Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, February 27, 2009

Intelektual

Peran Kaum Intelektual Dalam Perubahan Sosial
Oleh James Petras

Pengantar
Membicarakan atau menulis tentang “kaum intelektual” hari ini, kita harus merujuk pada tataran posisi politik, mulai dari sayap kanan ekstrim (neoliberal-neokonservatif), melewati kanan-tengah (sosial-liberal), lalu menapak pada kiri-tengah (sosial demokrat), hingga sampai pada kiri-revolusioner (Marxis). Di dalam dan di luar kategori politik ini, kita juga memasuki dataran ekologi politik, feminis, gay, ras dan identitas etnik.

Sebagai tambahan, intelektual politik ini berada dalam latar (setting) kelembagaan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah pemimpin-pemimpin dalam NGO (organisasi non-pemerintah), yang lain ditemukan di dunia akademik. Sebagian lainnya berkutat sebagai “intelektual publik,” wartawan, profesor, penasehat-penasehat serikat buruh, pemimpin-pemimpin partai politik, agamawan dan penulis lepas.

Untuk tujuan paper ini, saya ingin memberikan fokus pada kaum intelektual kiri-tengah (center-left/CL) dan intelektual kiri-revolusioner (revolutionary-left/RL). Fokus pada dua kelompok intelektual ini karena keduanya paling mudah diidentifikasikan dengan proses perubahan sosial yang progresif. Kaum CL umumnya bermain dalam latar kelembagaan. Sementara intelektual RL ditemukan terutama sebagai “intelektual publik” dan di universitas-universitas.

Pembedaan antara intelektual CL dan intelektual RL adalah jauh dari tetap seperti pada massa-masa sebelumnya. Faktanya, gambaran utama intelektual kiri adalah “cair/fluidity” atau “bergerak” di antara identitas politik. Pergeseran terbesar adalah pergeseran dari RL menjadi CL dan selanjutnya menjadi kanan-tengah (liberalisme sosial) dan akhirnya menjadi neoliberal. Ada beberapa mantan gerilya di kawasan Amerika Latin, yang pada 1960an dan 1970an adalah seorang revolusioner. Tapi, kini mereka telah menjadi menteri neoliberal, senator dan wakil rakyat. Mereka juga menjadi pembela militerisme, imperialisme, sektor agribisnis dan kontra-pemberontakan. Sebaliknya, sebagian kecil yang dianggap sebagai intelektual kanan-tengah kini bergerak menuju kiri-revolusioner, khususnya setelah dekade 1990an, lebih khusus lagi setelah mereka berumur di atas 50 tahun.

Apapun pergerakan dalam politik dan loyalitas politiknya, kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik, khususnya di Amerika latin – di bawah kondisi-kondisi tertentu. Kaum intelektual memang tidak selalu secara langsung membengaruhi politik massa, tidak juga mereka memimpin atau mengorganisir perjuangan massa, kecuali klaim-klaim dan pretensi-pretensi sebagian dari mereka.

Intelektual menjadi penting karena (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial dan politisasi klas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik dan program-program bagi rejim, gerakan dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi dan berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Dalam paper ini, saya ingin fokus pada dan secara kritis membandingkan peran intelektual kiri-tengah (CL) dan intelektual kiri revolusioner (RL) dalam menyediakan kepada gerakan dan partai sebuah diagnosa dan solusi-solusi politik.


Metode dan Analisis

Diskusi kita akan fokus pada peran intelektual CL dan RL di Amerika Latin, setelah lebih dari 25 tahun. Kita akan fokus pada dua garis pembatas: (a) peran intelektual reformis dan intelektual revolusioner dengan merujuk pada beberapa peristiwa penting; dan (b) analisis kritis atas konsep-konsep prinsipiil yang diuraikan oleh intelektual CL dan RL.

Terdapat empat peristiwa penting yang akan kita diskusikan: (a) “transisi” dari kekuasaan militer ke politisi-politisi sipil yang terpilih melalui pemilu; (b) kebangkitan dari apa yang disebut “gerakan sosial baru/new social movement” pada dekade 1980an (identitas gerakan) dan dekade 1990an (massa tani, pengangguran dan gerakan Indian); (c) kemunculan rejim-rejim “kiri-tengah” yang terpilih melalui pemilu pada milenium baru; dan (d) ekspansi kapital ke seluruh dunia dan peningkatan secara cepat perang imperial.

Konsep, yang dipopulerkan oleh intelektual CL akan dihadapkan dengan konsep yang digunakan oleh intelektual RL. Ini termasuk diskusi tentang “transisi demokrasi/democratic transition” versus “transisi menuju politik elektoral otoritarian/transition to authoritarian electoral politics”: gerakan sosial baru dengan “basis identitas”/new “identity-based” social movement” versus “gerakan sosial berbasis kelas/class-based social movement”: dan “globalisasi/globalization” versus “imperialisme/imperialism.” Pada bagian terakhir paper ini, saya akan mengevaluasi performa intelektual CL intelektual RL dalam pengertian diagnosis politik mereka, solusi-solusi politik yang ditawarkannya dan konsekuensinya bagi perubahan sosial.

Intelektual Reformis dan Intelektual Revolusioner: Menguji Peristiwa-peristiwa Kunci.

Baiklah kita mulai dari catatan selama periode diskusi (1980-2005), dimana mayoritas terbesar intelektual kiri berada di barisan kaum reformis: kiri-revolusioner pada masa itu dan hingga kini jumlahnya minoritas. Tapi ini bukan dasar dari paper ini untuk menganalisa dan menjabarkan mengapa kasus ini terjadi. Tujuan saya adalah menganalisasi relevansi dan validitas posisi-posisi politik yang diserap oleh kedua kelompok intelektual dimaksud.


Transisi Menuju Demokrasi

Intelektual reformis berpendapat, “transisi menuju demokrasi” ditandai oleh pergeseran kekuasaan dari militer ke politisi sipil hasil pemilu. Mereka berpendapat, legalisasi partai, pers, pemilihan umum dan kebebasan individual merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk kepentingan “demokrasi.” Kiri-revolusioner mencatat, keberlanjutan struktur kelas, aparatus ngara (militer, pengadilan, intelijen dan bank sentral), model ekonomi dan pengambilan keputusan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, merupakan penentu utama kebijakan sosio-makroekonomi.

Kaum reformis tidak sulit untuk menerima argumen yang disodorkan oleh kelompok kiri-revolusioner bahwa struktur yang otoritarian tidak berubah dan mendesakkan pembatasan-pembatasan dalam sistem politik. Tetapi mereka menilai, “perubahan pesat” adalah mungkin dan selanjutnya secara bertahap akan terjadi keadilan yang lebih besar. Sebaliknya intelektual revolusioner berpendapat, kerangka kerja politik elektoral berada dalam posisi subordinat dari lembaga-lembaga negara kapitalis dan kelas berkuasa (ruling class) dan secara organik tidak memiliki kapasitas untuk mentransformasikan masyarakat atau bahkan dalam menyebarkan kemakmuran dan meningkatkan standar kehidupan.

Sebuah survey yang lebih detil mengenai 24 tahun politik elektoral di Amerika Latin menunjukkan, asumsi-asumsi kalangan intelektual CL, bahwa politik elektoral merupakan instrumen bagi perubahan sosial terbukti gagal. Selama seperempat abad, seluruh variasi regim politik di seluruh Amerika Latin, gagal dalam meningkatkan standar hidup, redistribusi kemakmuran, mempromosikan pembangunan nasional atau menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti perumahan, distribusi tanah, pekerjaan dan denasionalisasi ekonomi. Sebaliknya, rejim elektoral menjadi semakin tergantung pada negara imperialis dan paket kebijakannya semakin buruk. Kepemilikan tanah semakin lebih terkonsentrasi; perbedaan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah semakin lebar; sebagian besar perusahaan-perusahaan publik telah diprivatisasi dan didenasionalisasi; dan ratusan miliar dollar dirampas dari buruh dan ditransfer ke bank-bank asing untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo.

Di semua tempat dan di semua negara, sistem elektoral mengekspresikan karakter kelas yang dominan – mengkonfirmasikan analisis kiri-revolusioner. Seluruh “reformis kiri” yang masuk ke dalam rejim pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan administratif yang buruk dan mendapat tekanan dari rakyat yang menentangnya. Telah jelas bahwa analisa dan solusi-solusi yang diberikan oleh kiri-reformis – transisi demokrasi bermakna politik elektoral akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah keliru dan gagal. Sebaliknya, analisis kiri-revolusioner menjelaskan tentang keberlanjutan kekuasaan borjuis dan kapitalis telah membatasi “transisi: adalah benar dan masuk akal.


Gerakan Sosial Baru
Dalam perkembangan selanjutnya, para intelektual kiri yang terlibat dalam proses elektoral tidak memimpin untuk perubahan sosial, tapi membangun apa yang disebut “gerakan sosial baru.” Sekali lagi, muncul perdebatan tentang bagaimana komposisi sosial dan agenda sosial gerakan ini. Kalangan “reformis” – sering juga disebut “post-modernis” – menekankan “identitas sosial” sebagai lawan dari definisi kelas. Selama periode 1970-1980an, intelektual reformis mengklaim bahwa “identitas” baru – sebagai basis gerakan telah menggantikan gerakan yang berbasis-kelas, seperti gerakan yang berbasis ekologi, etnis, feminis dan gerakan gay. Intelektual revolusioner, walaupun tidak menolak kelompok identitas, mencatat bahwa perjuangan massa dari gerakan sosial berbasis kelas-etnik, seperti CONAINE di Ekuador, Cocaleros di Bolivia, Zapatista di Meksiko dan gerakan pedesaan berbasis klas di Brazil seperti MST, merupakan kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. Kaum intelektual reformis selalu mencatat keuntungan yang terbatas dari perubahan yang dilakukan oleh segelinter “elite” di dalam kelompok “indentitas.” Sebaliknya, gerakan sosial berbasis kelas sangat berhasil dalam merealisasikan beberapa perubahan mendasar, dalam menjatuhkan rejim neoliberal dan memblok undang-undang dan peraturan pemerintah yang merugikan.

MST di Brazil, yang berbasis pada perjuangan kelas, memaksa pendudukan terhadap jutaan hektar tanah dan memindahkan 350 ribu keluarga (lebih dari 1,3 juta orang) ke sektor pertanian. CONAINE sukses menjatuhkan dua presiden neo-liberal; pekerja pengangguran dan kelas menengah yang dimiskinkan di Argentinga, berhasil memaksa presiden Fernanado De La Rua untuk keluar dari istana; buruh dan gerakan petani di Bolivia juga sukses menjatuhkan presiden Sanchez de Losada dalam mempertahankan industri perminyakan negeri itu.


Politik Elektoral dan Kiri-Tengah
Perdebatan di antara intelektual-intelektual reformis dan revolusioner semakin mendalam, khususnya bersangkut dengan masalah “jalan elektoral atau jalan revolusioner menuju kekuasaan politik dan perubahan sosial.” Sebagian terbesar intelektual reformis dan dan lebih banyak lagi intelektual “revolusioner” mendukung kandidat dari kiri-tengah yang terlibat dalam pemilu, termasuk Toledo di Peru, Gutierrez di Ekuador, Lua Da Silva di Brazil, Vazquez di Uruguay dan Kirchner di Argentina, sebagai intrumen reform sosial. Sebagian kecil minoritas intelelektual revolusioner, menolak para politisi itu. Mereka berpendapat, para politisi tersebut dan partainya memang tidak terlalu jauh dari kiri tetapi, telah bergerak ke kanan dan mengadposi IMF, neoliberalisme dan ALCA.

Para intelektual reformis mempengaruhi para pemimpin gerakan sosial dan massa pendukungnya untuk mendukung politisi-politisi kiri-tengah. Sementara para intelektual kiri-revolusioner sangat sedikit dan tidak memiliki pengaruh ketika pemilu dilangsungkan dan sesudahnya. Hasilnya sekarang telah kita saksikan: Lula, Gutierrez, Toledo dan mereka yang mendaur ulang kekirian, telah berbalik menjadi seorang neoliberal yang memperdalam dan memperluas privatisasi, mempromosikan perluasan agro-bisnis di atas penderitaan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, memindahkan ratusan miliar dollar ke bank-bank internasional, menyetujui undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak pensiunnya dan mempromosikan penghisapan Amazon di atas penderitaan masyarakat adat. Konsekuensi dari strategi intelektual reformis yang mendukung “kiri-tengah” adalah hancurnya gerakan sosial. Di Ekuador, serikat buruh minyak di tindas, CONAINE kehilangan dukungan dari anggota-anggota terpercayanya ketika para pemimpinnya berhasil dikooptasi oleh Gutierrez. Di Brazil, MST mengalami disorientasi politik, menderita represi dan terusir dari tanah yang telah didudukinya. Di Uruguay, rejim Vazquez mengikuti petunjuk-petunjuk IMF, mendukung investasi asing oleh pencemar-pencemar besar (perusahaan selulosa) dan memaksakan upah umum yang “terbatas” terhadap serikat buruh. Semua itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan para pemimpin serikat buruh prestisius dan intelektual kiri-reformis yang mendukungnya.

Setelah tahun-tahun penerapan kebijakan brutal neoliberal, banyak dari para intelektual-reformis yang pada dasarnya mendukung partai kiri-tengah berkuasa menjadi kritis terhadap rejim. Mereka lebih aktif mengkritisi kebijakan-kebijakan rejim yang salah (mistaken policies), ketimbang mengikuti kritik sistematik yang dilakukan oleh intelektual revolusioner. Sementara itu, para intelektual kiri-revolusioner, karena validitas diagnosanya, pengaruhnya semakin meningkat di kalangan sektor-sektor yang sebelumnya terilusi oleh intelektual reformis. Penyelesaian masalah (prescriptions) melalui tindakan politik revolusioner bagi perubahan sosial yang diadvokasikan oleh intelektual kiri-revolusioner mulai memperoleh getarannya pada beberapa sektor gerakan massa. Para pemimpin gerakan-gerakan massa itu menerima metode perjuangan revolusioner tapi, tidak dengan sendirinya bertujuan revolusioner.


Globalisasi atau Imperialisme
Arena perdebatan keempat antara intelektual reformis dan intelektual revolusioner adalah menyangkut diagnosa mereka mengenai watak dan motor penggerak kapitalisme global. Kaum reformis berbicara tentang globalisasi dan penciptaan sebuah tata dunia baru yang didominasi oleh korporasi-korporasi multinasional (MNC) yang melintasi batas-batas negara. Mereka mengadakan perlawanan terhadap globalisasi ini dengan cara menggalang pertemuan “raksasa” yang tidak mengandung muatan kelas dalam pertemuan “forum sosial” atau menjadi demonstran setia dalam setiap ajang pertemuan yang dilakukan oleh elite-elite internasional.

Intelektual revolusioner berpendapat, gambaran utama dalam epos kita hari ini adalah bangkitnya kekuatan militer imperialis Amerika yang berhadapan dengan imperialisme Eropa dan Jepang, untuk mengontrol dunia. Kebangkitan militer itu ditandai dengan kebijakan negara imperial yang agresif memelopori perang dan penaklukan kapitalis. Kalangan reformis fokus pada ekspansi ekonomi MNC tanpa mengantisipasi perang imperialis di Yugoslavia, Afghanistan dan Iraq, intervensi CIA dalam kudeta di Venezuela dan ancaman perang bergelombang Amerika di Timur Tengah. Sementara itu, kalangan intelektual revolusioner fokus pada sentralitas negara imperial, perang imperial dan pendudukan kolonial. Bagi kalangan intelektual RL, inilah bukti yang lebih relevan untuk memahami watak dan motor penggerak dunia kontemporer.

Lebih dari itu, analisa kelas dari kalangan intelektual revolusioner lebih berdayaguna sebagai alat untuk memahami watak dari efektivitas perlawanan terhadap imperialisme, ketimbang konsep yang tidak jelas dari “massa.” Gerakan massa pengangguran di Iraq, misalnya, menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan kolonial Amerika. Petani, buruh dan pengangguran di Amerika Latin menjadi pemimpin dalam mengalahkan klien-klien imperial dan mencegah privatisasi listrik (Meksiko), air (Bolivia) dan pelabuhan (Uruguai). Sejumlah besar petani-bersenjata melawan imperialisme dan neoliberalisme di Kolumbia, Nepal dan Filipina. Sekali lagi, ideolog-ideolog reformis globalisasi gagal memberikan diagnosis yang memadai dan aksi-aksi politik yang efektif. Forum Sosial dan pertemuan massa terbukti kehilangan efektivitasnya. Sementara itu, intelektual revolusioner yang fokus pada imerialisme dan perlawanan kelas-nasional, sanggup mendapatkan penerimaan yang luas karena korespondensinya dengan realitas.

Pendekatan konseptual-teoritis yang saling bertentangan antara intelektual revolusioner dan intelektual reformis ini memberikan pnegaruh yang besar pada perjuangan untuk perubahan sosial. Kami telah menunjukkan tipikal pendekatan kalangan reformis yang sangat mempengaruhi para pemimpin gerakan massa dan massa ketimbang analisis kiri-revolusioner. Namun demikian seiring berjalannya waktu, kami menemukan bahwa diagnosa, deskripsi, prediksi dan praktek intelektual reformis telah menyebabkan kekacauan ekonomi dan konsekuensi politik yang merusak. Hasilnya adalah penguatan rejim “neoliberal” baru dan aliansinya dengan imperialisme, yang selanjutnya menghasilkan penyebaran dan disorientasi gerakan sosial.

Sebaliknya, diagnosa dan solusi untuk perubahan sosial yang dikemukakan oleh intelektual kiri-revolusioner semakin populer di kalangan pemimpin rakyat dan sedikit demi sedikit berdampak pada massa. Semakin hari, pengaruh mereka semakin meningkat, khususnya ketika analisa itu mereka kemukakan kepada gerakan sosial, gerakan akar rumput dan di kalangan intelektual. Masalah kunci yang dihadapi oleh beberapa intelektual revolusioner adalah mereka terisolasi dari perjuangan massa dan mereka tidak mempunyai akses kepada media untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.

Konsekuensinya, perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa. Di sini dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi reform-reform mendesak melalui metode kepemimpinan revolusioner menuju perjuangan untuk kekuasaan negara oleh organisasi kelas yang independen. Hanya rejim revolusionerlah yang mau melakukan perubahan struktural dalam hubungan kepemilikan, struktur kelas dan negara yang permanen dan berkelanjutan.


6 Maret, 2005
Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org.

SUMBER: http://coenpontoh.wordpress.com/2005/10/15/peran-kaum-intelektual-dalam-perubahan-sosial/


No comments: