Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Sisi Lain Modernisme

Dampak Modernisme Terhadap Umat Islam di Indonesia
Oleh Sophie al-Raahili*

Bukanlah suatu kebaikan, engkau menghadap diri pada Barat atau Timur
Kebaikan adalah enkau beriman hanya kepada Allah dan hari akhir … Al-ayat
(al-Quran, 2:177)


MENGANALISA kondisi umat Islam saat ini akan sangat terkait dengan kondisi dunia Barat, sebagai kiblat peradaban. Kesimpulan ini sangat logis dan bisa diterima sebagai sebuah hipotesa awal mengingat tidak ada lagi bagian lain yang menjadi penggerak perubahan. Terlebih, umat Islam tidak lagi memainkan peranan sentral dalam kancah percaturan dunia. Perubahan yang terjadi dalam dunia Islam sebagaian factor eksternalnya adalah dampak dari dunia Barat.

Setelah jatuhnya kekhalifahan Islam, dunia Barat mulai menjadi titik sentral dari seluruh perubahan umat manusia. Tak dapat dilupakan bahwa awal perubahan yang terjadi di dunia Barat selain adanya upaya untuk kembali pada kebudayaan nenek moyang mereka, yaitu kebudayaan yunani Kuno dan kekakisaran Romawi, kemajuan umat Islam dan peradaban-peradaban lainnya telah menjadi sebagian factor bangkitnya dunia Barat setelah lama mengalami dunia kegelapan, dark age. Dalam sejarah filsafat Barat zaman ini sering diistilahkan dengan abad pertengahan. Abad yang didominasi oleh otoritas lembaga keagamaan, yakni gereja dalam menentukan setiap gerak perjalanan dunia.

Renaissance; Titik Awal Kelahiran Modernisme
Merundut tentang sejarah kemunculan zaman modern tak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa Eropa. Alasanya bukan hanya karena term tersebut berasal dari kata Latin moderna , tapi karena pada awalnya gerakan modern terjadi disana. Pada abad ke Lima Belas di Italia selatan terjadi suatu pergerakan yang disebut pergerakan pembebasan. Abad ini sering dinamai dengan istilah renaissance yang artinya kembali pada kebudayan Yunani kuno. Tokoh-tokoh yang muncul dalam melendingkan gerakan ini kebanyakan adalah para pemuka yang syarat dengan kemampuan dalam wawasan agama.

Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang dari kalangan yang dibesarkan dalam naungan pendidikan gereja Katolik atau mereka yang berketurunan dari lingkungan para pendeta katolik. Misalanya, Paus Leo X yang ternyata menjadi pendukung renaissance yang sangat aktif

Pada awalnya gerakan renaissance adalah suatu upaya untuk mengembalikan kembali semangat yang melatarbelakangi kemajuan peradaban bangsa Yunani kuno. Semangat ini adalah kebebasan manusia untuk menginterpretasikan atau menafsirkan kenyataan. Tanpa ada ketergantungan pada ajaran-ajaran yang mengkungkung kebebasan setiap individu para cerdik-pandai orang Yunani kuno berusaha untuk merumuskan penafsiran khakikat kenyataan hanya berdasarkan pada kemampuan rasio. Sokrates umpamya, merumuskan pemikiran etika tidak mengambil dari doktrin-doktrin atau unsur-unsur agama orphisme. Cara pandang atau pendekatan seperti ini telah mengakibatkan pengaruh yang sangat besar dalam kemajuan peradaban Yunani kuno dan bertahan dalam berbagai kebudayaan lain dengan skala waktu yang cukup lama. Kita bisa menemukan bagaimana sebelum pengusaan bangsa Romawi kebudayaan yunani kuno tersebar hampir diseluruh pelosok daerah. Pase atau zaman ini sering disebut para sejarawan sebagai zaman helenisme, zaman pengaruh bangsa Yunani. Bahkan ketika bangsa Romawi berhasil menggantikan pendudukan sejumlah daerah yang berada dibawah kekuasaaan Yunani, cara pandang dan budaya intelaktualnya masih bertahan dan dipergunakan oleh pemerintah dan masyarkat.

Semangat Zaman Modern

Sampai pada abad ke Empat Belas seluruh daerah di Eropa masih berada dalam kegelapan. Artinya adalah perkembangan kebudayaannya masih tertinggal dari daerah-daerah lain, terutama daerah yang berada di bawah kekhalifahan umat Islam. Pada abad ini seluruh kehidupan masyarakat dikontrol oleh lingkungan gereja Katolik. Kekuasaan gereja Katolik mendominasi setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Seseorang tak dapat dengan bebas untuk menentukan filsafatnya sendiri. Dengan kata lain, setiap individu tak berhak untuk hidup tanpa adanya ketergantungan terhadap para pemilik otoritas dalam agama. Yang lebih prinsipil dari tidak adanya kebebasaan bagi setiap individu adalah tidak ada hak untuk menafsirkan ajaran-ajaran agama atau mengkritik pendapat atau kebijakan para elit penguasa gereja Katolik. Bahkan pada abad ini setiap penemuan ilmiah yang berkembang secara lamban kalau bertentangan dengan semua doktrin agama dipandang salah dan harus disesuiakan dengan ajaran-ajaran yang termaktub dalam kitab suci, Injil. Sebagai konsekuensinya para ilmuan harus tunduk pada gereja Katolik. Mereka yang memaksakan atau membangkang terhadap kebijakan akan berkhir dalam kematiaan, yaitu dibakar hidup-hidup atau mati di tiang gantungan. Tokoh ilmuan terkenal yang mati akibat dari kebijakan ini yang terkenal adalah Galileo galilei. Tokoh lain yang mati bukan dari kalangan ilmuan adalah sang bid’aah dengan pemikirannya: Giordano Bruno- seseorang yang mencoba berusaha untuk mendobrak kebijakan yang melarang kebebasan individu untuk menafsirkan ajaran-ajaran agama. Dia berpendapat bahwa setiap orang memilki kemampuan dan berhak untuk menginterpretasikan ajaran-ajaran agama tanpa harus ada persetujuan atau tunduk pada pihak tertentu
Pada abad ke Lima belas iklim kehidupan semacam ini berubah. Suasana konflik sering bermunculan antara kelompok yang pro-terhadap adanya pembaharuan dan mereka yang kontra, dalam arti mereka ingin mempertahan ortodoksi atau pengaruh gereja Katholik.

Moderna sebagai asal kata dari modern berarti kekinian. Yang dimaksudkan dengan kekikinian secara luas adalah upaya manusia untuk lebih memperhatikan dalam menghadapi masalah-masalah yang sedang terjadi dan mencoba untuk tidak memfokuskan diri pada masalah-masalah yang sudah usang dan jauh dari dirinya. Memperdebatkan masalah-masalah teologi pada akhirnya adalah suatu tindakan yang menghambur-hamburkan waktu. Tuhan misalnya tidak perlu dicari-carikan argumenetasi logisnya lagi.
Pada umumnya gerakan modernisme adalah suatu upaya untuk mendobrak tatanan kehidupan yang sudah mapan pada abad pertengahan Dominasi gereja yang selama itu telah mengalienasikan manusia dari hakikat dirinya sendiri dan yang telah mematikan seluruh potensi yang dimiliki setiap individu dicoba untuk dikembalikan kembali sesuai dengan fitrahnya. Rasio yang pada abad pertengahan harus tunduk pada iman lambat laun memperoleh kembali haknya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang senantiasa melilit umat manusia. Lebih detail, modernisme adalah kedewasaan manusia untuk dapat berdiri di atas kakinya sendiri tanpa ada ketergantungan pada apapun, adat-istiadat dan teologis.

Pemikiran filsafat Aristoteles yang telah memuncak pada tokoh S.T Aqiunas dalam abad pertengahan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman. Sebagai gantinya, harus ada suatu system filsafat baru yang dapat mendorong kemajauan bagi umat manusia sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan di dunia ini, bukan di kehidupan lain, Akhirat. Dengan kata lain, manusia modern adalah mereka yang mendambakan bahwa surga harus dinikmati di dunia ini bukan nanti setelah kematian. Alasan mengapa pemikiran Aristoteles sudah up to date lebih disebabkan karena pada saat itu system-sistemnya sangat abstrak, di luar pengalam manusia sehari-hari dan lebih-lebih para penerus Aristoteles banyak menggunakannya untuk masalah-masalah theology.

Awal mula pemikiran yang mencoba merumuskan suatu system filsafat yang sama sekali berbeda dengan system sebelumya adalah fisafat Rene Descartes, filsuf berkebangsaan Francis. Dalam pemikirannya, rasio yang selama ini dianggap bukan sebagai standar suatu kebenaran adalah sebaliknya. Rasio adalah sumber sekaligus standar bagi suatu kebenaran. Seluruh pengetahuan yang dihasilkan bukan dari rasio layak untuk disangsikan, hanya pengetahuan yang datang dari rasio yang dianggap valid dan benar. Tanpa adanya kejelasan dan keterpilah-pilahan, seluruh hasil pengetahuan hanyalah sebuah omong kosong. Kenyataan adalah pikiran, rasio atau ide. Walaupun secara ontologis materi ada, tapi ia sama sekali terpisah dari jiwa. Yang harus diutamakan oleh manusia adalah jiwa dalam hal ini kemampuan rasionya.

Pemikiran modern yang lebih radikal muncul dari seorang pemikir yang berasal dari Inggris, David Hume. Menurutnya, manusia pada abad pertengahan adalah manusia yang hidup dalam narasi-narasi besar pada hal semuanya itu adalah tahayul. Untuk mendapatkan kebenaran, manusia harus selalu berlandaskan pada pengalaman, bukan kepada yang lain, termasuk agama. Pengetahuan-pengetahuan yang menyatakan adanya sesuatu diluar manusia (tuhan), kehidupan dikemudian hari dan masalah-masalah yang pada abad pertengahan dianggap sesuatu yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya adalah omong kosong. Semuanya tidak syah karena tidak teruji dalam pengalaman. Begitu juga, jiwa dianggap hanyalah kepercayaan belaka, karena pada faktanya tidak ditemukan dalam pengalaman. Manusia sebagai self atau pribadi tak lain hanyalah sekumpulan persepsi atas berbagai hal yang dihasilkan dari pengalaman. Keutamaan manusia bukan terletak dalam moralitas prilakunya atas berbagai keutamaan-keutamaan yang didasarkan pada rasio sehingga harus dilaksanakan, tapi terletak pada moralitas prilaku yang didasarkan pada perasaan yang telah ada pada diri setiap orang. Bukan pula didasarkan pada ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci.

Salah satu gagasan yang mengguncangkan agama pada zaman modern adalah paham materialisme. Paham ini muncul pada abad ke Delapan Belas dengan tokohnya bernama Ludwig Feurbach. Alam material adalah kenyataan terakhir, demikian pernyataannya. Manusia menjadi sadar diri dengan membedakan dirinya dari dasar terakhir itu. Hakikat manusia adalah rasio, kehendak dan hati. Rasio, kehendak dan persaan ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga, sehingga menjadi sesuatu yang disebut Allah. Dengan kata lain, Allah adalah hasil proyeksi manusia atas khakikat dirinya sendiri yang telah dibersihkan dari macam-macam keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia.

Uraian contoh corak pemikiran di atas, paling tidak, ada tiga kesimpulan yang sama sekali baru dari suasana sebelumnya. Pertama, mereka dari kalangan terpelajar mengumandangkan dan menghembuskan pembebasan khususnya dalam wilayah pemikiran. Rasio dan pengalaman adalah sumber dan standar kebenaran. Kedua, Kekuasaan gereja dan pengaruh para pendeta dari kalangan Kristen Katolik yang selama ini telah mendominasi seluruh aspek kehidupan dicoba untuk dibatasi. Gereja dan para pendeta sebagai bagian atau unsur-unsur dari dunia keberagamaan tidak mempunyai hak dalam masalah-masalah yang menyangkut dunia, misalnya ilmu pengetehuan, ekonomi, sosial-politik, dan lainnya. Lembaga keagamaan hanyalah berhak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, yang diantaranya adalah hal-hal yang menyangkut masalah spiritualitas. Dengan kata lain, salah satu semangat modern adalah sekularisasi, semangat pemisahan antara urusan agama dan dunia. Ketiga, paham ontologis pada abad pertengahan yang menyatakan bahwa khakikat kenyataan termasuk manusia adalah manifestasi tuhan, digantikan dengan paham yang menyatakan bahwa kenyataan adalah materi. Manusia bukan lah makhluk tuhan yang harus mengabdi untuk menebus kesalahannya, tapi organisme yang seluruhnya tersusun dari materi.

Titik merah atau kesimpulan yang dapat diambil dari pemikiran modern, tentunya tidak hanya terbatas pada tiga uraian tersebut. Masih banyak pokok-pokok pemikiran lainnya yang muncul dalam perjalanan zaman modern, baik yang bersangkutan dengan masalah ilmu pengetahuan, filsafat, ekonomi, atau sosial-politik.

Dampak Modernisme Terhadap Kondisi Umat Islam di Indoensia
Tak dapat dipungkiri bahwa semangat modernisasi yang terjadi di Eropa lambat laun telah membawa pengaruh ke berbagai daerah, termasuk Indonesia yang mayoritas berpenduduk umat Islam. Perubahan yang terjadi di setiap daerah kemungkinan besar adalah sebagai dampak dari dunia Barat yang terjadi secara langsung dan tidak langsung. Berbagai media masa (cetak atau elektronik) menjadi sarana keterhubungan ini. Apalagi, disamping masing-masing daerah secara sengaja mengadakan hubungan bilateral dengan Negara-negara Barat yang sudah cukup maju baik dalam teknologi, ekonomi, sosial-budaya atau dalam bidang pendidikan, negara-negara Barat pun dengan berbagai macam daya upayanya terus mengadakan publikasi-publikasi akan kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai dan terus mengadakan strategi-strategi politik agar Negara-negara lain memiliki ketergantungan. Hubungan yang langsung sebagai sarana untuk mempengaruhi terjadi akibat konsekuensi logis dari semakin banyaknya warga Negara Indonesia yang melanjutkan studi di Negara-negara Barat.

Setelah selesai menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia, mereka mencoba menerapkan berbagai hal yang telah diterima dalam studinya di luar di tanah air, baik itu yang bersifat positif atau negatif. Hal-hal yang selama ini dipelihara dan dipertahankan terancam akan tergantikan dengan hal-hal baru.

Suatu hal yang wajar adanya saling mempengaruhi dalam kehidupan. Bisa dikatakan bahwa mustahil adanya orisinalitas dalam satu peradaban. Kenapa, karena pada dasarnya sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia adalah makhluk sosial yang satu sama lain saling menutupi disebabkan karena setiap individu mempunyai keterbatasan sehingga meniscayakan terhadap bantuan orang lain. Termasuk di sini adalah peradaban umat Islam. Walaupun terdapat dalam Islam sebagian kalangan yang menampik semua pengaruh dari dunia luar, tapi secara tak tersadari sebetulnya mereka terpengaruh. Ada juga dalam kalangan-kalangan tertentu yang secara radikal menyatakan sikap penolakan bahwa mengadakan hubungan dengan dunia Barat, hukumnya adalah haram. Seluruh hal yang datang dari orang Barat layak untuk dicurigai walaupun hal tersebut secara lahiriah bersifat positip.

Sebagian dari unsur kebudayaan dunia Barat adalah pemikiran modern. Dampak dari pemikiran modern terhadap kondisi umat Islam di Indonesia terjadi dalam dua wilayah sentral yang sangat menentukan dalam perjalanan kehidupan umat Islam selanjutnya. Dua pengaruh ini telah menimbukan permasalahan-permaslahan lain sebagai konsekuensi yang cukup pelik dan sulit. Satu permasalahan dengan lainnya saling terkait berkelindan sehingga untuk menyelesaikannya dituntut untuk dapat menemukan inti yang menjadi akar dari munculnya permasalahan-permasalahan lain.

Pertama, dampak pemikiran zaman modern telah merasuki cara berpikir sebagian umat Islam baik yang melanjutkan studi di Negara-negara Barat atau mereka yang studi di dalam negari tapi banyak mengakses khajanah-khajanah pemikiran dunia Barat. Cara berpikir yang diwariskan adalah cara berpikir rasionalistik-empirik. Artinya, cara berpikir yang didasarkan pada penalaran logis dan teori-teori ilmiah yang dihasilkan dari beberapa observasi. Ilmu-ilmu yang paling berpengaruh terhadap cara berpikir umat Islam adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kemanusiaan. Jenis ilmu-ilmu ini sering disitilahkan dengan ilmu-ilmu humaniora, misalnya psycologi, filsafat, sosiologi, dll.

Dalam kalangan umat Islam cara berpikir seperti ini telah menimbulkan kelompok yang disebut Islam Liberal. Dikatakan kelompok Islam Liberal karena kelompok ini dalam menafsirkan beberapa ajaran agama yang termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah memiliki sikap bebas dan menggunakan alasan-alasan yang rasional sehingga terlihat kompromistis dan sesuai dengan semangat zaman. Sebagian tokoh yang terkenal dengan cara berpikir seperti ini adalah mereka yang mengenal khajanah-khajanah keilmuan Islam klasik. Tak jarang para tokoh ini berketurunan ulama besar atau lama dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Alasan mereka menggunakan cara berpikir seperti ini disebabkan karena mereka menganggap bahwa pendekatan yang digunakan para ulama terdahulu dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia keilmuan hari ini dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Akibat dari ketidaksesuian ini umat Islam semakin mengalami ketertinggalan dari peradaban-peradaban lain dalam percaturan dunia global.

Banyak penafsiran-penafsiran dianggap baru yang dihasilkan dari cara berpikir seperti ini. Misalnya, para ulama terdahulu menerangkan bahwa kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki. Dalam masalah politik perempuan diharamkan untuk menjadi kepala Negara. Kesimpulan atas permasalahan ini diambil dari teks al-Quran dan pernyataan hadist nabi. Berlandaskan pada sumber yang sama, para ulama dari kelompok Islam Liberal menerangkan sebaliknya. Seorang perempuan berhak untuk menjadi pemimpin kaum lelaki. Seorang perempuan berhak untuk menjadi kepala Negara. Alasan yang dikemukan atas kesimpulan tentang bolehnya perempuan untuk menjadi pemimpin adalah karena yang dimaksudkan dengan pernyataan al-Quran dan al-Sunnah bukan terletak pada jenis kelamin perempuan atau laki-laki, tapi pada apakah ia mampu atau tidak. Dengan kata lain, yang dimaksudkan oleh ajaran agama adalah kualitas kemampuan seseorang dalam menjalankan kepemimpinan. Terlepas dari jenis kelamin tertentu asalkan seseorang memiliki kemampuan untuk dapat menjalankan amanat sehingga rakyat mendapatkan kemakmuran, maka ia pantas untuk menjadi pemimpin.

Karakteristik pemikiran seperti di atas dalam dunia Islam sebetulnya bukan suatu hal yang benar-benar baru, dalam arti belum ada sebelumnya. Beberapa generasi sebelumnya pada saat Negara-negara Barat belum berhasil bangkit dari ketertinggalan, umat Islam telah melakukan hal yang serupa. Kita dapat menemukan persamaan ini dalam beberapa ulama terdahulu, misalnya tafsir al-Raji yang banyak mengutip temuan-temuan ilmu pengetahuan Yunani kuno. Atau tafsir al-Rukhul al-Ma’nii karangan syekh Muhammad al-Alusy. Kaum Mu’tazilah pernah mengemukakan pendapat yang sama, misalnya tentang kepemimpinan perempuan, status orang diluar Islam dan lain-lain. Perbedaannya hanya sedikit, hanya terletak pada teori-teori yang digunakan.

Dari dulu sampai sekarang, corak pemikiran seperti di atas banyak lahir dari kalangan yang mengeyam pendidikan tinggi atau mengenal khajanah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu yang bersifat kemanusiaan bukan ilmu bersifat teologis. Ulama terdahulu diakibatkan karena banyak berhubungan dengan kebudayaan Yunani kuno, India dan beberapa peninggalan kekaisaran Romawi. Ulama-ulama kontemporer disebabkan karena banyak berhubungan dengan keilmuan Barat melalui studi di Negara-negara bagian Eropa atau membaca karya-karya ilmiah yang ditulis oleh mereka.

Sebagaimana di sebutkan diatas bahwa sebagian dari ciri pemikiran moden adalah paham materialisme. Berawal dari asumsi ontologis bahwa kenyataan adalah materi paham ini mengerucutkan pandangannya pada wilayah aksiologis yang menyatakan bahwa standar nilai segala sesuatu harus didasarkan pada ukuran-ukuran material dan bukan nilai-nilai lain. Seseorang yang berhasil adalah orang yang memiliki banyak benda-benda material, misalnya uang atau yang lain. Usaha seseorang pada akhirnya bertujuan untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Dengan menghalalkan segala cara termasuk agama manusia berharap akan mendapat kebahagian-kebahagian, karena hanya materi yang dapat menjamin hal tersebut akan terasakan. Kesadaran seseorang tidak lagi bersangkutan dengan hal-hal yang sifat ‘ideal’ atau spiritual. Kehidupan ekonomi (pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material) adalah inti dari seluruh kehidupan. Adat-istiadat, hukum bahkan agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral. Semuanya dinilai berguna bagi manusia takala dengannya manusia semakin bahagia dengan bentuk materilalnya. Bila memungkinkan agama adalah lahan untuk mendapatkan kesenangan.

Dalam kehidupan umat Islam dewasa ini penomena seperti di atas hampir telah marasuk dalam paradigma berpikir setiap orang. Agama seolah-olah adalah alat untuk mendapatkan kebahagiaan material yang ada di dunia lain, yaitu akhirat. Serba-materi menjadi ciri khas dalam kalangan umat Islam dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci. Gambaran surga dan neraka misalnya, menjadi sesuatu yang tak jauh beda dengan kisah-kisah fiktip dalam berbagai cerita tentang sebuah kebun indah yang diisi dengan berbagai makanan lezat dan wanita-wanita cantik yang disitilahkan dengan bidadari. Pada akhirnya, tak jauh berbeda antara surga yang termaktub dalam kitab suci dengan taman firdaus yang ada dalam buku-buku komik atau impian seseorang yang sedang bermain film. Agama yang pada awalnya bersifat spiritual dan melampaui gambaran-gambaran material berubah menjadi suatu hal yang syarat dengan bentuk-bentuk bendawi yang kongkrit.

Penafsiran beberapa ajaran agama yang bersifat material telah membawa pada cara berpikir, psikologis dan kondisi sosial umat Islam kepada rukh keberagamaan yang bersifat materialis-pragmatis. Artinya kehidupan yang didasarkan pada kesenangan-kesenangan benda-benda kongkrit. Pelaksanaan praktek keagamaan diarahkan bukan untuk ketentraman masalah spiritual manusia. Tapi diniatkan untuk mendapatkan kebahagian material di akhirat atau agar tidak masuk dalam kecelakaan dan siksaan yang dapat membuat manusia sengsara. Padahal, surga dengan segala isi yang ada di dalamnya seperti yang diungkapkan diatas, bisa jadi nantinya, tidak berwujud seperti gambaran yang sebenarnya. Neraka yang penuh dengan manusia durhaka serta malaikat-malaikat yang menakutkan dan sangat mengerikan tidak menutup kemungkinan adalah ungkapan-ungkapan simbolis semata agar manusia takut untuk melakukan kejahatan.

Dalam al-Quran dan al-Sunnah terdapat beberapa pernyataan yang diungkapkan dengan menggunakan gambaran dunia. Tapi, mengingat bahwa agama tidak mengurus hal-hal yang seperti ini maka selayaknya ayat tersebut ditafsirkan tidak secara literal menurut makna yang langsung ditangkap tanpa ada pendalaman lebih jauh akan kandungan maknanya. Untuk memahami maksud dari ayat-ayat yang dilukiskan dengan gambaran-gambaran bendawai akan lebih tepat kalau ditafsirkan secara alegoris atau kiasaan dengan menggunakan pendekatan-pendekataan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bahasa, tanda atau methodology penafsiran. Dengan demikian, diharapkan ajaran-ajaran agama tidak terlihat dangkal dan pesan darinya akan tertangkap sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia.

Sekarang ini, kehidupan modern telah mulai ditinggalkan orang. Termasuk dunia pemikiran dan beralaih pada pemikiran yang disebut post-modern, zaman yang berusaha mengkritisi kehidupan modern. Yang menjadi permasalahan sekarang buat umat Islam adalah sudah siapkah umat Islam menghadapinya.? Terutama dalam masalah ilmu pen getahuan. Islam bukanlah Timur atau Barat. Islam adalah kebenaran.
Sebuah kenyataan lain dalam kehidupan sosial yang sangat ironis sebagai dampak dari modernisme adalah ketika seorang pemuka agama yang tidak cukup banyak kekayaan materi tidak dihormati oleh lingkungan masyarakat sekitar. Atau terkadang suatu pesan agama akan cepat diterima ketika seorang ustadz/dzah mendakwahkannya kepada umat dengan menggunakan iming-iming kekayaan materi. Tak heran kalau akibat dari sikap seperti ini telah menimbulkan beberapa para pemuka agama atau dengan istilah lain ustadz/dzah menjadikan agama sebagai lahan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan materi, khususnya melalui proses dakwah. Misalnya, ada beberapa ustadz/dzah yang menjadikan beberapa praktek keagamaan (ibadah haji) menjadi lahan bisnis. Atau memberikan ‘fie’ dalam jumlah tertentu ketika diundang untuk menjadi penceramah dalam suatu kegiatan pengajian. Hal ini pantas terjadi karena paradigma nilai masyrarakat, dan para pemuka agama telah berubah, bukan lagi paradigma ilmu dan etika, tapi paradigma ketenaran dan kekayaan materi.

Tak dapat dinafikan bahwa materi adalah kebutuhan mutlak bagi umat manusia agar dapat hidup. Tanpa memenuhi kebutuhan jasadiah manusia tidak dapat menjalankan kehidupan batiniah. Tanpa makan, mana mungkin seseorang dapat melakukan ibadah. Sangat tepat kalau agama sendiri menyerukan agar manusia mencari kekayaan materi sebanyak mungkin. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa “ tuhan mencintai hambanya yang kaya dan bertakwa”. Bahkan do’a yang sering diucapkan oleh rasululllah Saw, adalah permintaan kebaikan dunia dan akhirat.

Jadi, yang salah bukan pada materi tapi pada sikap manusia atas materi. Materi seharusnya dijadikan sarana untuk mendapatkan sesuatu yang imateri yang lebih berharga atau bernilai dari materi. Materi bukanlah tujuan. Materi adalah alat atau media bagi manusia untuk mendapatkan keridhaan tuhan.

Bagi kalangan tertentu yang sulit mendapatkan kebahagian, konsekuensi yang lebih memperihatinkan adalah adanya suatu cara berpikir yang mengalihkan kebahagian di dunia pada kebahagiaan di akhirat. Bahkan menafikan kehidupan dunia dan sebagai gantinya mendambakan kebahagian di akhirat. Dunia ini dalam pandangannya adalah penjara yang penuh dengan kenistaan dan kejahatan sehingga kebahagian bukan terdapat di dunia ini, melainkan nanti di akhirat. Dalam tradisi umat Islam terdahulu terkenal ada beberapa orang yang meninggalkan kemewahan dunia dan lari menjauhi keramain untuk hanya beribadat di tempat-tempat sepi sampai kematian datang menjemput.
Di zaman modern, sikap seperti ini karena pandangannnya bahwa kebahagiaan sejati tidak ada di dunia berubah menjadi suatu kehidupan yang tertutup, anti kemajuan dan menghakimi bahwa setiap hal yang baru, apalagi yang datang dari Barat pasti merupakan sebuah kejelekan. Masyarakat yang syarat dengan perubahan-perubahan dan keramaian identik dengan kehidupan yang penuh kemaksiatan. Hal-hal yang sifatnya tidak terdapat dalam budaya generasi terdahulu atau yang paling tidak berbau bahasa arab dianggap akan merusak moral generasi penerus. Akibatnya, anak-anak harus dijauhkan dan dilarang untuk mengenalnya, apalagi menikmatinya. Pergaulan pada akhirnya harus dijaga jangan sampai anak-anak berteman dengan yang tidak baik menurut kategorinya. Segala sesuatu tidak lagi dinilai dari sudut pandang lain, tapi dari sudut pandang agama belaka. []

*Aktivis LPIK KBM UIN SGD Bandung

No comments: