagian bentuknya saja karena kebenaran yang absolut berada di dunia idea. Dunia yang nampak hanyalah pantulan dari bayangan dunia yang sebenarnya. jangan-jangan semua apa yang kita anggap sebagai kebenaran hanya dilihat dari persepsi indrawi.tidak dalam kaidah subtansi yang sesungguhnya. Atau yang lebih parahnya lagi menurut pandangan orang lain. “Suatu kesalahan yang di ulang-ulang akan menjadi kebenaran”

Seperti cucuran air mata
Membuyar di kelopak pandangan.
Bergemuruh hentakan,
Sudut-sudut alam.Temaram siang itu;
Nampak riuh disiram rintik hujan
Menjadikanya segenggam
Harapan yang telah mati;
Mati dalam mengharapkan mu
Sebagai dewi yang datang dari nirwana
Tatapan;
yang kau siratkan kemarin petang.
Melambai dibarengi Seutas senyum,
Kini; tertinggal Dalam kesadaraan
Seiring nafas berhembus.

Kalau boleh jujur aku anti kemapanan, penampilanku selama ini adalah bentuk protes terhadap pandangan umum. ketika kebenaran hanya sebatas simbol maka nalar (pikiran) manusia telah hilang sebagai makhluk yang konon paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Orang dikatakan baik atau sopan apabila ia berpakaian rapi, selalu pake kameja, rajin kemasjid. Padahal kita ga tahu apa yang ada didalam pikirannya atau dibelakang kita berbuat apa, yang tidak semestinya sebagai makhluk ber-akal. Bagiku kebaikan itu adalah proses menjadi.
Adakah hari esok?
Ku-kenal kamu dari jauh, bergetar hati melihatmu
Matamu bening, suaramu bening
Semangatmu hening, wajahmu lembut
Senyummu lembut wujudmu getarkan rasa.

Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang meringkuk dikedinginan dalam tidur lelap, Aku masih terjaga, duduk dibalik batu yang bisu di saksikan awan yang muram nampak bergejolak oleh goncangan badai. Ada sesuatu yang membuat aku enggan untuk melenyapkan diri dari alam ketersadaran, yang selalu hadir dan mengusiknya hingga akhirnya aku harus merenung dan memikirkan semua itu yang mesti ada jawaban.
Dengan pengalaman aku mengenal kamu,
Melalui ingatan wajah-mu masih terkenang,
Kesaksian akan itu tak bisa terbantahkan.
Berangkat dari rasa ingin tahu;
Tersirat berbagai pertanyaan?
Nalarku menarik pada kesadaran.
Dengan logika; luruskan jalan kesimpulan ini.

Entah melalui jalan Skeptisme, Subjektivisme, Relativisme, Nihilisme, atau dengan mistisme, ah persetan dengan semua itu! Tiupan angin menusuk tulang, hawa dingin menyelimuti tubuh yang merangsek tulang, sesekali aku bergetar dan menggigil Berbatang-batang rokok telah kuhisap, dua gelas kopi hitam habis ku reguk, namun perasaan itu semakin besar menghujam hingga akhirnya aku pasrah dalam ketertindasan memaknainya. Sambil membatin aku berucap “kehilangan adalah kepedihan, berbahagialah engkau, wahai pecinta, yang tak memiliki apa-apa, maka tidak akan kehilangan apa-apa.
Hati yang gusar,
menatap rasa dingin.
gemerlap cahya bulan; sebatas hiasan
matahari tak cerah lagi
tak ada lagi tiupan angin,
bahkan mimpi-mimpipun akhirnya terkoyak
pekat malam
tak goyahkan jasadku
tuk segera terlelap,eksistensi:
sebatas nyanyian di padang syiria.
Lorong pikiranku
berujung di batas kematian,
sang kekasih;
kehembuskan ayat-ayat cinta dalam mimpimu.
Ketika kau sadar, semuanya telah berlalu.
Tak ada lagi cerita indah
Tersisa hanyalah settitik buih pasir
Ditelapak raga.

Aku tak pernah dapat mengenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu untuk mengenal bagian terdalam dari diri seseorang. Pertama kali kita mengenali seseorang tentu berdasar kabar mengenai orang itu, kabar itu memberikan banyak praduga dalam diri kita. Lalu pada saat kita melihatnya secara langsung, sebagian praduga itu berguguran, karena melalui pandangan inderawi sendiri kita menemukan keindahan tubuh yang lebih dari apa yang digambarkan orang lain. Kemudian, dengan mencintai keindahan tubuh yang kita lihat, kita akan mencintai bukan lagi keindahan yang kita lihat itu melainkan juga sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu jiwa yang indah. Dari sana kita menuju cinta akan pemikiran dan ide-ide yang indah, lalu kita bergerak menuju cinta sejati.

Bila ziarahku usai disini,
Sebelum berpapasan dengan nafas-Mu
Ijinkan aku melesap di petapaan
tanpa ada tangisan.
Usia bukan milik kita; Glang,
Hanya satu, pintaku; Glang,
Jalarkan sebaris Edellweis
Senyummu dipusaraku. Aku
Pergi ketempat yang damai nan kekal:
Seabadi potretmu dihatiku

Keramaian yang selalu menggema seketika terasa diam, hampa, tanpa ada nyanyian manusia yang membicarakan hidupnya. Hanya ada aku yang terdiam dipojok reruntuhan jiwa, jatuh tertimpa kenyataan cinta yang enggan menyapa. Yang dimana semua harapan-harapan pencarian kebenaran akan cinta musnah sudah tanpa ada yang tersisa lagi dan akhirnya mati mengenaskan. Akankah cinta itu mewujud dalam wujudnya yang absolut ?

Ciung Wanara, November 21 th 2007 [05;30 am]
[lelaki Disimpang ke-Gilaan]

No comments: