Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, February 6, 2009

Kalam

Diperlukan Kalam Kemiskinan
Oleh BAMBANG Q ANEES

Harian ini pernah memuat artikel tentang pentingnya Fiqh Rakyat yang mengarahkan fiqh pada pengelolaan ibadah muamalah untuk penanganan kemiskinan rakyat. Namun lebih dari Fiqh, Indonesia lebih membutuhkan rumusan Kalam yang dapat mendasari orientasi fiqh tersebut.

Kebutuhan ini sangat mendesak bagi ummat Islam Indonesia, terlebih data BPS menunjukkan bahwa kemiskinan negeri ini meningkat 1,8 persen dari tahun sebelumnya, angka kemiskinan negeri ini berkisar 17,8 %. Sementara itu Bank Dunia mengumukan fakta yang lebih mengejutkan, hampir 50 % penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan di bawah 2 Dolar AS perhari. Berhadapan dengan data ini, agama tak bisa tinggal diam. Apalagi Islam merupakan agama yang mengklaim diri sebagai pemberi keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi semesta raya. Membiarkan kemiskinan terus berlanjut merupakan pengingkaran terhadap hakikat keislaman, atau membuat keislaman kehilangan inti ajarannya. Maka, seperti doa sapujagat yang kerap dilantunkan rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah, kita mesti merumuskan penciptaan kehidupan hasanah di dunia yang akan berimplikasi pada hasanah di akhirat.

Relasi Kalam dan Fiqh
Pendasaran kalam bagi rumusan fiqh telah ada dalam tradisi pemikiran Islam. Para fuqaha telah memulainya berabad silam, mereka terlebih dahulu merumuskan fiqh akbar (yang berisi argumen-argumen teologis) yang kemudian menjadi dasar perumusan fiqh (hukum-hukum tindakan tertentu). Kalam adalah rumusan iman dan aqidah, sedangkan fiqh adalah realisasi iman dalam bentuk tindakan. Tanpa kalam, fiqh berjalan tanpa kesadaran dan orientasi; sebaliknya tanpa fiqh, rumusan iman tidak terbukti dalam tindakan nyata. Maka, perumusan fiqh saja tanpa kalam seperti merumuskan suatu aturan tanpa mempertimbangkan kesiapan subyek pelaksana dan penerimanya; akhirnya rumusan fiqh hanya menjadi sekumpulan hukum yang tidak pernah bisa direalisasikan.

Lebih dari itu, rumusan fiqh rakyat bisa jadi tidak begitu dibutuhkan. Fiqh di Indonesia telah memiliki beragam ibadah yang terhubung dengan (kemiskinan) rakyat. Zakat, Infaq, shadaqah, dan waqaf misalnya merupakan perintah yang cukup dikenali oleh ummat Islam Indonesia. Sayyid Sabiq, ulama fiqh yang menjadi rujukan ummat Islam Indonesia, misalnya menafsirkan ayat al-Quran 70:24-25 (dan orang-orang yang pada hartanya ada hak yang tersurat, bagi yang meminta pertolongan dan melarat) dengan pernyataan, “Inilah hak orang-orang yang memerlukan pada harta orang-orang kaya; yang ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka (berupa sandang, pangan, dan papan) serta kebutuhan pokok lainnya yang amat diperlukan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia“.

Ini berarti sudah ada hukum yang mendorong umat Islam Indonesia untuk berpihak pada kemiskinan rakyat. Perkaranya adalah kenapa seluruh ibadah untuk pengentasan (kemiskinan) rakyat ini tidak juga berdaya atau berjalan lambat? Bila hukumnya sudah ada, maka persoalan utamanya berada di luar hukum, melainkan pada kesadaran pelaksanaan. Ada dua pola kesadaran umum ummat Islam dalam memandang ibadah zakat, infaq, shadaqah. Pertama, zakat dilakukan hanya sebagai pengugur kewajiban. Implikasinya, 1) bila seseorang sudah menunaikan zakat, ia merasa ibadah sosialnya sudah selesai; 2) penunai zakat tidak mempedulikan keberadaan mustahik, yang penting hanya menunaikan zakat. Implikasinya, pelaksanaan ibadah zakat tidak mempertambah kepedulian umat berpunya pada kaum mustadh’afin. Padahal, hakikat ibadah adalah riyadhah (pelatihan) bagi ummat agar terus menjadi penuh kasih sayang dan menyebarkan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Ini berarti, zakat hanyalah latihan bagi tumbuhnya sikap peduli kemiskinan. Al-Quran menyebutkan bahwa ketaatan paripurna pada Allah ditandai dengan menginfaqkan hal yang paling disukai (QS. Ali Imran, 92), bukan sekadar memberikan 2,5 % dari harta.

Kedua, memandang mustahik sebagai obyek, yang ditolong , dan lebih rendah. Seorang muzakki lalu merasa telah berjasa atas harta zakatnya, serentak memandang rendah terhadap mustahik. Padahal hakikat zakat adalah memberikan hak mustahik yang ada pada harta muzakki demi pembersihan harta si muzakki. Pada pengertian ini justru muzakkilah yang merasa tertolong oleh keberadaan mustahik, melalui mustahiklah harta orang-orang kaya jadi bersih dan penuh berkah.

Kedua pola kesadaran ini menunjukkan perlunya paradigma baru dalam memaknai ibadah, bukan rumusan fiqh baru. Paradigma baru itu berbentuk kalam.

Rumusan Awal Kalam Kemiskinan
Al-Quran sebenarnya telah secara tegas memberikan landasan bagi kalam kemiskinan. Surat al-Ma’un menyatakan bahwa ketidakpedulian pada fakir dan miskin merupakan ciri utama “pendusta agama”; QS 105: QS 7:157 menegaskan kriteria orang mengimani Rasulullah sebagai yang melepaskan beban kemiskinan, sedang QS 104: 1-3 mencela orang yang menimbuh harta (tidak membagikan harta kepada fakir miskin). Sementara Rasulullah dengan tegas menyatakan tidak beriman kepadaku yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya (HR al-Hakim dan Thabrani).

Berdasarkan teks-teks di atas dapat dirumuskan batasan iman baru, misalnya seseorang dapat beriman bila ia dapat membebaskan satu orang miskin. Sebaliknya seorang disebut kafir bila menolak untuk memberi sedekah kepada orang miskin (QS. 2: 54; 41:7, 9: 34). Batasan iman dan kafir ini berlaku bagi semua orang, kaya atau miskin. Melalui cara ini si kaya akan terdorong untuk peduli fakir miskin agar ia terlepas dari klaim kafir, setiap orang berpunya akan memiliki satu orang (atau satu keluarga miskin) yang terus dibebaskan agar -mengutip Sayyis Sabiq– supaya hidup layak sebagai manusia. Sementara si miskin akan berupaya membebaskan dirinya dari belenggu kemiskinan sebagai bukti dari keimanannya, ia akan menggunakan zakat yang diterimanya sebagai modal pembebasan diri.

Semangat dasar kalam ini adalah bahwa mayarakat miskin tidak boleh hanya dijadikan obyek, tetapi harus terlibat, menjadi subyek pemberantasan kemiskinan. Melalui cara ini, pemberantasan kemiskinan dapat lebih bermartabat dan sesuai harkat kemanusiaan. Memandang mustahik sebagai obyek dan merasa telah menolong mustadh’afin dengan memberikan zakat, berarti memperlakukan mustahik sebagai obyek. Kalam kemiskinan harus dapat merumuskan sikap iman yang lebih manusiawi dan mebebaskan.

Melalui kalam kemiskinan -atau sejenisnya-barangkali sejumlah fiqh yang sudah dikenal ummat Islam Indonesia lebih berdaya. Wallahu A’lam

No comments: