Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, February 23, 2009

Agama

Dari Persoalan Agama hingga Tujuh Tafsir
Oleh AHMAD SAHIDIN

Tulisan ini merupakan ulasan sebuah diskusi di sebuah milis yang diikuti beberapa cendekiawan, kalangan akademisi, jurnalis, pekerja buku, mahasiswa, aktivis politik, dan masyarakat umum. Karena materi diskusinya menarik dan ditanggapi oleh orang-orang luar biasa, maka saya tulis ulang dengan bahasa sendiri dan tambahan sedikit dalam ulasannya. Semoga mereka yang terlibat dalam diskusi di milis berkenan (ridha) dengan tulisan ini.

Saat berselancar mencari forum yang bernuansa agama, saya menemukannya. Saya merasa senang bergabung karena milis tersebut telah memberikan “ruang” untuk anggotanya dalam menyampaikan opini atau beradu argumen. Forum yang mencerahkan seperti inilah yang seharusnya dikembangkan lebih lanjut di luar dunia maya, karena akan sangat besar manfaatnya bagi masyarakat.
Setelah saya diterima menjadi anggota milis tersebut, dan karena kebiasan saya yang selalu lempar wacana, saya posting sebuah tulisan tentang agama “yang benar” yang ditulis seorang dosen UIN Bandung di HU.Pikiran Rakyat Bandung, beberapa waktu lalu. Setelah diposting, muncul seorang guru besar dari Islamic Center for Advanted Studies (ICAS) Jakarta dan beberapa penanggap dengan komentar yang cerdas dan kritis.

Diskusi yang awalnya membahas persoalan aliran sempalan yang muncul di Indonesia dan kebenaran agama itu berkembang ke masalah ijtihad yang mendasari lahirnya fatwa-fatwa. Salah seorang doktor filsafat Islam, bersikukuh tidak bisa menerima pendapat seorang jurnalis yang menyebut ijtihad sama dengan critical thingking dan bisa dilakukan siapa saja.

Doktor itu bilang bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan sembarang orang, tapi khusus bagi orang-orang yang memiliki kafasitas keilmuan agama yang di atas rata-rata. Karena ijtihad, yang dalam hal ini mengeluarkan fatwa atas suatu persoalan, sudah masuk wilayah profesionalitas hukum Islam (fiqh) sehingga dibutuhkan syarat-syarat untuk dapat berijtihad. Di antaranya adalah: menguasai bahasa Arab yang baik, menguasai Al-Quran dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, menguasai hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits (sunnah Rasulullah saw), menguasai fatwa-fatwa fiqh ulama sebelumnya (ijma' al-taftisyi), dan lain sebagainya.

Lalu muncul seorang guru besar ilmu budaya dan sastra, yang menilai bahwa syarat ijtihad termasuk hal yang berat; yang sama dengan seseorang yang ingin memperoleh gelar Ph.D. Meskipun memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, keyakinan yang kuat dan niat yang bersih, tapi tetap saja tiap ulama (yang memenuhi syarat) dalam ber-ijtihad hasilnya akan selalu berbeda. Karena dalam ijtihad, seorang ulama atau mereka yang memenuhi syarat, tidak akan lepas dari kepentingan dan tujuan dari ijtihad tersebut. Menafsirkan Al-Quran adalah juga ijtihad, sekaligus jihad. Tetapi bagi yang tidak mampu, disarankan memilih jalan ijtihad ulama dan ulil albab mana yang dirasakan benar dan relevan. Memilih tidak sekadar memilih, tetapi dipenuhi rasa tanggung jawab. Tetapi jika memang sudah siap berijtihad, silakan berijtihad. Tentu ijtihad yang baik disertai tanggung jawab bukan saja kepada diri sendiri, tetapi juga kepada masyarakat. Jika ijtihad di bidang agama, kepada Tuhan yang kita imani harus dipertanggungjawabkannya. Seperti kata pepatah Melayu,`tidak lempar batu sembunyi tangan!`.

Kemudian, seorang pekerja buku hadir menambahkan, bahwa kadang lahirnya ijtihad dalam bentuk fatwa-fatwa agama itu merupakan pesanan dari pihak yang sedang berkuasa atau yang memiliki kepentingan ekonomis dan politis terhadap fatwa tersebut. Sejarah Islam pasca wafat Rasulullah saw hingga kini banyak diisi oleh fatwa-fatwa yang bersifat pesanan. Bahkan, dalam satu mazhab atau organisasi Islam saja para ulama yang berada di dalamnya tidak pernah sama dan berbeda dalam menghasilkan produk ijtihadnya. Karena ijtihad sendiri merupakan bagian dari tafsir dari nash agama untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi, tapi tidak terdapat dalil agama yang menegaskannya. Jadi, setiap ulama atau cendekiawan Muslim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut agama dan lainnya, bersifat tidak mutlak kebenarannya. Ijtihad hanyalah sebuah pemahaman (tafsir) dan tidak menjamin seratus persen dapat mengantarkan seorang muqalid (pengikut ijtihad) ke surga. Karena itu, produk ijtihad seorang mujtahid (ulama) tidak bersifat mutlak dan boleh ditinggalkan atau dikritik, termasuk 24 fatwa yang keluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama III MUI di Padangpanjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009.

Selanjutnya, diskusi yang berlangsung berhari-hari itu memusat ke masalah tafsir dan kebenarannya. Seorang pekerja buku mengatakan, dalam penafsiran nash-nash agama sangat banyak bentuk tafsir yang dihasilkan. Bahkan, dari tafsir itu sendiri kadang melahirkan penafsiran-penafsiran yang beraneka ragam dari karya tafsir tersebut. Ia mengutip pernyataan Abu Ja`far—ayah Imam Ja`far Ash-Shadiq—bahwa dalam satu ayat Al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirannya mengandung beberapa penafsiran lagi.

Sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Tafsir Sufi Al Fatihah: Mukadimah—diterbitkan PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal: 22-23—“Bahwa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam. Jabir bin Yazid al-Ja'fi berkunjung pada gurunya, Imam Muhammad al-Baqir as. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Abu Ja'far a.s sesuatu yang yang berkenaan dengan tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban sebelum ini’. Imam berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya Al-Quran ini ada batinnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi’.”

Menurut Kang Jalal, yang dikatakan Imam Baqir itu merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw yang terkenal, ‘Ina lil qur-aani dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi, sampai tujuh batin). Hadis ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I, hal: 550), Al-Itqan (jilid 2, hal: 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, hal: 459), `Ilal al-Syara`i (hal: 606), Ushul al-Kafi (jilid I, hal: 374), Tafsir al-`Iyyasyi (jilid I, hal: 2,11,12), al-Khishal (jilid 2, hal: 358), al-Mahasin (hal: 300), Bashaa-ir al-Darajat (hal: 196), Shahih Bukhari (jilid 4, hal: 227), Shahih Muslim (jilid I, hal: 561) dan lainya.

Persoalan tafsir memang tidak pernah selesai hingga muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama (Islam), akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau pemahaman agama yang beraneka ragam. Dari perbadaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte-sekte kecil yang berpisah karena berbeda dalam memahami pemahaman dari sebuah tafsir atas nash-nash agama—yang dipahami pemuka agama (ulama) sebelumnya. Wajar jika Abdul Karim Soroush, cendekiawan Muslim Iran, mengatakan bahwa pemahaman agama dan ilmu-ilmu agama bersifat tidak sakral dan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zamannya.

Persoalan agama dan hal-hal yang berkaitan dengan agama, memang selalu tidak pernah usang diperbincangkan manusia. Dari mulai kiyai, ustadz, dosen, guru, petani, pekerja bangunan, jurnalis, insinyur, pebisnis, pekerja buku (editor, desainer, ghost-writer dsb), ibu rumah tangga, mahasiswa, dan lainnya, pasti pernah membincangkannya. Adakah wacana yang terus hidup dalam kehidupan manusia, selain wacana yang berkenaan dengan agama?


AHMAD SAHIDIN,
Pekerja buku

No comments: