Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Friday, February 6, 2009

Bersama

Bandung Sebagai “Ruang Bersama”
Oleh RADEA JULI A HAMBALI

Kepemimpinan itu tindakan, bukan posisi atau jabatan
(Donald H MacGannon)

Pesta demokrasi masyarakat kota Bandung untuk memilih pemimpinnya (walikota) secara langsung akan segera digelar. Munculnya tiga calon pasangan yang ikut meramaikan pesta demokrasi ini menjadi kesempatan sekaligus momentum berharga bagi masyarakat untuk menentukan secara bebas pilihannya dalam rangka melahirkan sosok pemimpin yang bisa mengelola dan menata Bandung ke arah yang lebih baik.

Siapapun yang akhirnya keluar sebagai pemenang, tidaklah penting. Yang teramat mendesak untuk segera dilakukan setelah pesta demokrasi ini usai adalah kesanggupan sang pemimpin terpilih itu untuk benar-benar menunaikan segala janjinya, dan membuktikan bahwa bujuk rayu yang pernah ditebar di mimbar-mimbar kampanye dan disampaikan di arena-arena konsolidasi bukanlah trik yang diharapkan mengundang simpati dan hadirnya dukungan semata.

Mengingatkan sang pemimpin untuk tidak lupa atas segala janji dan rencana yang hendak dilakukannya setelah dia terpilih menjadi salah satu agenda politik yang krusial di republik ini. Faktanya, sang pemimpin datang dan pergi, tapi kehadirannya dalam ruang publik sering tidak searah dengan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Diakui atau tidak, performa pemimpin baru di berbagai daerah di republik ini belum memberikan solusi yang memberikan harapan tentang terpenuhinya rasa keadilan, keamanan dan kesejahteraan hidup masyarakat.

Pesta demokrasi masyarakat kota Bandung, mudah-mudahan bisa menjadi pengecualian. Kita berharap pemimpin yang terpilih adalah sosok yang bisa memenuhi harapan masyarakat dan menjadi pemimpin yang berkualitas.

Pemimpin berkualitas
Yang layak disebut sebagai pemimpin berkualitas adalah sosok yang memiliki kemampuan mengenali masalah sebelum masalah itu meledak menjadi situasi darurat: kerusuhan sosial dan gelombang amarah dalam wujud demonstrasi. Dalam konteks ini, pemimpin yang berkualitas akan tampil sebagai orang yang pertama kali memegang tanggungjawab dalam mendefinisikan realitas yang menjadi basis kebijakan publik. Realitas itu adalah kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial yang menuntut adanya kebijakan publik yang memihak pada masyarakat bawah yang sering jadi korban.

Pemimpin yang berkualitas yang diharapkan tampil sebagai orang nomor satu di kota Bandung adalah sosok yang menyadari dan mengakui posisi dirinya sebagai pelayan masyarakat dan bukan sosok god father yang piawai dalam memberikan komando ataupun instruksi. Sejatinya, dorongan untuk menjalankan visi sebagai sosok yang melayani tidak datang dari posisi atau jabatan walikota, tetapi dari kesadaran menempatkan diri selaku pelayan masyarakat yang bekerja demi kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, bukan kesejahteraan dan kemakmuran pribadi, kelompok, golongan dan partai politik pengusungnya.

Dapat dipastikan, pemimpin yang berkualitas pada akhirnya selalu tampil dan menjadi sosok yang inspiratif bagi masyarakatnya untuk tidak hanya percaya pada kemampuan pemimpin, tetapi juga percaya pada kemampuan warga masyarakat yang dipimpinnya. Di titik ini, sang pemimpin akan menjadi uswah hasanah (contoh terbaik) yang menegaskan bahwa ruang publik adalah tempat dimana setiap warga bebas dan merdeka dalam merealisasikan agathon (kebaikan) yang bermanfaat bagi kehidupan, tidak sekedar untuk Kampf um anerkennung (perjuangan untuk mencari pengakuan), tetapi juga berpartisipasi dan menjadi dinamo penggerak dalam menciptakan situasi ke arah yang lebih baik.

Di sini, perlu juga ditambahkan, bahwa pemimpin yang berkualitas adalah sosok yang harus memiliki kemampuan malampaui kesempitan sektoral dan sektarian. Dalam konteks ini, Bandung sebagai kenyataan geografis, antropologis ataupun sosiologis terasa jauh lebih besar dan melampaui bidang-bidang sektoral yang spesifik seperti bisnis, akademis, ataupun kepentingan kelompok tertentu.

Dengan ini, sang walikota terpilih haruslah memandang dan mengupayakan lahirnya sebuah kebijakan dan bentuk pelayanan yang tidak hanya berpihak dan menguntungkan segelintir warga ataupun golongan tertentu dalam masyarakat. Kebijakan yang dibuat haruslah dalam rangka memelihara dan mempertahankan Bandung sebagai sebuah entitas besar yang di dalamnya tumbuh kemajemukan.

“Yang-lain”
Dalam kerangka itu, modal sosial (social capital) yang harus diupayakan oleh pemimpin terpilih Kota Bandung adalah penataan suatu ruang publik dimana setiap warga memiliki persefsi dan kesadaran bahwa keragaman ataupun kemajemukan merupakan fakta alamiah yang tak bisa ditampik.

Pemimpin terpilih haruslah memberikan contoh bahwa dalam kemajemukan, kehadiran yang-lain (the others) atau yang berbeda (baik dalam nilai, ideologi ataupun keyakinan) tidak akan dipersefsi sebagai bahaya laten yang mengancam keutuhan dan persatuan. Di tangan pemimpin yang berkualitas, kehadiran yang-lain ataupun yang berbeda adalah media pembelajaran untuk memperkaya konsepsi diri yang pada kenyataannya selalu dalam proses menjadi, seperti tampak dalam refleksi Martin Buber yang menyatakan, I require a you to become, becoming I, I say you (aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau).
Karenanya, manakala terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi kehadiran yang-lain ataupun yang-berbeda sang pemimpin kota Bandung terpilih diharapkan menjadi ujung tombak dalam memprovokasi pentingnya dialog dan komunikasi yang tulus dan bermartabat. Dalam konteks ini, penggunaan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan akan diletakan sebagai cara-cara yang tidak dibenarkan.

Sebab, dalam kerangka dialog dan komunikasi, kehadiran yang-lain dengan keunikan dan keberbedaannya akan dilihat sebagai bagian dari kehidupan yang sudah sewajarnya dan menjadi bagian integral dalam ranah kekitaan. Kekitaan merupakan kebersamaan yang dibina dengan ciri kesetaraan (equality), toleransi dan spirit primus inter pares. Setiap pribadi diterima dan menerima pribadi yang lain.

Pesta demokrasi masyarakat Kota Bandung akan dicatat oleh tinta emas sejarah, jika pemimpin yang terpilih berhasil mewujudkan Bandung sebagai “ruang bersama” dimana setiap warganya memiliki kebebasan untuk mengada dan kemerdekaan untuk mengaktualisasikan dirinya. Bandung sebagai “ruang bersama” adalah proyek prestisius sebab di dalamnya ditemukan kebajikan untuk mencintai dan mengupayakan suatu kehidupan yang saling menghargai, merawat, dan mengembangkan. Semoga***

Dimuat di Harian Umum KOMPAS, 11 Agustus 2008

No comments: