Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Monday, February 23, 2009

Hati

Sirnanya Kecerdasan Hati
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Adalah filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650) dengan postulat cogito, ergo sum-nya yang terkenal yang menjadi pilar utama bagi perkembangan ilmu dan dunia modern.
Terjemahan bahasa Indonesia postulat ini adalah: Saya berpikir, karena itu saya ada. Dengan postulat ini apa yang kemudian dikenal dengan 'Kecerdasan Intelektual' (KI) atau 'Kecerdasan Otak' (KO) menjadi sangat dominan.
Sebagai seorang yang pernah dididik dalam lingkungan Katolik, Descartes masih mempercayai eksistensi Tuhan sebagai pencipta dua kelas substansi yang membentuk keseluruhan realitas. Satu kelas adalah substansi berpikir, atau minda (minds), dan yang lain adalah substansi yang diperluas (extended substances), atau benda/raga (bodies). Menurut Descartes, minda sebagai kekuatan berpikir merupakan prasyarat bagi keberadaan manusia. Dengan kata lain, manusia yang tidak berpikir sama saja dengan tidak ada.

Dampak postulat ini terhadap perkembangan ilmu dan teknologi modern sungguh dahsyat. Alam tidak saja untuk dijinakkan, tetapi sekaligus ditaklukkan dengan segala akibatnya bagi lingkungan hidup manusia yang semakin kehilangan keseimbangan. Apa yang dikenal dengan bencana alam sebagian disebabkan oleh kerakusan manusia dalam mengeksploitasinya sampai batas-batas yang sangat jauh. Jika demikian, semata bergantung dan berpedoman kepada KI atau KO sama sekali tidak memadai. Dunia modern ternyata tidak semakin ramah. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan bentuk kecerdasan lain yang dapat membuahkan kearifan, simpati, empati, dan rasa tanggung jawab yang seluruhnya bertahta dalam domain 'Kecerdasan Hati' (KH). Psikologi dan kajian keagamaan modern umumnya menggunakan ungkapan 'Kecerdasan Emosional' (KE) dan 'Kecerdasan Spiritual' (KS). Resonansi ini menawarkan istilah lain dengan substansi yang tidak jauh berbeda berupa KH.

Untuk menghemat ruang, saya tidak akan larut dalam berbagai teori tentang kecerdasan ini. Saya ingin segera turun ke dunia perpolitikan Indonesia kontemporer yang tampaknya telah semakin kehilangan KH. Saya mengamati bahwa prinsip pragmatisme politik telah menjadi acuan prilaku harian sebagian besar politisi kita. Sedikit sekali di antara elite yang sedang menguasai panggung wacana sekarang ini yang secara serius mengaitkan langkah-langkah strategisnya dalam bingkai yang lebih luas: kepentingan masa depan yang jauh dari bangsa dan negara ini. Kritik terhadap prilaku yang tidak sehat ini hampir saban hari kita ikuti dalam berbagai media cetak dan elektronik, tetapi pengarunya tidak kunjung terasa dalam peningkatan kualitas perpolitikan kita. Padahal, demokrasi Indonesia yang banyak dipuji pengamat luar itu bisa saja gagal memberi keadilan dan kesejahteraan kepada rakyat banyak, jika para pemainnya sunyi dari KH. Sirnanya KH dalam cara kita mengurus masyarakat, bangsa, dan negara pasti akan berbuntut panjang yang sarat risiko: masa depan Indonesia telah diperjudikan dengan cara yang latah.

Siapa di antara kita yang masih risau dengan kenyataan bahwa kedaulatan bangsa dan negara ini telah semakin digerogoti oleh pihak asing melalui berbagai cara dan agen-agen domestiknya? Di mana kini nasionalisme yang dulu sangat anti penindasan, eksploitasi, dan diskriminasi? Tersisa berapa persen dari pemimpin sekarang ini yang masih sadar akan makna sentralnya alinea pertama UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.

Dengan penjualan aset-aset negara secara besar-besaran kepada pihak asing secara tidak bertanggung jawab, bukankah itu sama artinya dengan membiarkan batang leher kita digorok oleh sistem penjajahan yang dulu menjadi musuh utama nasionalisme Indonesia?

Dari domain KH-lah terutama, bukan dari domain-domain lain-lain, mengalirnya kearifan, rasa tanggung jawab, kesediaan belajar dari kekurangan dan kegagalan masa lampau untuk segera diperbaiki. Politik yang tunakearifan dan tunarasa tanggung jawab jelas akan semakin menjauhkan bangsa ini dari realisasi cita-cita luhurnya yang telah dirumuskan dengan bijak oleh para tokoh pergerakan nasional.

Kesimpulannya: harus muncul kekuatan-kekuatan sipil guna terus menghidupkan kepekaan sejarah dan rasa tanggung jawab secara sungguh-sungguh demi melawan tarikan pragmatisme politik di tengah-tengah kesunyian KH.

http://republika.co.id/koran/28


No comments: