Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Perempuan

Aku, Perempuan dan Tumpukan Buku
Pradewi Tri Chatami

Awalnya, saat mengetahui adanya Kementrian Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet BEM UIN SGD BDG kali ini, saya agak lega. Mungkin setelah ini, perempuan bisa lebih punya ruang untuk ‘berdaya’. Punya ruang lebih luas untuk menunjukkan segenap daya kami. Semoga. Tapi pada kenyataanya, harapan kami hanya berakhir di ujung kata semoga. Mentrinya sendiri tidak punya banyak ruang, apalagi status mahasiswa biasa, yang tak punya otoritas. Patriarkhi di kampus telah sedemikian menggurita.

Barangkali memang keseluruhan konstruksi sosial di UIN yang menempatkan perempuan nyaris di titik nol. Citra bahwa perempuan makhluk domestik telah sedemikian erat melekat di setiap ubun-ubun warga kampus, sehingga sedikit saja upaya improvisasi selalu diberangus dengan norma kesopanan. Bahkan aktivis Pusat Studi Keperempuanan saja tak lepas dari jerat hukum seksis.

Aturan itu terpaku di telinga saya, perlahan menyelusup ke memori saya dengan cara yang begitu pelan, menyakitkan. Tak boleh berkeliaran di kampus lebih dari jam sembilan, paling lambat jam sepuluhlah. Saya tak bisa menyalahkan teguran aparat keamanan itu, ia pelaksana aturan. Aturan adalah aturan, meski agak sedikit jengah karena itu terutama ditekankan karena saya perempuan. Tapi saya masih bisa memaklumi. Yang tak saya habis pikir, kok teguran itu lahir ketika beberapa mahasiswa (bukan mahasiswi) yang melapor—setengah bergosip, karena tak sepenuhnya laporan itu empirik—pada rektorat bahwa ada perempuan yang suka bermalam, dan malah pacaran. Dan sayalah—bukannya geer—subjek utama laporan itu. Lho, saya bahkan tak punya pacar. Dan saya di kampus, bermalam di sekretariat WSC yang memang UKM yang bergerak di studi keperempuanan. Ah, logika phallus, bahkan untuk menjaga ruangnya saja perempuan tetap tak punya ruang.

Alasan saya bermalam di kampus, karena memang awalnya lebih dirasa aman menginap daripada saya harus pulang menapaki jalanan yang selalu lengang selepas jam delapan. Lingkungan rumah saya kurang begitu ramah terhadap perempuan yang berjalan di remang malam. Dan saya pikir, memang umumnya begitu di semua tempat hunian. Saya memilih kampus, karena kampus adalah lokasi yang paling strategis untuk membiakkan gairah intelektual, baik itu membaca bersama, menulis, atau berdiskusi. Selain itu, saya relatif tak merepotkan orang lain. Meminimalisir kemungkinan mengganggu kepentingan orang lain. Dan karena kampus tempat intelektual yang mungkin bisa memahami bahwa perempuan dan laki-laki itu setara, dalam urusan apapun. Termasuk beraktivitas di kampus. Menjadi aktivis, istilah kerennya.

Tapi sekali lagi saya harus berusaha berkompromi dengan kultur yang menjerembabkan saya ke posisi sub ordinat. Saya kalah, karena ternyata intelektualitas kalah oleh rambu moral yang usang. Saya, mau tak mau harus menerima kenyataan—kekalahan—dan berkompromi. Kompromi ini bukan tanpa resistensi. Kompromi ini menyisakan nganga tanya, apakah syarat utama menjadi seorang aktivis sesungguhnya adalah jika ia punya penis? Tak bolehkah kaum Hawa mencecap kebebasan, karena toh kebebasan paling ultim adalah saat ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri? Tidak. Saya terpaksa harus bertanggung jawab pada norma, pada aturan, pada citra. Saya tak punya ruang untuk otonom.

Maka saat pulang, saya merenungkan eksistensi saya sebagai perempuan. Sebagai perempuan, saya terpaksa hanya ‘hidup’ saat siang. Dengus angin malam adalah haram. Bersosialisasi saat mentari tenggelam hanya berbuntut issu kelam. Dan sekedar menjaga gairah berwacana dalam komunitas ternyata lebih jadah dari dosa. Perempuan memang tak pernah diizinkan menjaga miliknya sendiri. Seperti tubuhnya yang kemudian harus dibungkus jilbab, dijaga kitab suci. Sebagai perempuan, saya dipecundangi oleh sistem. Sebagai perempuan, saya kembali dicampakkan ke neraka domestifikasi. Sebagai perempuan, saya dikebiri rasio maskulin. Sebagai perempuan, saya hanya boleh diam, bungkam, tak boleh lantang menantang seperti bocah lanang. Sebagai perempuan, saya tak diizinkan berhenti dalam lingkaran imanensi...

*Aktifis WSC (Women Studies Center) Bandung dan Jarik Bandung

No comments: