Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, February 6, 2009

Pemilu

Pemilu dan Dosa
Oleh REZA SUKMA NUGRAHA

Ada ungkapan menarik dan menggelitik. Penduduk Indonesia dan umat Islam pada umumnya tidak sukses dalam berkarier dan penghidupannya miskin. Maka, jangan ditambah dengan kepastian masuk neraka. Demikian kira-kira yang ditulis oleh budayawan populer, Cak Nun, dalam salah satu tulisannya di salah satu media massa. Semua orang tentu tahu, apa yang sedang ia komentari? Yaitu, menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal golput.

Suhu politik di Indonesia pada tahun 2009 memang sedang membara. Karena pada tahun ini akan dilangsungkan pesta demokrasi akbar. Tak ubahnya, pasar kaget yang digelar di tengah hiruk pikuk masyarakat yang sedang kebingungan. Bingung mencari “pedagang” mana yang lebih jujur atau paling sedikit curangnya. Karena kerjaannya saling banting dan menjatuhkan. Bingung mencari “barang dagangan” yang lebih berkualitas tapi harganya yang terjangkau. Utamanya, mereka bingung mencari uang untuk belanja barang dagangan tersebut. Hal terakhir memang tak hanya ungkapan konotatif belaka, namun demikian faktanya bahwa masyarakat sedang terhimpit aneka beban, termasuk ekonomi.

Kenyataan tersebut muncul seiring krisis multidimensi yang dialami oleh masyarakat. Hal yang paling signifikan adalah krisis kepercayaan masyarakat kepada para calon pemimpin dan calon wakil-wakil mereka. Masyarakat khawatir para calon pemimpin hanya memanfaatkan mereka dengan mengeksploitasi suara-suara mereka dalam pemilihan umum kelak. Pun dengan para calon wakil-wakil rakyat yang dikhawatirkan hanya mewakili kalangan ekslusif tertentu setelah mereka begitu percaya diri memukau masyarakat luas dengan janji-janji.

Bukan maksud menafikan sosok-sosok yang konsisten terhadap perjuangan dan kebenaran. Namun semua itu hanya sinekdoke belaka. Cap subjektif tersebut muncul seiring menjamurnya krisis ketauladanan dari para pembesar negeri ini. Hingga sebagian masyarakat yang terdiri dari awam, apatis, atau mungkin kritis menghakimi bahwa pemilihan umum mendatang tak memberikan warna lain politik kita. Dengan demikian, putusan hati untuk memilih tidak memilih adalah jawabannya.

Golput, Ekspresi Belaka
Dalam kondisi seperti ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tiba-tiba berperan penting dalam alur drama politik kita. Alih-alih membawa maslahat, Senin (26/1) lahir fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memilih pemimpin bila ada pemimpin yang Islami. MUI menilai pemimpin Islami itu ada. Kemudian masyarakat pada umumnya menafsirkannya sebagai fatwa haram bagi tindakan golongan putih (golput). Maka, satu lagi “pantangan” bagi umat muslim Indonesia, yaitu golput dalam Pemilu.

Bagi sebagian besar masyarakat, fatwa tersebut bisa jadi momok mengerikan. Karena masalah selera menentukan nasib akhirat seseorang. Betapa tidak, mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Tak sedikit dari jutaan penduduk muslim merupakan muslim taat dan masih memegang tinggi kredibilitas MUI sebagai pencipta fatwa. Sehingga kata “mengerikan” memang pantas saat MUI dengan maksud yang bias mengeluarkan fatwa tersebut.

Siapakah figur Islami itu? Siapakah figur ideal yang diyakini MUI masih ada dalam deretan nama calon-calon pemimpin masa depan Indonesia? Karena dengan mudah, MUI menganggap masih ada calon yang diharapkan itu. Padahal, persepsi MUI dengan jutaan masyarakat Indonesia terutama muslim akan berbeda. Baik menurut MUI belum tentu baik menurut masyarakat.

Masyarakat terutama umat muslim pun tahu, bahwa dengan tidak memberikan suaranya pada Pemilu mendatang, mereka tetap akan mempunyai pemimpin. Artinya, sangat tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia menjadi golput dan akhirnya Indonesia tak memiliki sosok pemimpin. Dengan demikian, putusan golput yang diambil masyarakat bukan dalam rangka Indonesia menjadi negara tak berpemimpin, namun sebuah luapan rasa ketidakpuasan masyarakat pada calon-calon pemimpinnya.

Kalau saja golput itu memungkinkan Indonesia menjadi tak berpemimpin. Mayoritas muslim di Indonesia mungkin akan terkena dosanya karena telah melalaikan nilai-nilai agama yang mewajibkan sebuah negara memiliki seorang pemimpin. Hanya saja, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, selayaknya peran serta lembaga keagamaan tidak mengintervensi hak-hak pribadi seperti urusan warga dan negaranya dalam partisipasi Pemilu mendatang. Wallahu alam.

No comments: