Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Wednesday, February 11, 2009

Pancasila

Paradoks Pancasila
Oleh JAKOB SUMARDJO

Pancasila adalah sebuah konsep paradoks positif, bukan paradoks sebagai sebuah negasi. Konsep Pancasila sekarang adalah konsep modern yang menilai paradoks sebagai sebuah negasi. Akibatnya, Pancasila hanya hiasan bibir belaka.

Dimulainya tahun 1945 ketika Soekarno dan Muhammad Yamin mempersoalkan filosofi negara yang akan dibentuk. Pada waktu itu rumusannya amat sederhana, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme. Bahkan, kedudukan Ketuhanan ditaruh sebagai sila kelima, bukan pertama. Namun, dalam perkembangannya, rumusan Pancasila dipasang dalam konsep modernis sehingga konsep paradoksnya semakin kabur.

Persoalannya, bagaimana hubungan kelima sila itu satu sama lain? Pancasila itu satu entitas, bukan lima, meski terdiri dari lima pokok, yang kalau diperhatikan justru saling bertentangan satu dengan lainnya. Jadi, dasar negara itu mau demokrasi atau sosialis? Mau nasional atau global? Atau sebenarnya hanya satu entitas saja, yakni negara Ketuhanan? Bagaimana sistem hubungan antara kelima sila tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang dapat dipahami secara rasional?

Dualistik antagonistik
Kini, penerimaan kita adalah Pancasila merupakan kumpulan urutan sila-sila yang pemahamannya campur aduk seperti gado-gado. Inilah tabiat buruk bangsa ini, yaitu suka mengoleksi nasihat dari berbagai sumber tanpa menukik pada asas dasarnya. Bangsa ini gemar sekali kedangkalan. Terima saja semua nilai yang kita anggap positif, lalu hafalkan dan hubungkan sendiri.

Itulah makna Pancasila kita sekarang ini, kumpulan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, ”keadilan sosial bagi seluruh bangsa”, dan lain-lain, yang membingungkan kalau dijadikan satu keseluruhan. Itulah sebabnya Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian ditafsirkan sebagai agama.

Jika benar bahwa Pancasila bersumber dari kebudayaan nenek moyang Indonesia, dan telah berlaku sejak zaman dahulu kala, konsep dasarnya adalah paradoks. Bahwa lima itu tunggal dan tunggal itu bisa tiga, bisa lima, bisa delapan (astabrata), bisa tiga puluh tiga. Kelihatan satu padahal dua, tampak dua sebenarnya satu. Dwitunggal abadi kita. Mangrwa, kata Tantular. Dualistik antagonistik sekaligus komplementer.

Itulah sebabnya rumusan asalnya amat sederhana dan mendasar. Negara ini didasarkan atas demokrasi, kebebasan, tetapi sekaligus sosialistik, keterikatan. Didasarkan pada kebangsaan, kelokalan, sekaligus keuniversalan, global. Persoalan global-lokal sebenarnya sudah ada sejak Pancasila ada. Dan, hasil dari seni perpaduan paradoks itu adalah Keesaan yang bernilai transenden, yang kita sempitkan dalam pengertian ”Tuhan”.

Cara berpikir modern yang hanya mengenal kebenaran tunggal dari segala dualisme akhirnya luput menangkap pemikiran paradoks semacam itu. Itu sebabnya Pancasila menjadi semacam gado-gado, dari ”hal-hal yang paling baik”. Pancasila itu berarti lima secara harfiah, bukan lima paradoks yang bermakna tunggal. Lalu, apa arti dwitunggal, tritunggal, pancasila, mencapat kalimo pancer, tigo tungku sajarangan, dalihan nan tolu?

Mengandung dualisme

Konsep kebenaran paradoksal Indonesia ini dengan bagus sekali dirumuskan dalam Kropak 422 yang berhuruf Sunda lama dan bahasa Sunda lama. Bunyinya: Aku adalah kau sebagai aku, atau aku adalah dia sebagai aku. Maka, paradoks Pancasila dapat dibaca sebagai: Lokal adalah global sebagai lokal, global adalah lokal sebagai global. Kebebasan adalah keterikatan sebagai kebebasan, keterikatan adalah kebebasan sebagai keterikatan. Yang partikuler adalah universal sebagai partikulernya, dan universal adalah partikuler sebagai universal. Buah dari seni paradoks tadi adalah sesuatu yang baru, segar, belum ada sebelumnya, yang di luar semuanya, yang mengatasi semuanya, yakni sesuatu yang transenden. Itulah Esa yang sejati.

Karena Esa itu paradoks, maka kebebasan mengandung keterikatan, kasih sayang mengandung ketegasan, keserakahan kapitalisme mengandung kedermawanan sosialistik, yang tremendum itu fascinosum (menakutkan sekaligus memesona), yang tunggal mengandung yang banyak, politik terbuka itu mengandung ketertutupan, otonomi itu mengandung sentralisasi, banyak partai itu satu tujuan, ramah-tamah itu kelugasan sekaligus, bineka itu eka dan eka itu bineka.

Dalam cara berpikir ini, kejaran Pancasila itu adalah Eka, Esa. Dan, Esa itu mengandung dualisme-dualisme yang harus dicari titik temunya. Jadi, dinamikanya sentripetal, memusat, membikin pancer, menciptakan yang tunggal itu. Dari realitas mencapai kualitas. Atau sebaliknya, yakni dinamik sentrifugal, dari kualitas nilai tertentu disebarkan dalam segala yang dualistik itu.

Membela kehidupan
Konsep Pancasila itu membela kehidupan, merangkul semua yang ada. Kenyataannya, dunia ini selalu dipenuhi oleh hal-hal yang saling bertentangan. Cara berpikir modern yang linear adalah matikan musuhmu kalau kau mau hidup. Yang lain itu tak punya hak hidup. Yang boleh hidup itu hanya yang menang. Kebenaran itu tunggal, yakni kebenaran milik si pemenang. Karena kita ini Pancasila modern, kita tak henti-hentinya bertengkar saling meniadakan.

Ternyata praktik Pancasila itu malah dilakukan negara-negara yang tidak memiliki Pancasila. Partai-partai boleh berbeda konsep, tetapi target akhirnya tetap sama, yakni kesejahteraan bangsa dan negara. Kesetiaanku pada partai berhenti ketika kesetiaan pada negaraku memintanya, kata negarawan Inggris.

Pancasila adalah sesuatu yang being sekaligus becoming.

JAKOB SUMARDJO, budayawan dan pembina LPIK UIN SGD Bandung

SUMBER: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/31/03571261/paradoks.pancasila

No comments: