Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Surat Pengunduran

SURAT PERNYATAAN

Yang Terhormat,
Keluarga Besar LPIK
di
Saung Kajian



Bissmillahirrahmanirrahim
Salam sejahtera.
Sehubungan dengan Surat Kesediaan Menjadi Pengurus No: 01/B/LPIK/Desember/2006 yang saya terima dan sepakati beberapa bulan yang lalu serta jalannya separuh kepengurusan LPIK periode 2006-2007 yang mencantumkan nama saya menjadi bagian kepengurusan, maka yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Badru Tamam Mifka
Tempat/Tgl Lahir : Tasikmalaya, 15 April 1983
Jur/Fak : KPI/ Dakwah
Jabatan : Ketua Divisi Pers
Alamat : Nomaden

Menyatakan mengundurkan diri sebagai pengurus LPIK periode 2006-2007 sekaligus melepas identitas keanggotan LPIK, dengan beberapa alasan yang sedikit ingin saya uraikan sebagai berikut:

Pertama: Rapuhnya Komunikasi Yang Sehat Sesama Anggota.
Ada apa dengan kita? Kata hampir mengurai air mata…
Aku terlunta meski tak meminta…


Kawan, komunikasi yang tidak nyaman dan sehat dalam organisasi (dalam level pergaulan keseharian) akan mereduksi hakikat kebersamaan kita yang seharusnya dilandasi persaudaran (al-mu`akhah), toleransi (al-tasamuh) dan kasih (al-rahmah).

Tetapi, akhir-akhir ini, gejala agelaste, egoisme dan narsisme telah mengikis keakraban dan sikap saling menghargai serta hilangnya sportivitas diantara kita. Ekspresi yang kekanak-kanakkan dan bebal itu hadir, bisa berupa kekerasan verbal dan psikologis yang tak objektif, penuh dengki, ejekan dan hinaan terhadap pihak lain—diluar wilayah humor, tentunya [manusia makhluk mulia, kenapa harus saling menghina—kecuali “hinaan” khas LPIK yang sanggup dimaklumi oleh anggota yang tahu “sejarah dinamika penghuni LPIK”] Kebebalan lain bisa berupa serangan fisik-laten/ diam-diam yang dapat merugikan orang lain terkait hak miliknya. Tentu saja, karena tradisi mendiskusikan segala hal termasuk persoalan pribadi tidak pernah dibumikan. [Saya sempat punya rencana untuk membuat media umum berupa saran dan kritik buat sesama anggota, tetapi tidak sempat rampung]. Begitulah, kerapkali kita terjebak menjadi sekumpulan orang-orang yang tidak objektif menangani masalah besar bahkan problem keseharian. Akibatnya, muncullah orang-orang yang pintar tetapi tak cerdas, bijak dan arif; penuh dengki, pendendam dan curiga berlebih yang bisa dikategorikan pada patologi kepribadian anggota. Lebih lanjut, muncullah ironi kepribadian. Ada paradoks sifat: disatu sisi bicara tentang wacana kesetaraan dan keadilan, wacana pluarlisme, memuja cinta, mengagumi filsafat, mengolah bathin/semedi, mengaku peka pada perasaan/kalbu dan menyanjung intelektualisme, tetapi di sisi lain pendengki, pendendam, pencaci, picik, suka kekerasan dan begitu mudah termakan informasi yang belum jelas, tanpa sedikitpun memberi keterangan atas sikapnya, tanpa memasuki ruang dialog/ komunikasi dua arah yang lebih terbuka. Lebih gawat jika implikasi dari kelengahan itu sampai melahirkan “dengki kolektif” yang menyebar karena agitasi yang memadati kesadaran-tak selektif terhadap infut informasi dari sesama [kelompok] anggota lainnya. Tak hanya itu, kita acap tergesa menganggap utuh dan valid setiap informasi yang masuk, meskipun informasi itu keliru. Kelak, ini akan menyebabkan fitnah dan kebencian yang menajam sesama anggota jika tidak ada klarifikasi pada orang yang bersangkutan. Soal segala hal yang menyangkut permasalahan anggota dengan organisasi, ketua atau sesama anggota, memang meniscayakan diskusi dan rapat anggota untuk pembicaraan lebih lanjut dengan keterbukaan, sekalipun itu masalah pribadi.

Mentalitas yang melarikan masalah kedalam keengganan upaya pemecahan bersama akan terjebak kedalam penyempitan sikap bernama sinisme, tanathos yang berpotensi destruktif dan—jika dibiarkan—berpotensi merusak hak milik orang lain, dan bebalism iri-dengki akan muncul lebih fatal bagi keutuhan hubungan yang harmonis, baik hubungan emosional sesama anggota atau lainnya. Sebab, persoalan yang kerap dianggap “sepele” itu akan berdampak besar bagi kondisi kenyamanan setiap anggota dalam organisasi.

Akibat lain dari ketidakharmonisan komunikasi itu adalah munculnya kepenatan-meruang yang kemudian meresahkan orang bersangkutan. Dengan kata lain, lembaga dirasakan tak nyaman lagi untuk ditempati karena salah satu unsur ruang (baca:komunikasi) tak berjalan sebagaimana mestinya. Meski tema dalam komunikasi murni-pribadi, tetapi saya tak terlalu yakin pada dikotomi yang “proporsional” dan terpisah dalam hubungannya antara pribadi-organisasi, karena ini menyangkut ranah psikologis anggota sebagai pribadi sekaligus bagian terpenting dari bangunan organisasi. Hal ini memang bisa dianggap sepele, tetapi bagi saya, dampaknya cukup gawat. Misal, seseorang punya masalah-pribadi dengan sesama anggota; lalu muncul ekspresi tidak sehat yang akan menimbulkan ketidaknyaman ruang jika ekspresi tersebut tampak berlebih dan tidak termanage. Sebab, organisasi dibangun oleh elemen-elemen pribadi. Sekedar mengutip Anis Matta, bahwa apa yang ada dalam diri manusia ada 3 hal, yakni akal, hati dan fisik; Jadi—sedikit memodifikasi—perubahan pada skala organisasi hanya dapat terjadi jika setiap individu [yang merupakan bagian dari keanggotaan—mengubah apa yang ada dalam dirinya tersebut. Matta mengungkapkan bahwa akal adalah visi, hati adalah mental dan fisik adalah sikap. Maka, jika tiap pribadinya lumpuh karena konflik yang tak terselesaikan dengan bijak dan baik, rapuhlah separuh pilar kecil kekompakkan dan solidaritas organisasi untuk selalu dalam jalur perubahan. Dengan kata lain, problematika-pribadi-dalam-organisasi yang saya alami punya dampak yang tak kecil bagi kerja yang efektif dalam berorganisasi. Dari kepenatan dan ketidaknyamanan ruang itu, lalu timbullah ketidaknyamanan berekspresi [hoream gadag]. Hilangnya kenikmatan ekspresi dalam ruang berakibat buruk pada persoalan tanggung jawab-kerja kepengurusan saya. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi runyam tersebut dan mengelak dari potensi yang buruk terhadap efektivitas tanggung jawab-kerja saya, maka saya memandang perlu mengalih-tugaskan fungsi koordinator ke pihak lain dalam divisi yang sama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, agar adanya kejelasan kerja Divisi Pers ke depan.


Kedua: Lemahnya Temali Kekeluargaan di Tubuh Organisasi
Ada apa dengan kita? Kian berjarak, satu sama lain…
Begitu retas jahitan hati kita di kain waktu…


Kawan, setiap anggota dalam organisasi ini adalah saudara. Kita memasuki lembaga ini dengan melewati pintu yang sama. Disana kita menghimpun satu sama lain dalam semangat kekeluargaan. Tetapi, yang saya rasakan akhir-akhir ini, sifat kekeluargaan itu tersekat dan lamat di hati saya. Saya menerima perlakuan sikap buah “penyakit” mati-rasa dan pemikiran yang eksklusif—“penyakit” yang tidak peka pada persoalan orang lain, ketidakpedulian terhadap yang lain; “penyakit” yang amat tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan kebenaran orang lain disebabkan mental ciut menerima kekalahannya sendiri; “penyakit” yang membuat kita gembira melihat penderitaan orang lain, penyakit barbarism: berpolah sewenang-wenang karena tahu ada peluang kelemahan pada diri orang lain. Lantas, kita sibuk mencari kemungkinan kesalahan orang lain karena tak sabar ingin gegas mengeksekusi “ad hominem” dengan ekspresi jahat dan menerima kepuasan dalam hasilnya. Apakah itu pelajaran yang selama ini kita raih dari kebersamaan dan permenungan di LPIK? Kita tak pernah sadar, bahwa sekecil apapun pendapat orang lain, harus sesegera kita hormati; bahwa kesalahan sebesar apapun yang dilakukan orang lain, kita mesti arif menyikapinya. Tetapi kita memilih keras kepala mempertahankan pendapat dan keyakinannya hanya karena tak mampu memetakan kekayaan khazanah pemikiran yang berkembang hingga tak sanggup melakukan oto-kritik terhadap diri. Apakah kita memang sebongkah batu? Saya merasakan adanya wabah kolektivisme-eksklusif yang menganggap kelompoknya dalam organisasi secara generalisir benar dengan ukuran standar pribadi. Sungguh, meski kawan dekat atau pacar, jika ia salah, maka salahkan! Itu tanda dari sikap kritis dan sportif kita sebagai anggota LPIK. Tetapi pikiran kritis, disini, kini habis terkikis. Kita seringkali tak pernah tahu, bahwa bersikap kritis terhadap segala hal berarti berharap menemukan kemajuan yang lebih baik terhadapnya. Namun kita malah memendam diri dalam caci maki dan sikap tidak menyenangkan terhadap yang lainnya. Sekarang kita tinggal pilih, menuju rasio dan kesadaran yang sehat atau terbenam dalam bara demagogi dan sugesti-agitasi yang tak jelas juntrungannya?

Mengenai rasa kekeluargaan ini, saya pikir, kita dapat menemukan perasaan saling “memiliki”, dan saling menjaga keadaan diri yang lainnya. Dengan kekeluargaan, organisasi akan menemukan hubungan kerja tiap-tiap anggota dengan sukarela dan kenyamanan, tanpa paksaan, dan tanpa pamrih. Kita bisa saling mengerti tentang posisi masing-masing. Saya berharap lebih banyak tentang kekeluargaan dalam lagu yang saya ciptakan bagi LPIK. Tetapi, nilai-nilai [kemanusiaan, keadilan, kedamaian dsb] yang saya ajukan dalam lirik ternyata hanya sebatas narasi-besar yang tak pernah menyentuh lantai keseharian di lembaga ini. Mars LPIK yang saya buat dengan seorang kawan seolah utopia dan impian yang tak menemukan lintasannya yang jelas. Yang ada adalah iri hati, arogansi, dan besikap dengki dan dendam dengan level yang amat melampaui batas. Akibat dendam, misalnya, kita jadi tak berperasaan merusak materi/benda-benda yang dianggap milik orang tertentu yang tidak disenangi (persona non-grata). Saya sadar, kita semua kerapkali enggan menerima kritik dan nasehat. Kita merasa maha benar. Celakanya, sesuatu yang kita anggap benar itu selalu diabsahkan oleh ukuran pribadi, oleh “aing”. Dari sana, lahirlah egoisme dan akhirnya keakraban satu sama lain tersekat-sekat. Kita merasa tak lagi saling menghargai. Kita acapkali abai untuk menjaga perasaan satu sama lain. Satu sama lain merasa tersinggung, dan saya khawatir jika dendam yang terpendam itu kian mengekalkan lenyapnya rasa simpati sesama anggota. Saya tidak mendramatisir keadaan ini, tetapi saya menemukan banyak “keanehan” ini dibelakang layar dan saya mengalaminya sendiri. Saya berupaya untuk meminimalisir ketegangan ini dengan cara tidak membalas [reaksi], tetapi saya lagi-lagi menemui kegagalan. Seolah ada konflik yang kadung menjadi batu, menjadi “sistem” yang baku karena sikap keras kepala dan keangkuhan. Saya memang tak betah terlalu lama diam dalam suasana seperti itu. Berangkat dari kekalahan itu, maka saya memandang perlu keluar dari sistem dan pusaran konfik itu, sekedar meredakan bising ketegangan yang amat pekat saya rasakan selama ini.


Ketiga: Lunturnya Tradisi-tradisi LPIK Dalam Keseharian.
Ada apa dengan kita? Aku mengering dalam catatan…
Suara lamat, dan huruf kian terlambat…


Kawan, lunturnya kekompakkan anggota dalam menjalankan tradisi-tradisi LPIK [membaca, menulis, diskusi dan meneliti] dalam keseharian mengancam hakikat lembaga sebagai gerbong intelektual yang akan dan telah berhadapan dengan realitas luar. Akibat kikisnya hakikat, secara otomatis organisasi secara keseluruhan mengalami fase regress, bahkan bisa hanyut menuju arah kehancuran [desentrum] visi dan misi—atau bahkan bisa sampai kematian pada level lembaga. Padahal, tuntutan kompetisi dalam khazanah keilmuan di lingkungan kampus meniscayakan penguatan metodologi cara berpikir dan pengetahuan yang sistematis dari masing-masing anggota di internal lembaga yang notabene konsentrasi pengkajian. Kerucut runcing saja tidak cukup untuk tegak menunjuk langit, harus ada dasar bangunan yang kokoh dan eskalatif agar seimbang. Keberanian saja tidak cukup, mesti ada dasar yang kokoh dalam logika, argumentasi, data-data [fakta] dan kepekaan analisis. Itulah yang akan menjadi modal kepercayaan diri [self convidence] dalam kancah keilmuan dan dunia ke-cendikiawan-an—bukan melulu jadi epigon [pengekor]. Saya punya pengetahuan soal cendekiawan; Hana E. Kassis [1983] yang dikutip Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Cendikiawan Muslim memiliki beberapa pengertian, diantaranya: [1] Orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas dan mendalam; [2] Orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif/yang halus perasaannya; [3] Orang yang memiliki pandangan/wawasan (insight) yang luas dan mendalam; [5] Orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat/ luas; dan [6] Orang yang mempunyai kebijaksanaan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil. Ciri-ciri tersebut terangkum dalam kepribadian manusia-manusia tercerahkan [muthahar/ rausyanfiqr], kepribadian yang tak melulu mementingkan dirinya sendiri, merasa paling benar, merasa paling kuat dan amat keras kepala, tetapi kepribadian yang rendah hati, melek kondisi sekitar dan—meminjam bahasa Syari`ati—sadar akan keadaan kemanusiaan [human conditions]. Semua “kekayaan kepribadian” itu akan tercapai dengan tradisi-tradisi LPIK jika kita tak malas melakukannya. Saya yakin, tradisi-tradisi itu akhirnya akan menemukan puncaknya dalam aktivitas berpikir dan berekspresi yang “jalang, lantang & sarkas” [khas LPIK] , tetapi tetap bijak, arif, cerdas, objektif, teliti, kreatif dan—tak lupa—humoris.

Tradisi-tradisi itu juga—jika dijalankan dengan sungguh-sungguh—konon, akan membuat kita kritis dan menambah rasa ingin tahu [coriusity]. Namun, ada satu hal, mengenai membaca misalnya, membaca kritis merupakan loncatan kreativitas pikiran dari narasi-besar dalam-buku menuju problem keseharian dalam-realitas. Kita bermain analogi, identifikasi, relevansi, pembumian [down to earth] teori dengan realitas. Membaca harus diikuti dengan menulis, diskusi dan observasi atau mengamati langsung, tidak apriori, untuk penguatan argumentasi. Yang terjadi, celakanya, kita kerap begitu pintar menguasai buku barat misalnya, tetapi sangat buta dengan efek-yang-sama dari struktur analogi ilmu dan gagasan dalam konteks persoalan terdekat disekitar kita. Kita membaca Postmo, chaos, eksistensialisme, fenomenologi, humanisme, teologi, butterfly effect, iluminasi, sosialisme dan sebagainya., tetapi tak cerdas menganalogikan “kupu-kupu” misalnya, seolah kita dengan segala tindakan terikat dengan jejalin ruang realitas-sosial yang punya potensi “badai” dalam beberapa “kepak sayap” kita. Menyoal hilangnya loncatan kreativitas dalam pola membaca kritis adalah lenyapnya kekompakkan sharing dan membedah teori untuk didiskusikan dengan beberapa kepala yang berbeda dalam memberi makna dan tafsiran baru dan kontekstual, apalagi jika ditambah keengganan mengolah nalar dalam kegiatan menulis, semakin lengkaplah jarak antara benih teori dan ladang realitas. Lenyapnya tradisi baca dan nulis bareng itu akibat lebih dominan-nya gaya hidup yang—secara umum—mengasyikkan. Saya pikir, keempat tradisi yang saya sebut diatas memang tak pernah mengasyikkan bagi kebanyakan orang. Tetapi ingat, kita penghuni lembaga pengkajian. Tentu saja, jika kita mau, kita—dengan tradisi-tradisi itu— akan mendapatkan “keasyikan” tersendiri: mampu berpikir kritis, peka realitas, bijaksana dan sebagainya dan sebagainya. Beberapa bulan ke belakang saya menemukan “keasyikan” itu, tetapi LPIK—sebagai media aktualisasi diri—sudah tidak kondusif dan tidak memberikan keseharian yang nyaman hingga keringnya gairah pergaulan yang awalnya diharapkan tetap saling mempertaut-erat hubungan emosional masing-masing anggota. Melihat kurang kondusifnya keseharian LPIK tanpa “ruh” tradisi-tradisi dan baunya ruang dengan sifat infantilism yang menempati setiap sudut dengan tindakan jahil, ancaman “kekerasan” atau “serangan” pada personal dan seterusnya, maka saya memandang perlu keluar dari “neraka” organisasi ini dengan melepas keanggotaan saya secara total, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan alasan ketenangan bathin dan tolakan mutlak terhadap beban sukarela keanggotaan yang memungkinkan saya tetap terlibat kembali dalam nyala api ketidaknyamanan dalam berorganisasi.


Keempat: Sekaratnya Kerja Kepengurusan
Ada apa dengan kita? Yang berserak itu sulit merangakai sahut…
Matahariberulangkali tak juga dimengerti…


Kawan, sejauh saya di LPIK, persoalan disfungsi kepengurusan memang hal yang tak aneh; bahkan di organisasi lainpun kondisi serupa seringkali terjadi. Bahkan, ketika saya menjabat sebagai ketua umum LPIK periode 2005-2006, kondisi rujit itu terjadi. Yang saya heran, kenapa begitu kekalnya kultur sakahayang dalam urusan organisasi? Kenapa perasaan bertanggung jawab kita amat rendah? Bukan hanya soal kita abai dan terbatas sembari meremehkan tanggung jawab organisasi karena pemahaman yang dangkal sebatas pemahaman melandingkan program kerja, tetapi lebih dari itu: tanggung jawab intelektual dalam kancah pergulatan wacana kampus. Kita semua tahu, LPIK hanya “perahu” yang kita tumpangi dengan garis arah yang kita tentukan bersama; ada nakhoda dan para awak kapal—sepenuhnya proses laju kita yang menentukkan. LPIK hanya benda mati! Disisi lain, kita sudah keburu bangga pada citra intelektualisme dan jejak-jejak kebesaran sejarah LPIK sembari tak menindaklanjuti ikhtiar yang sama—minimal memodifikasi kerja keorganisasian dan gairah internalisasi wacana ke ranah publik. Kenapa begitu kompak kita dalam soal kejatuhan dan kegagalan? Selalu, tak ada kebiasaan dimana ketua /koordinator anggota mesti mengetahui tahap-tahap kemajuan tiap-tiap anggota [evaluasi]. Selalu, kita tak pernah sadar bekerjasama. Selalu, kita tak pernah merasakan lelahnya kawan kita kerja sendirian. Saya tahu, LPIK hanyalah wadah yang akan memburuk jika melulu dipadati keinginan-keinginan subjektif tanpa sedikitpun terbuka pada realitas diluar diri. Tetapi saya sadar, parameter kehebatan organisasi tidak diukur dari berapa banyak anggota baru mendaftar [kuantitas], tetapi lebih diukur dari kualitas-kualitas anggota yang efektif dan memakna saat ini juga dikemudiann hari. Kita tiba-tiba dapat memahami LPIK dengan rumus E=MC2-nya Einstein yang bicara tentang energi yang sangat besar dari gabungan reaksi dalam jumlah yang sangat besar—tentu saja, bukan bicara gemuruh kuantitas, tetapi semangat bekerjasama tiap anggota. Tetapi, harapan yang satu untuk bangkit tak pernah ditemani keriuhan semangat dari yang lainnya. Tidak adanya “persaingan” yang positif diantara anggota. Misal, kompetisi berkarya dan mengembangkan inisiatif serta gagasan dalam berorganisasi. Saya memang berupaya untuk mengelak dari kekeringan ruang, tetapi LPIK, bagi saya pribadi, sudah tidak kondusif lagi dalam segala hal; saya tak bergairah melulu mengendapkan kekecewaan dan kegelisahan, maka saya memandang perlu lenyap dari denah LPIK dengan menanggalkan komitmen-formal yang mengikat keanggotaan saya sepenuhnya.


Kelima: MatinyaTradisi Penalaran Anggota

Ada apa dengan kita? Mata akal tak mengetuk kesepianku…
Cahaya tak membangunkan kehausan dinginku…


Kawan, selama di LPIK ini, saya merasa bahwa perkumpulan ini belum menghidupkan tradisi penalaran secara kolektif. Saya percaya, membangkitkan daya nalar individual [the individual power of reason] sebagai dasar yang paling urgen menentukan dari kemampuan analitis dan sintesis, adalah tanggung jawab anggota yang juga sebagai mahasiswa. Di LPIK, kita kehilangan “manusia penganalisis” [man of anayisis] Disinilah ironi mahasiswa terjadi. Kita mesti tahu, sebagai penganalisis, mahasiswa bukan semata-mata pemburu ijazah, melainkan merupakan penghasil gagasan dalam bentuk pemikiran yang teratur. Tak hanya itu, mengenai penalaran ini, Cicero [pemikir Romawi Kuno], menghubungkan penalaran dengan intelektualitas dan kebijaksanaan: wise men are instructed by reason; men of lessunderstanding by experience; the most ignorant by necessity, and beasts by nature.” Penalaran, menurut Cicero, yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Dalam keseharian, misalnya, kita juga perlu menganalisis sejauhmana penalaran seseorang sebelum berburuk sangka terhadapnya. Itu contoh kecilnya. Jadi pada hakikatnya penalaran itu ialah:”proses jalannya pikiran dari suatu data [fakta] menuju suatu konklusi.” Tetapi, kita memang begitu bebal, bukan saja tak punya tradisi penalaran, menganalisis diri sebagai mahasiswa saja jarang dilakukan. Saya menemukan pengetahuan baru, bahwa mahasiswa itu terbagi dua “gelempengan”: yaitu, mahasiswa extravert, yaitu mahasiswa yang aktif [bukan aktif nganjuk], dinamis, optimis, sportif [bukan diartikan bersifat olahraga], toleran, amikal [bersahabat] berhati terbuka, mudah bergaul dan mudah mendapat kawan. Ia melihat keluar dan bertanya kepada dirinya: “apa arti aku bagi orang lain?” Lawannya adalah mahasiswa introvert, mahasiswa yang tertutup, pasif [terhadap hal-hal yang positif], pesimistis, egoistis, jahil dan pemalas. Ia melihat kedalam dirinya dan bertanya: “ apa arti orang lain bagiku?” Mahasiswa extravert bersedia untuk menyesuaikan dirinya kepada lingkungan dan sanggup mengarifi segala problem yang terjadi. Sedangkan mahasiswa introverst sebaliknya, menghendaki lingkungan menyesuaikan diri pada dirinya. Dari jenis mahasiwa yang saya sebut terakhir, kerapkali mendapati otaknya memilih konsumtif ketimbang produktif menghasilkan gagasan yang otentik. Jangan sampai kita hanya jadi reservoir ilmu. Tetapi, kita selama ini kita hanya mengalami keadaan diri yang menghabiskan energi kreatif dengan sikap-sikap yang tidak sportif, jahil, egoistis dan lainnya. Kita acap menghabiskan pikiran dan waktu keseharian dengan tema-tema sepele yang panjang dan ekspresi yang memuakkan bagi yang lainnya. Kita melulu ikut-ikutan bersikap dan berpikir yang seragam hanya karena yang diikuti teman sejawat, idola atau bagian dari kelompok sendiri. Kita tidak kritis. Kita tak punya tanggung jawab yang sadar, malah bergerak terlalu mekanis dan egois; mengikuti arus begitu saja tanpa mengerti riak sendiri. Kondisi yang pejal dan mengeras itu membuat saya memandang perlu membuka jendela lembaga dan menatap langit luas ketika saya tahu, bahwa langit yang sama akan berbeda nuansa jika dilihat dari tempat yang berbeda dengan udara yang tak terlalu sumpek.

Khutbah Terakhir

Benar kata sufi terdahulu, bahwa inti hidup adalah kehadiran.
Kehadiran yang terbaik bagi yang lain, kehadiran yang memberi makna
pada kehidupan…
Tetapi, aku kini hadir tanpa kehadiran disamping kalian, seperti nyanyi sunyi
yang gemetar menaruh jejak dalam segegas bayangan dan kesementaraan…

Surat pernyataan ini saya buat dengan sadar, dengan pertimbangan yang matang selama hampir 2 minggu setelah saya kian mendapat “kejanggalan” dalam tubuh organisasi yang sempat sedikit saya uraikan diatas. Entahlah, “kejanggalan” itu menyalakan resah di dada saya, tetapi saya orang yang tak berharap senang membalas dengki dengan kedengkian yang sama, membalas kebekuan dengan beku yang sama, kejumudan dengan jumud yang sama, kemalasan dengan malas yang sama, dendam dengan rasa dendam yang sama, sombong dengan sikap sombong yang sama, membalas bebal dengan bebal yang sama. Oleh karena itu, saya pikir, ada baiknya jika dalam hal tertentu, yakni relasi sesama anggota dan kondisi egoisme-eksistensial yang kian memburuk dapat—setidaknya—terminimalisir dengan hengkangnya saya dari organisasi. Saya tak berharap menyesal dengan keputusan ini. Saya tahu, kerja saya belum selesai, tetapi apa lacur, kepenatan, ketidaknyamanan dan kejenuhan sudah kadung berdarah dan berkarat, sudah mulai entah. Akhirnya saya percaya, kenyamanan psikologis & fisiologis dalam berorganisasi menjadi hal yang penting, bagi setiap anggota. Meski saya berada dalam keputusan yang tak seharusnya dan tak terlalu menguntungkan, tetapi saya mesti optimis pada generasi muda LPIK yang saya pandang memiliki potensi yang besar untuk memberi nafas pada lembaga kajian ini. Saya tak mau terlalu lama membayangkan seseorang diantara kalian akan senang dan tersenyum puas dengan keputusan hengkangnya saya dari LPIK; saya mafhum. Mudah-mudahan hati yang penuh dengki, ketidakpedulian, dan sikap yang kasar memberikan “solusi terbaik” bagi segala problematika keseharian yang kelak centang perenang dan bathin yang tak kunjung tenang. Saya tak punya jaminan bahwa saya akan lebih baik sekeluarnya dari LPIK. Tetapi, terima kasih untuk semuanya, atas kenangan dan pengalamannya—meski kadang rumit dan tak terlalu enak dicicipi, tetapi sangat berharga bagi saya. Pengalaman saya selama hampir 3 tahun di LPIK sangat menantang—untuk meyebut beberapa hal—saya jadi bagian dari komunitas yang sempat mampu menahan 3 hari menahan kelaparan dan begadang dalam intensitas yang tinggi dengan kemungkinan teori dilatasi waktu fisika kuantum Stephen Hawking dan matematika Roger Penrose. Saya menemukan humor. Saya mendapatkan pengalaman berharga. Saya mendapatkan ilmu yang berharga. Semoga LPIK ke depan tambah keren! Maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan saya selama di LPIK, baik disengaja ataupun tidak. Saya tak berharap punya niat untuk memutuskan tali silaturahmi dengan kawan-kawan, karena saya teringat Abu Kharash Al-Sulami pernah berkata, bahwa memutuskan hubungan sesama manusia selama setahun adalah sama jahatnya dengan menumpahkan darahnya. Akhir kata, ambil hikmah dari segala hal dan peristiwa. Pelajari masa lalu tanpa nyeri, jalani kini dengan berani, rencanakan masa depan dengan harapan yang penuh pertimbangan. Mudah-mudahan kita berada dalam kesehatan lahir dan bathin. Selamat berkarya untuk semua, dalam bentuk apapun. Selalu sukses buat LPIK!

Demikian surat ini saya sampaikan dengan sebenar-benarnya. Surat pernyataan ini dianggap sah sejak tanggal ditetapkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Cipadung, 10 Januari 2007 _03:35 pm

Salam hangat,
Badru Tamam Mifka

No comments: