Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, December 24, 2007

Intelek

Kampus dalam Wacana Intelektual dan Oportunisme
Oleh Rimba Alangalang*

Membaca tulisan Pak Endad Musaddad di Radar Banten tanggal 2 Februari 2007, yang berjudul Suburnya Budaya Politik Di IAIN SMH Banten; Lucu, menggemaskan dan menggoda untuk ditanggapi! Saya ingin meloncat lebih tinggi seperti liriknya sheila on 7, berteriak lantang dan mengangkat empat jempol saya buat beliau berani berkata bahwa hal itu salah! Ternyata keresahan melihat fenomena yang terjadi tidak hanya milik saya. Tapi milik kita yang “capek” menjadi penonton dagelan-dagelan yang tidak mencerminkan budaya kampus dengan jargon intelektualitasnya.

Beliau menuliskan bahwa tarik menarik kepentingan dalam pemilihan dekan, wakil dekan dan ketua jurusan sangat kuat terasa. Pesanan-pesanan politik pun banyak bermunculan, lewat SMS, telepon langsung, makan bersama, sampai pada yasinan politik untuk untuk menggulirkan calon-calon yang layak menurut selera politik mereka. Sehingga kriteria akademik, keahlian, gelar, track record begitu saja diabaikan, yang penting satu “madzhab” selesai masalah.


Kampus dan Intelektualitas
Secara garis besar kampus diciptakan untuk mencetak orang-orang yang mempunyai “kadar” intelektualitas yang lebih dari masyarakat biasa. Kalau merujuk pada pengertian intelektual yang dikemukakan George A. Theodorson dan Achilles G. Theodorson. Menurut keduanya, kaum intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinil dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif.

Dengan demikian terdapat beberapa karakteristik dasar yang membedakan antara kaum intelektual dengan anggota masyarakat lainnya. karakteristik itu terutama pada penggunaan intelek, akal fikiran bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tetapi lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide. Dan hal itu sudah tercakup pada sebuah kelembagaan yang bernama kampus. Ketika semua tidak bisa berjalan dengan semestinya, siapa yang mesti disalahkan? Mahasiswa, dosen, atau Rektor dan purek yang tidak bisa merumuskan kurikulum yang pas buat mahasiswanya?

IAIN SMH Banten sebagai sebuah lembaga kampus mestinya bisa melakukan proses intelektualisasi kampus menjadi pusat pengembangan pemikiran Islam. Meminjam istilah Profesor DR. Azyumardi Azra, M.A, bahwa sampai saat ini IAIN masih berfungsi sebagai wadah pembinaan “calon pegawai” dan “guru” ketimbang pemikir dan intelektual Islam. Jadi fungsi IAIN hanya sebatas “training center” ketimbang “center of learning and reseach” atau “center of Islamic thought”.

Seyogyanya semua melakukan langkah-langkah yang lebih konsisten dan konkret untuk lebih memfungsikan diri sebagai pusat penelitian dan pengembangan pembaharuan pemikiran Islam ketimbang menjadikan kampus sebagai panggung perpolitikan. Ini bukan gedung DPR yang sarat dengan lobi-lobi seperti SMS dan yasinan politik demi sebuah dajjal yang bernama “jabatan”!

Akomodasi atau Oportunisme?
Ketika dalam pemilihan pembantu rektor, dekan dan ketua jurusan masih mengedepankan like dislike, mahzab yang sama, chauvimisme dan sebagainya tanpa melihat kualitas seperti yang Pak Endad tulis. Saya pikir sudah sangat Jelas terlihat bahwa pendekatan yang dilakukan oleh “intelektual kampus” semacam itu hanya berorientasi pada kepentingan; baik itu kepentingan pribadi maupun golongan. Bukan pada sebuah prinsip moral yang harus diperjuangkan. Karena biasanya orang yang masih mempunyai prinsip moral bisa membentengi dirinya dari tindakan pragmatis dan mementingkan diri sendiri serta golongan. Karena moralitas dan praktikalitas dalam membuat keputusan dipandang sebagai dua hal yang berbeda dan bertentangan. Lantas apakah orang-orang yang berfikir pragmatis seperti dalam pemilihan pembantu rektor, dekan dan ketua jurusan bisa dikatakan sebagai penganut taat mahzab “oportunisme”? Ya! kemudian apakah sekumpulan oportunis akan melahirkan kaum intelektual? Kemungkinannya sangat kecil.

`Jika seperti itu, dimana peran dosen sebagai pembawa “syariat” yang mengantarkan mahasiswa menjadi kaum intelektual? seharusnya dosen menjadi penuntun jalan bagi mahasiswanya dalam proses menuju keutuhan intelektual, bukannya mengajarkan mahasiswa pada hal-hal yang sifatnya pragmatis. Kebutuhan-kebutuhan mahasiswa harus terakomodasi pada proses penyempurnaan keintelktualan mereka. Saya sepakat Pak Endad; kalau guru kencing berdiri, muridnya pasti kencing berlari! Saya yakin demonstrasi yang tercipta yang kemudian menjadi konsumsi publik lokal dan nasional tidak sertamerta terjadi begitu saja, tapi ada ketidakharmonisan antar masyarakat kampus kita. Misal, sistem yang tidak berjalan atau orang-orangnya tidak menjalankan sistem. Kalau sistemnya berjalan, peraturan berlaku, akibat tersebut tidak akan menjadi lahar yang sewaktu-waktu bisa meledak kembali atau tidak menjadi api dalam sekam yang tiba-tiba membakar semua.

Sekarang mungkin saatnya untuk memilih. Kaum seperti apa yang akan dilahirkan kampus ini. Ulama yang oportunis atau ulama yang intelek? Wallau’alam.

*Mahasiswa IAIN SMH Banten,Pimred buletin Fresh dan redaksi www.rumahdunia.net. Tulisan-tulisannya dimuat di Radar Banten, Fajar Banten, Keren Beken, Aneka Yess dan majalah Sobat.

No comments: