Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Tuesday, December 11, 2007

Iqra..

Bacalah
Oleh Fani Ahmad Fasani

Dalam goa yang gelap, beliau berpuasa dan sering memikirkan tentang beragam hal dari masyarakatnya yang telah begitu lupa akan kebiasaan lama yang wajar dipertahankan. Ia berada disana sejenak mengundurkan diri dari dunia, maksudnya bukan berarti menyangkal dunia dan merasa mampu untuk mengatasinya.

Toh, goa bagian dari dunia. Tetapi kiranya dibutuhkan jarak yang cukup untuk meletakkan hal ihwal dimana kita bisa kerasan memahaminya. Gua Hira tepat di luar Mekkah, berpuasapun mungkin upaya mengambil jarak dari hasrat, dari selera. Ah, aku hanya mampu menebak-nebak tentang hal itu, namun sejarah memang mengatakan bahwa malam kemarin itu atau tepatnya di tanggal ini berbelas abad yang lalu. Ayat pertama itu tertangkap titik bening manusia yang terpilih.

“Bacalah”, (mungkin ada saja hal yang luput terbaca).

”Aku tidak mampu membaca”.

“Bacalah”, (mungkin pembacaan tak pernah bisa selesai sebelum hayat usai)

“Apa yang harus kubaca?” (ada kesepakatan apa antara kata dan tanda baca)

“Bacalah atasnama tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah”.

Ini bukan peristiwa biasa tentunya, meski tak satu huruf kutahu, meski tak sejarak aksara sepakat serta-merta. Waktu memang memilihkan kabar baik bagi kita dan semesta. Tapi tunggu, apa yang diratapi beliau ketika itu? Aku membayangkan banyak orang mulai kaya di suatu daerah, lalu apa masalahnya? Aku membayangkan perdagangan dan ekonomi beranjak hebat di suatu waktu, tapi mungkin juga seiring dengan menjulangnya kesenjangan, kecemburuan, potensi perang dalam eram siap tetas kapan saja. Tentu saja, cara baca yang berlandas pada hal-hal di luar tuhan hanya menampilkan kesia-siaan yang gemilang, terjatuh pada cemas yang itu-itu juga. Kita hanya layak bersyukur sejak itu ayat turun berangsur.

Bukankah ayat adalah segala ada, segala hampar dan segala pernah. Yang jadi masalah adalah keterbacaan yang mulai terpejam, hingga manusia beranjak kejam. Orang-orang sewaktu itu terlanjur membaca dirinya atasnama yang bukan tuhan, tetapi atasnama kebendaan yang berlebihan. Jalur perdagangan menyibukkan nalar akan laba, seteru antar kaum, maka jalan pintas berhala menjadi pilihan mudah untuk sebentar menawar lelah. Lewat manusia terpilih ini kita disadarkan kembali untuk membaca segala hal dengan lebih jeli. Atasnama tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah.

Kita terlalu mengenal dunia seperti ini, maksudku dengan orang-orangnya yang begitu sibuk di benda-benda, seteru menyeru-nyeru, atau dengan cara baca standar yang memberhalakan aksara. Atau mungkin memang seperti inilah, dunia akan selalu bernasib sebagai perkakas hasrat? Tapi tentu yang kita lawan bukan dunia, mungkin keterlenaan lekat tanpa jarak dalam urusannya. Aha, lihat di hari-hari libur. Orang berbondong keluar kota, menciptakan kemacetan rutin dan lampu-lampu villa serentak menyala. Alih-alih untuk ber’puasa’ dan secukupnya menjamah jarak, tetapi kukira mereka menguji naluri, mungkin sekedar mengisi spasi hari-hari. Apakah ini bagian pengalihan sensasi yang justru mengasah hasrat dalam lembab temaram kolong kesadaran dimana Freud bertepuk tangan di selangkangan? Ah, mereka memang tidak hendak mengambil jarak itu, mereka hanya berbelanja suasana.

Aku tidak tahu se-jarak bagaimana setiap hal ihwal terbaca, menepi di bening diri. Kita pernah dibimbing cara baca yang semestinya, lewat nabi sebagai yang terakhir, beliau takkan lagi hadir. Sedangkan kita, masih saja, lebih sering takut untuk terkucil daripada membaca dengan cara yang jahil.

Nuzul al-Qur’an 1428 H

No comments: