Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Aku..?

Aporistik Sebuah Aku
Oleh Ahmad Sahidin

SUDAH lama ingin menulis yang kurasakan. Karena persoalan finansial, fasilitas, dan ruang-waktu yang tidak memungkinkan, niat pun tinggal niat. Akhirnya dengan sedikit upaya kukerjakan, sekedar untuk sendiri. Dan catatan ini, bagiku, bukan sekedar menyimpan yang tak dirasakan; menangkap yang tak ditakutkan orang lain; melihat yang tak dilihat orang lain; atau mendengar yang tak didengar maupun segala sesuatu yang tak pernah dihirau-sentuh-setubuhi dengan yang sudah digariskan mereka (yang punya standar otoritas). Tapi catatan ini adalah, mungkin sesuatu yang ingin “hadir” ketika kehadirannya dianggap yang-lain (the others). Maka wajar bila ada yang berpendapat, catatan ini bukan pengetahuan, bukan ilmu, dan bukan apa pun selain imaji seorang aku yang menginginkan “hidup dengan kehadiran” diriku (al-hayati bil hudhuri).

Baiklah, catatan ini kuawali dengan cerita yang terdapat dalam buku Alam Pikiran Yunani, karya Mohamad Hatta, yaitu tentang filsuf Yunani klasik. Thales namanya. Ia orang yang senantiasa memisahkan diri dari pergaulan biasa dan senang memikirkan alam hingga pikirannya pun terikat terhadapnya. Suatu hari Thales berjalan-jalan. Matanya asyik memandang keindahan di langit. Dalam perjalanannya itu ia terjatuh di sebuah lubang hingga seorang perempuan tua menertawakannya, “hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tetapi jalanmu di atas bumi ini tidak kau ketahui”.


Membaca cerita kelengahan Thales di atas, bagiku terasa menonjok ulu hati. Karena cerita tadi benar-benar sedang menyindirku yang ingin mengetahui hal-hal yang berada di luar diriku, metafisika, budaya, sejarah, dan agama yang berkembang sampai hari ini—lazim disebut abad postmodernism. Karena itu aku membaca, bertanya, dan berdialog dengan orang-orang hebat dan cerdas dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang sifatnya ontologis-eksistensial, epistemologis, dan aksiologis.

Namun dari tiap hal yang kupertanyakan seringkali memunculkan tanda tanya yang tidak berkesudahan. Akhirnya kuputuskan untuk membaca semua khazanah intelektual Barat dan Islam. Tanpa disadari, selama proses itu dijalani, aku sampai pada satu pertanyaan fungsional yang membuatku tersentak. Aku kaget dan tidak dapat menjawabnya. Dan yang tidak kumengerti adalah kenapa aku bingung? Bukankah apa-apa yang kulakukan dan kuinginkan adalah kehendakku? Bukankah aku dengan kebingungan atas pertanyaanku itu, berarti aku sedang dikuasa-kendalikan oleh pertanyaanku—begitu kata Michel Foucault?
Aku sadar atas itu. Namun pertanyaan itu kian terus mendesak pikiran dan hatiku untuk menjawab. Akhirnya kuberikan jawaban. Namun tiap jawaban yang kuberikan dipertanyakan kembali oleh diriku. Aku bingung dan tidak tahu apa-apa, kenapa dan mengapa aku memikirkan pertanyaan dan jawaban? Sampailah pada titik simpul, bahwa aku tidak tahu! Saat keadaan inilah aku pilih diam—karena inilah satu-satunya jawaban yang kupunya.
Aku tertawa terkekeh-kekeh menertawakan diriku yang tidak tahu. Tapi dalam kondisi ini pula aku mulai melanglang-buana, peristiwa dan kejadian yang dialami sejak kecil hingga sekarang hadir kembali. Kurenungkan hal demi hal, masa demi masa yang pernah kulalui dan kulakukan. Satu demi satu kubuka, kubongkar, kuratapi, kuejek, dan kutertawakan hingga sampai pada titik yang menakutkanku, yaitu ketika kini aku tidak dapat menemukan makna dan apalagi untuk menghadir-hidupkannya.

Aku paham bahwa ini proses untuk mengetahui dan menemukan “misteri” dibalik hidup dan kehidupan, kosmos dan metakosmos, atau tentang aku dan hakikat kesejatianku.
Ya, proses mencari-mengetahui-memahami-merasakan dan menemukan “yang-sejati” ini yang mungkin harus kuraih dengan yang ada dan kupunyai sekarang. Tapi apa yang kupunya? Bukankah aku sebenarnya adalah makhluk yang tidak punya apa-apa karena semua pengetahuan yang kubaca dan kuterima; atau yang ada dan melekat sejak aku ke dunia adalah "titipan" yang ingin menjadikanku sesuai dengan kehendaknya sekaligus sekedar prestise saja.

Apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan? Apa yang kau tuju? Jawablah kawan!! Inilah yang kupertanyakan pada diriku : apa sesungguhnya yang paling utama dan yang menjadi tujuan sejati?
Berkenaan dengan ini aku teringat para filsuf eksistensialis Barat yang menganggap kehidupan manusia adalah yang paling mendasar sehingga nilai-nilai humanis adalah rujukan yang paling penting untuk diperbincangkan. Aku sendiri tidak yakin dengan yang mereka katakan. Sebab bagiku hidup tidak hanya selesai dengan, untuk dan demi kemanusiaan. Kalau yang seperti ini dijadikan jaminan, mungkin aku bukan lagi manusia tetapi sama dengan mawar, melati, anggrek dan tumbuhan lain. Yang ketika habis masa tumbuhnya akan mengering, lalu mati dan muncul benih-benih baru darinya dan kemudian berkembang, tumbuh dan berganti dengan yang baru dari jenisnya tadi. Jika manusia seperti itu, untuk apa manusia mengerjakan kebaikan, kejujuran, memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan serta kebahagiaan, jika semuanya tidak berbekas dan bermakna karena kita semua berakhir begitu saja? Dimanakah letak pertanggungan jawab para pembelot, pemerkosa, penindas, koruptor, perampok harta rakyat dan pelaku kejahatan serta keburukan yang sifatnya batiniah (dengki, iri, benci, sombong, sakit hati dll) jika tidak kita ketahui dan tidak terhukumi dengan hukum dunia? Akankah semua itu selesai begitu saja? Ataukah itu semua hanya menjadi catatan sejarah sehingga dari masa ke masa terus mengalirkan “dendam-sejarah” ke tiap-tiap “tunas” yang akan tumbuh dan menggantikan masanya?

Aku kira tidak seperti itu. Tapi ketika kupikirkan lebih mendalam, aku mengalami ke-mentok-kan dalam membongkar misteri ini. Di sini aku tambah yakin bahwa inilah yang “pelik” sekaligus bukti keterbatasanku untuk memahami “sesuatu” (yang meskipun telah diupayakan ilmuwan, teolog, filsuf, sufi dan seniman serta orang awam) yang tetap saja tidak selesai-selesai saking misteriusnya.

Ya, aku ingat bagaimana lelaki yang bertubuh pendek, berambut keriting dan wajah yang kurang bagus. Ia adalah seorang homoseksual yang lahir ke dunia di abad Sebelum Masehi untuk mendobrak keyakinan dan pegangan "kebenaran" yang berlaku saat itu. Ketika itu yang dominan adalah kalangan sofisme yang membawa manusia pada lubang ketidakpastian. Adalah Sokrates yang sadar atas krisis yang sedang berkecamuk hingga bermaksud memperbaikinya.

Sayang, kesadaran akan kepastian yang diusungnya itu disalahpahami sebagai penghinaan terhadap Dewa-dewa Yunani dan nyawa pun jadi tebusannya. Begitu pula beberapa ratus tahun setelah Sokrates, tepatnya di Romawi ada peristiwa tragis. Yakni di bulan Februari 62 Masehi, seorang Kaisar bernama Nero bersama pengawalnya, Ofonius Tigellinus, melakukan penculikan perawan dari jalan-jalan Roma dan dibawa ke kamarnya. Istri-istri para senator dipaksa berpesta seks dan menyaksikan suami-suaminya dibunuh di depan matanya. Yang paling bejad adalah, Nero jatuh cinta pada sesama jenisnya, yang kemudian di rias, mengibirinya dan diberlangsungkan pernikahan dengannya. Dan masyarakat saat itu hanya bisa mengeluh bahwa, hidup mereka mungkin lebih baik seandainya ayah Nero, Domitius, mengawini perempuan lain. Maka pada kondisi ini Seneca sebagai filsuf dan guru Kaisar Nero merasa malu atas tindakan muridnya yang dehumanis hingga memutuskan pergi ke luar Roma dan menuliskan aforismenya :

musim salju mendatangkan cuaca dingin
dan kita pasti menggigil
musim panas kembali dengan hangatnya
dan kita kegerahan
musim pancaroba mengganggu kesehatan;
kita pun jatuh sakit
dan ditempat tertentu kita bertemu binatang buas,
atau bertemu orang yang lebih ganas dari binatang

dan kita tidak dapat mengubah tatanan ini;
terhadap hukum (alam) ini jiwa kita harus menyesuaikan diri
ini yang harus diikuti;
ini yang harus ditaati;
kita lebih baik bertahan terhadap apa yang tidak bisa berubah

Inilah bahasa tentang realitas yang melingkupi Seneca, yang merasa kesulitan—atawa meureun sieun aya mamala ti luar dirina mun diseratna sagemleungna—sehingga meminjam metafor peristiwa alam yang dahsyat untuk mengkabarkan ketidakberdayaannya terhadap kekuataan dan kekuasaan Kaisar Romawi. Yang di bulan April 65 Masehi, Seneca di tuduh mengkudeta Kaisar Nero, sang muridnya yang bengis. Karena itu ketika berkenaan dengan datangnya algojo yang hendak menjemput kematian Seneca; yang ketika tahu tentang itu sang filsuf buru-buru menyilet nadi diengkel lengan dan belakang lututnya. Karena tindakannya itu terlalu lambat untuk dapat menjemput ajal, kemudian—merujuk eksekusi Socrates di Athena (Yunani) 464 tahun sebelumnya—Seneca meminta secangkir racun untuk menyelesaikan hidupnya.

Dengan kata lain, Seneca ingin seperti Socrates yang membuktikan keyakinannya terhadap "realitas" yang bukan sesungguhnya. Sehingga jelas bahwa “wujud” adalah benar-benar realitas maujud (ashalat al-wujud). Karenanya, baik itu Seneca maupun Socrates dengan tindakannya menegaskan, bahwa "kenyataan"—yang meskipun berbeda dengan "harapan" dan "hasrat diri"—harus dihadapi dengan penuh ketenangan dan kesiapan yang total. Artinya, siapa pun orangnya, yang masih mengaku manusia harus tegar menghadapi rasa ngarasula jeung perkara-perkara nu matak mamala; atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan mempersiapkan diri dan memahami bahwa dunia (dan hidup) mengandung struktur dasar yaitu : benturan antara harapan dan kenyataan.

Karena itu, jangan disalahkan bila para filsuf menggusur persoalan filosofis ke wilayah keseharian hingga pada mukasyafah, dan akhirnya menemukan “puncak” musyahadah. Dan orang yang mencapainya, dalam keberadaannya tidak lagi merasa : Aku-Narsis-Solipsism, tapi ia akan : Aku-Altruis-Wisdomism. Inilah realitas (haqiqiyah) dari dijadikannya manusia, agar tahu bahwa ia tidak-sendirian sekaligus sendirian diantara ketidaksendiriannya itu. Konsepsi ini pula yang kemudian melahirkan pemahaman relatif dan plural, sehingga tampak (dalam masyarakat) bahwa kehidupan, manusia, dunia, dan alam semesta tidak tunggal. Lalu, adakah yang benar-benar di luar term tersebut, kalau semuanya tunggal dalam keanekaan yang plural; sekaligus plural dalam ketunggalannya?

Aku tidak dapat langsung menjawab "ya" atau "tidak"—karena kata dan term itu semua hanya fenomena yang perlu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jelas di sini perlu perangkat episteme dan metodologi. Akan tetapi, katakanlah sejak Sokrates dengan dialektika-kritis induktif, Plato dengan deduktif-spekulatif transendental, Aristoteles dengan silogistis-deduktif, Plotinus dengan kontemplatif-mistis, Descartes dengan skeptis; atau sekarang dengan fenomenologi, hermeneutika dan semiotika (sebagai pisau-sayat yang dipakai posmodernisian dan posstrukturalisian) hanya rekayasa dan penciptaan realitas di atas realitas-haqiqiyah—dan hanya bersifat asimtotis dan after the fact (istilah Rolland Barthes) saja.

Bahkan seingatku, seorang filsuf muslim bernama Mulla Shadra (hidup di Abad 16 Masehi) yang dianggap berhasil mengungkap pengetahuan yang bukan dari pikiran manusia, tapi berasal dari “alam-lain” yang melampaui ontologi-realitas (rasional) maupun keseharian (emperis). Namun bila direnungi, ternyata Shadra hanya mampu membahasakannya lewat asfar aqliyat al-arba`ah sebagai simbol perjalanan menuju maqamat terakhir. Sebuah pengembaraan dari keadaan kegelapan dan kepolosan dari pengetahuan (jahilun) hingga sampai pada puncak (ilmun) yang jelas-terang-bercahaya (Shadra sendiri tidak bisa menjelaskannya selain dengan metafor tersebut). Dari proses itu Shadra memunculkan statement pengetahuan bahwa, kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang bersifat kognitif sekaligus rasional.
Artinya, nilai dan makna kebenaran spiritualitas dan intelektualitas yang diperoleh seseorang akan terbukti sebagai “kebenaran” jika ia mengalami, merasakan dan dapat menjelaskannya dengan bahasa yang mudah diterima. Aku sendiri tidak dapat melukiskan keyakinanku tentang “Realitas (haqiqiyah) Tuhan”; meskipun ada bahasa metafor dan simbolik. Sebab bagiku, sejauh manusia itu menghabiskan waktu dan upayanya untuk menggali dan membahasakan “kebenaran” dengan pengetahuan apapun sebanyak-banyaknya; sejauh itu pula ia akan mengalami “kemiskinan” sekaligus merasakan “kebodohan” dalam ilmu pengetahuan yang paling-sangat-teramat banyak, dan bahkan akan berakhir pada kesaksian (disadari atau tidak) bahwa dirinya tidak pernah tahu apa pun selain ketidaktahuan, ... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra : 85) ... dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu Ada Yang Maha Mengetahui (QS. Yusuf : 76).

Inilah kedahsyatan yang tidak perlu dibahasa-metafor-simbolkan dengan apapun. Karena bahasa-simbol-metafor atau apapun namanya, tidak ada sesuatu pun yang layak (diibarat-seperti-contoh-metafor-simbolkan dengan-Nya) selain Ia sendiri yang tahu sekaligus menyaksikan-Nya (Qs. al-Imran : 18 ; asy-Syura : 11 ; al-Hasyr : 22 ; al-Ikhlas : 1-4).

ampun paralun kuring parantos sesebatan
sabab kuring tagiwur jeung guligah;
tagiwurna kusabab guligah nu teu aya papadana
kusabab tagiwur nu teu aya pangawasana
ngan rasa sok rumasa yen teu aya deui jugjuggeun iwal;
nu nyumput dinu caang, nu neumbrak dinu poek
aya bari euweuh, euweuh bari aya
nu nganjang teu digeuro ngan nu dianjangna geugeuro
da saenya-enyana teu aya deui iwal nu terang kukasaksianna

Nah, inilah yang pasti dan harus menjadi tujuan dari apapun yang dikerja-lakukan manusia. Sebab tanpa ada kehendak untuk menuju kepada Yang Tertinggi, hidup dan kehidupan adalah sia-sia belaka. Tapi sayang, sampai sekarang yang kurasakan hanya ada “misteri-misteri” yang senantiasa memunculkan perkiraan-perkiraan dalam diri, hati dan pikiranku.

Lalu, apa yang dapat kupegang hari ini? Aku kini sedang berpijak pada “wujud-haqiqi” yang “ghair-maujud” dan menyisihkan “ghair-maujud” untuk hadirnya “wujud-haqiqi”--walaupun ini bersifat abstrak. Ini memang persoalan rumit seperti melacak hakikat manusia; yang dalam term Sunda disebut “manusa”--merupakan kepanjangan dari : mana nu salira? (yang mempertanyakan hal kepemilikan sejati). Benarkah tubuh/raga adalah entitas sejati manusia? Bukan, ia berasal dari materi yang mengalami proses dan dianggap milik manusia. Benarkah jiwa/nyawa adalah entitas sejati manusia? Juga bukan, karena ia berasal dari yang imaterial yang masuk saat proses berlangsung dan dianggap milik manusia.

Jadi, apa entitas sejati manusia itu? Jawabannya, manusia hanya “mengaku-ngaku” yang tidak ia punyai yang suatu saat nanti akan kembali ke asalnya. Tubuh kembali pada tanah (yang nanti pun dihancurkan saat qiamat) dan jiwa pun kembali ke tempatnya. Inilah realitas yang ada dalam pemahamanku, bahwa tidak ada apapun dan siapapun di alam semesta ini (termasuk manusia) kecuali wujud yang maujud sekaligus ghair-maujud. Seperti al-Hallaj yang berkata, “Ana al-Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) adalah ungkapan yang benar-benar mengakui dirinya (manusia) itu fana atau telah meniadakan sekaligus menyerahkan dirinya kepada Yang Mahatinggi nan agung sebagai yang paling pantas dan berwenang untuk mengatakan sang “Aku” yang sebenarnya.

Maka pada konteks ini al-Hallaj dapat dipahami sebagai sosok manusia yang benar-benar telah merendahkan dirinya (yang lemah) di hadapan Yang Mahasegalanya. Berbeda dengan ungkapan Ana al-Abd Allah (Aku-hamba Allah). Manusia yang mengatakan Ana al-Abd Allah, berarti telah mengakui adanya dualisme eksistensi (wujud yang maujud), yaitu : eksistensi hamba dan eksistensi Tuhan. Ini yang kuanggap sebagai ungkapan kesombongan yang akan menjerumuskan seseorang ke luar dari tauhid ilahiyah. Aku menganggap bahwa dualisme tersebut boleh diakui hanya dalam konteks realitas dunia dan persepsi pikiran dan perasaan kita semata. Tetapi di luar itu, atau secara haqiqiyah yang pantas disebut dan dianggap real-reality adalah eksistensi dari Wujud Qua Wujud; sehingga kita dan makhluk-makhluk ciptaannya disebut pseudo-reality. Layaknya cahaya lilin tidak akan berarti di hadapan cahaya matahari. Begitu pun aku (manusia) tidak berarti apa-apa di muka sang Maha Aku-yang-sejati, sehingga aku sendiri yakin sepenuhnya bahwa engke manusa mah salain ti bilatungan teh bakal balitungan.
Terakhir, ini mungkin sangat subjektif dan yang akhir-akhir ini kurasakan, yaitu rasa takut akan hari esok yang benar-benar nyata dan teramat sangat takut. Inilah bait-bait yang mampu kubahasakan dari rasa yang tidak bisa kuingkari adanya bahwa :

jika malam tiba kurasakan takut
karena esok tidak tahu siapa yang akan menjaminku ada

dan sekiranya masih berada di buana ini
apakah terus seperti itu hari-hari yang hinggapi aku

aku takut dan benar-benar khawatir
was-was akan hari esok yang tidak tahu
akan seperti apa dan bagaimana

Duh, Yang Mahapembimbing
bimbing aku, jauhkan aku dari rasa takut dan was-was
dan dekatkan aku dengan pengetahuan-Mu
amien.. ya rabbal a`lamin.

Mantan Ketum LPIK periode 2002/2003. Kini editor majalah Swadaya Bandung

No comments: