Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Ibu....

Surat Tertunda Buat Ibu
Oleh Endang Suhendang

Ibuku yang terhormat. Semoga kau selalu dalam keadaan sehat dan selalu diberikan kekuatan dan kepercayaan kepadaku, kepada anakmu ini yang selalu membuat hari-harimu melelahkan karena kecapean. Sekarang ini kau seharusnya menikmati sisa umurmu dan waktumu untuk bersantai dirumah bersama anak dan cucu-cucumu yang lucu. Juga seharusnya kau beribadah dengan tenang (walaupun saat inipun engkau tidak pernah meninggalkan shalat malam dan membaca Qur'an) tapi alangkah tenangnya ibadahmu bila tidak dibarengi dengan badan dan fikiran yang sangat lelah karena seharian bekerja.

Tapi itu semua belum kau nikmati, karena aku. Ya karena aku anakmu yang memaksakan untuk terus menuntut ilmu walaupun dengan kondisi yang menurut sebagian orang tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah sampai tingkat Perguruan tinggi. Aku sebenarnya sangat sedih dan sangat malu pada ibu. sampai sekarang, sampai saat ini aku menulis tulisan ini aku menggantungkan hidupku pada ibu. Aku belum bisa membalas jasa-jasamu dalam bentuk yang lebih nyata. Walaupun aku tidak pernah melewatkan waktu setelah Shalat yang lima waktu maupun hari dan saat yang lain untuk selalu mendo'akan mu.

Tapi itu semua belum cukup dan tak akan pernah cukup untuk membalas jasa baikmu. Aku malu pada orang-orang dikampung, pada teman-temanku waktu sekolah SD dulu, mereka semua sudah bisa membahagiakan orang tua mereka dengan penghasilannya. Walaupun aku juga sadar itu bukan satu-satunya yang bisa membahagiakan mereka (para orang tua). Tapi memang itu yang mudah dan paling jelas dirasakan mereka.

Para orang tua lebih membutuhkan uang daripada kabar gembira karena aku mendapat prestasi misalnya. (walaupun ibuku tentunya bergembira). Mereka tidak mau tahu anaknya kerja sebagai apa dan dari cara seperti apa? Yang mereka tau anaknya pulang membawa uang yang banyak, kemuadian anaknya membagi-bagikan kepada saudara-saudaranya juga para tetangganya. Dengan begitu tak salah lagi predikat sukses akan disandang anaknya. Dan para orang tua merasa bangga karena telah mendidik anaknya menjadi orang "sukses". Iya seperti itulah gambaran masyarakat dikampung kita ibu. Aku gak tau dengan kau apakah seperti mereka (para orang tua yang lainnya). Aku pikir sama seperti mereka ( maaf bukan berburuk sangka). Tapi aku berharap kalupun kau sebelumnya berfikir seperti itu sekarang bisa merubahnya.

Tapi memang aku melihat itu sebuah hal yang sangat wajar untuk sebuah masyarakat kampung yang tingkat pendidikannya masih rendah. Mereka tidak peduli dengan keadaan yang lebih jauh. Mereka tidak peduli siapa pemerintahan yang memimpin sekarang, dari partai ataupun dari golongan mana. Yang mereka perlukan adalah harga-harga murah, pendidikan murah, dan juga mereka mudah mendapatkan pekerjaan. (fenomena seperti ini juga bisa ditemui pada sebagian masyarakat kota). Namun aku kadang prihatin dengan kondisi masyarakat seperti ini. Kondisi masyarakat seperti ini diakibatkan karena secara umum mereka tidak berpendidikan. Kondisi seperti ini akan berbeda seandainya masyarakat dikampungku rata-rata lulusan perguruan tinggi ataupun pernah mengenyam pendidikan tinggi. Tentu jika memang benar prediksiku ini betapa pentingnya pendidikan.

Atau aku melihat gejala yang lain yang nampak pada masyarakatku yaitu merasuknya budaya matrelaisme. Dan yang lebih mengerikan mereka tidak sadar bahwa mereka sedang terkena penyakit tersebut. Mungkin lagi-lagi ini diakibatkan karena mereka tidak tahu. Dimana kita tau budaya matrelisme mengukur segala sesuatu menurut ukuran-ukuran materi. Dalam hal apapun masyarakat akan menilai seseorang dengan ukuran kekayaan. Orang akan dianggap sukses dan terhormat jika mereka memiliki kekayaan yang berlimpah. Sungguh sangat mengerikan dan muak mendengarnya. Setidaknya itu dibuktikan dengan perlakuan-perlakuan mereka (masyarakat) yang mengelu-elukan mereka (orang yang kaya). Mereka (masyarakat) jika melihat atau bertemu dengan orang kaya bagaikan bertemu dengan seorang raja. Mungkin ini diakibatkan oleh sulitnya system feodalisme yang tanggung sudah melekat dan sudah menjadi sebuah kebudayaan yang sulit dihilangkan.

Mudah-mudahan gejala masyarakat seperti ini tidak termasuk pada diri ibu. Aku berharap ibu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan ini. Materi memang perlu dan harus diusahakan, tapi itu bukan merupakan segala galannya. Yang lebih penting dari itu semua yaitu masyarakat bisa bersikap arif dan bijaksana. Adalah sangat dirindukan olehku ibu, yaitu dijungjungnya nilai- nilai kejujuran dan kebenaran oleh masyarakat kita. Bukankah masyarakat dikampung kita semuanya beragama Islam. Tapi dalam prakteknya tidak jauh berbeda dengan masyarakat kapitalis (bahkan lebih dari itu ). Bukankah budaya matrelisme dan sikap menghalalkan segala cara tidak terdapat pada ajaran Islam?.

Aku sebagai seorang anak yang sedikit memiliki pengetahuan karena aku sekolah sedikit tinggi merasa bahwa ada sesuatu yang harus diluruskan pada diri orang tua dan masyarakat pada umumnya. Jika kita (masyarakat) melihat dan menganggap bahwa kehormatan ditentukan oleh kekayaan, hal ini akan menjerumuskan anak-anakmu untuk melakukan cara apa saja yang bisa dilkukan agar bisa jadi orang kaya. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan hal-hal yang secara norma agama dan kebudayaan luhur kita sangat bertentangan. Itu baik jika dengan persepsi yang sudah tanggung mendarah daging pada orang tua atau masyarakat melahirkan stimulus pada anak sehingga menimbulkan rasa dan tekad yang kuat agar bisa lebih berusaha lebih keras dan gigih lagi ( tentunya dengan cara-cara yang benar dan jujur). Tapi itu sangat jarang sekali.

Yang akan lahir dengan kondisi masyarakat seperti itu yaitu lahirnya hukum rimba dan hukum laut, dimana yang kuatlah yang berkuasa dan yang bisa makan hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk bersaing dengan sesamanya. Dengan kondisi seperti ini generasi selanjutnya akan melanggar Rumpaka-Rumpaka adat yang dulu dijungjung tinggi oleh karuhun kita. Aku sanksi ibu pada orang tua di kampung kita apakah mereka memikirkan masa depan keturunan mereka kelak, apakah pernah mereka menanamkan moral kejujuran dan kebenaran walaupun dalam keadaan bagaimanapun.

Ibu, aku melihat orang tua lebih suka mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana caranya memperoleh kedudukan walaupun dengan cara-cara yang licik dan bejat. Mereka nyaris lebih bersifat individualistik. Aku semakin heran kadang orang menyebutkan masyarakat desa itu lebih bersifat kekeluargaan, toleransi dan tenggang rasa mungkin kalau dalam istilah sosiologi disebut gemeinschaft.

Dampak ini, ya dampak dari budaya masyarakat yang seperti ini tidak terkecuali ikut mewarnai hidupku ibu. Aku juga dibesarkan pada masyarakat seperti ini jadi mau tidak mau akupun merasakan pandangan yang sedikit sama dengan warga masyarakat. Aku sekarang berada dalam pergulatan ajaran dan kebudayaan yang saling bersebrangan dan saling bertolak belakang. Sebagai seorang mahasiswa tentunya nilai-nilai idealisme sangat kental sekali pada diriku. Tapi disisi lain budaya pragmatis dan hedonis juga datang dari berbagai sudut dan menyeretku dalam dilema pilihan yang sulit untuk dipilih.

Disatu sisi aku ingin sebagai seorang yang dihirkan dikampung yang kental dengan budaya merantaunya ingin pulang kekampung pulang ke ibu dengan membawa ole-ole dan uang yang banyak sebagai hasil usaha dikota. Juga sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu dan sedang berada diperguruan tinggi yang konon menurut sebagian orang akan menjadi orang terpandang dan punya kedudukan dan jabatan yang tinggi aku ingin pulang dengan kabar yang ku bawa bahwa aku sekarang sudah menjadi apa dan bekerja dimana.

Hal –hal seperti itu ibu selalu menghantui pikiranku dan membuat tidurku tidak nyenyak bahkan aku kadang berpikir selama aku belum jadi "orang" badanku tidak akan pernah gemuk karena memikirkan hal ini. Walaupun aku tidak pernah melewatkan makan. Akupun tidak bisa memungkiri keinginan diri seperti keinginan ibu atau orang tua yang lain. Tapi apakah dengan sekolah lantas kita bisa menghasilkan uang yang banyak dan pekerjaan yang enak? Aku pikir tidak seperti itu. Sekarang zaman yang susah ditebak, kadang seseorang dengan pendidikan formal hanya sampai SD setelah merantau jauh dan lama dia pulang dengan hasil yang menggembirakan (jadi orang kaya). Hal seperti ini membuat sebagian masyarakat mengeneralisir keadaan dan mengahrapkan hal yang sama terjadi pada anaknya atau keluarganya. Walaupun itu sebuah hal yang wajar. Tapi sangat tidak bisa aku terima dimana kegagalan berpihak pada kita, cibiran-cibiran secara tidak langsung kontan bertubi-tubi menghampiri.

Gejalan seperti entah dari mana sumber dan pangkalnya? Aku sendiri bingung menghadapi masyarakat yang disatu sisi tekun melaksanakan ritual syariat agama tapi disisi lain kehidupan sosial yang sangat membuat pusing kepala.

Hanya pada ibu aku bisa berpesan, sebagai wujud cinta dan pengabdian tulus dari anakmu. Maafkan anakmu ini yang belum bisa memberimu uang untuk kau belikan kain yang akan dipakai untuk shalat Ied atau keperluan yang lain. Inilah wujud cintaku pada ibu yang bisa kuberikan, inilah ladang pemahaman ku selama kuliah. Aku menemuakan sesuatu yang lain dibalik keramahan orang di kampung kita. Sekali lagi Maafkan aku ibu. Aku bukan lancang menasehati ibu, tapi aku mengungkapkan apa yang selama ini jadi unek-unek dalam hati. Aku tau ibu berbeda dengan orang tua yang lain makanya ibu masih bersedia dan tlus kerja keras demi aku. Hanya aku mohon maaf seandainya suatu saat aku mengecewakan ibu, bukan aku mengharapkan kegagalan, tapi sebagai manusia yang hanya bisa berusaha dan berdo'a tentunya kita tidak bisa memastikan apa yang bakal terjadi pada kita, pada aku ini. Aku akan berusaha mewujudkan cita cita aku dan keluarga dengan sekuat tenaga.

Aku mohon doa restu darimu ibu
aku mohon berkah darimu ibu
aku mohon pengertian darimu ibu
aku mohon ampun adrimu ibu
aku mohon izin darimu ibu
aku berdo'a intukmu ibu
semoga kau panjang umur dan selalu dirahmati oleh Allah
semoga aku bisa membalas jasa-jasamu
walau aku tau jasamu tak akan pernah terbalaskan


Sembah sujud dan Bakti putramu
Pun Endang Suhendang

No comments: