Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Underground

Underground: Musik Kontemporer dari Gejala Posmodernisme
Oleh Dani Tri Wardani

Di hampir setiap acara parade musik khusus Underground, kita bisa lihat segerombolan pemusik memakai asesoris aneh. Asesoris itu bukan seperti hiasan yang dipakai pemusik biasanya, namun penuh dengan kebebasan berekspresi. Salah satunya, dari rambut sampai sepatu dibuat ‘mencolok’.

Pada bagian rambut dibentuk kaku seperti suku mohauk. Itu pun dihias cat yang berwarna. Belum lagi bagian halis, telinga, hidung dan yang paling ngeri di antara bibir dan lidah tertancap anting-anting (trend: tindik). Di tambah tiap pergelangan tangan dan kaki yang terikat gelang-gelang berpaku (spike) dan sepatu khas boots, menjadikan mereka seakan-akan terlahir dari ‘dunia’ yang berbeda. Sebuah dunia permusikan yang tanpa ikatan nilai budaya.

Dari mode pemusik tersebut, acapkali mereka anggap sesuai dengan musik yang akan dimainkannya. Musik yang irama dan liriknya tidak menentu, tidak terikat oleh tangga nada dan kebanyakan ‘keras’. Anggapan dari keserasian mode yang agak serampangan itu, bisa menandakan bahwa jenis musik ini kebilang ‘unik’ di belantara permusikan umumnya, terutama di Indonesia.

Menurut beberapa responden yang ikut dalam aliran tersebut, musik yang dibuat itu ternyata, pertamanya bukan nama sebuah aliran musik. Tetapi sebutan untuk sekumpulan orang atau komunitas (dari Barat) yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. ‘suasana’ itu menjadikan sebagian orangnya yang hobi bermain musik, berinisiatif membentuk jenis musik yang beraliran tersendiri.

Para musisi yang mendukung gerakan ini tidak mau membuat jenis musik rumit dan sulit dimengerti seperti kebanyakannya (rock, jazz, rege, pop, dan aliran musik lainnya yang sudah ‘mapan’). Tetapi mengambil ‘dasar-dasar’ musik dari fenomena yang ada.

Banyak orang beranggapan, bahwa musik itu meniru dari nada yang bergemuruh di bawah tanah (arti Underground). Suatu nada dari gemetruknya roda kereta dengan rel yang ada di gerbong bawah tanah. Ada juga yang berpendapat bahwa ritme musik itu ditiru dari suara mesin. Namun yang pasti, dalam perkembangan selanjutnya mereka berusaha menyesuaikan (baca: beradaptasi) dan mengkolaborasikan dengan sejenis musik lainnya. Contohnya: Punk dengan gaya (mode) yang diilustrasikan sebelumnya.

Tapi sebenarnya dalam penciptaan itu, menurut hemat penulis merupakan bagian suatu refleksi saja dari keadaan dan jiwa. Artinya suatu keadaan itu seolah-olah dijadikan ide dasarnya. Namun demikian, tidak menjadi penting lagi setelah karya itu jadi. Karena tidak semua peristiwa bunyi yang dicipta secara eksplisit mencerminkan keadaan yang direfleksikan, melainkan sudah menjadi otonom (berdiri sendiri).

Jadi dengan demikian, musik dan budaya dengan mode-mode yang diterangkan sebelumnya bisa diartikan lain dari latar belakangnya. Salah satunya, sebagai manisfestasi dari trauma kapitalisme terhadap ‘ketuaan’ dan kegairahannya pada ‘keremajaan’. Bisa juga diartikan sebagai wujud dobrakan terhadap berbagai model barang konsumer yang ada, termasuk kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup yang kini bernaung di bawah panji-panji fashion.

Dengan alasan itu, maka aliran musik ini dapat penulis masukan sebagai musik kontemporer. Adapun istilah kontemporer karena bisa saja kabur akibat penyesuaian dari konteks zamannya yang terus berkembang, meminjam identifikasi kotemporer menurut musikolog Rahayu supanggah (1996:2) adalah yang menyangkut masalah kontekstual. Dengan demikian seni kontemporer, dalam hal ini termasuk musik Undergroud, sebenarnya tidak memasalahkan bentuk fisik atau wadahnya. Tetapi lebih pada sifat, pesan dan isi yang disampaikannya yang mesti mengkini, berlaku atau sesuai dengan zamanya.

Hal ini sama pula dengan pernyataan Dieter Mack, yang memandang bahwa komposisi-komposisi musik yang dicipta, khususnya untuk masa kini (kontemorer), mengandung beberapa unsur individual yang ditransformasikan ke dalam bahasa bunyi. Unsur itu dicipta berdasarkan ekspresi murni para musisi yang ingin disampaikan kepada pihak lain melalui karyanya. Segala sesuatunya merupakan hasil yang secara keseluruhan baru dan tidak mengidentifikasikan dari suatu musik yang telah ada. Serta bukan hanya sekedar memenuhi formalitas atau aturan-aturan yang sudah ada atau baku, tapi juga mendobraknya.

Sesuai dengan genre (jenis), gaya, ‘warna’ dan nuansa dari musik ini, menurut penulis paling tidak ada tiga ragam yang diusung permusikan jenis Underground dalam melihat (mendobrak) dunia realita. Pertama, mencoba mengkritisi kehidupan politik dan sosial. Dengan nuansa musik yang khasnya, baik itu lagu ataupun mode yang dipakai, mengisyaratkan penolakan hegemoni dari berbagai aturan konvensional di dunia sosial dan politik. Semuanya, di musik ini seakan-akan meleburkan suasana ikatan norma yang dikukuhkan lewat suatu ‘institusi’, apapun itu namanya. Dan individualisme (atau dalam bahasa mereka ‘do it your self’) merupakan titik akhir atas hak dari kritikan tersebut. Perwakilan kritikan ini bisa disebutkan dengan adanya jenis musik Punk, Punk Rock, Hard Core, Grend Core, Trust Core, Melody Core, Alternatif, Grunge, Skin Head dll. Ciri lain dari musik ini, salah satunya terdapat perkataan kekecewaan yang bernada menghina atau melecehkan yang dilontarkan lewat lirik dari bait lagu, terhadap keadaan kehidupan politik, ideologi dan sosial yang becokol pada saat itu.

Kedua, kritikan terhadap kehidupan hedonis dari hasil teknologi. Seperti jenis musik Gotik, New Wave, Industrial Heat, Pop Elektrik, Tekhno dll. mencoba meperlihatkan gaya dan alat yang dipakainya dalam bermusik, dengan personifikasi kehidupan yang serba praktis dan begitu elegan. ‘Warna’ musik ini memang lahir dari eksperimen alat-alat musik elektronik dan syintheteser. Karena bunyi-bunyian yang dimunculkan: monoton mirip suara pabrik, maka timbullah musik yang bernuansa teknologi. Namun tidak lepas dari itu, alat-alat yang dipakai mereka sesungguhnya memperlihatkan bahwa dapat melenakan siapa saja yang terlalu bergantung menggunakan produk teknologi.

Dan yang ketiga, kelompok musik yang agak ekstrim baik dari segi asesoris maupun dari jenis musiknya. Dikatakan demikian karena simbol-simbol yang digunakan, lebih bernuansa ‘magis’ dan komprontatif. Mereka dapat diklasifikasikan sebagai pendobrak relegiutas atau lebih tepatnya agama, yang diwakili oleh aliran musik Blakc Metal, Blakc Mask, Death Metal dll. Biasanya sebelum memulai permainan musiknya, dilakukan terlebih dahulu ritual-ritual yang tidak didapatkan pada sebuah agama ataupun pemusik. Tetapi, jenis pemujaan yang berorientasikan pada subjek yang dikatakan oleh kalangan agamawan sebagai penggangu manusia, yaitu setan (Deamon) atau iblis (devil).
Dari sebagian pemetaan genre musik di atas, aliran-aliran musik tersebut bisa direlepansikan juga dengan fonomena Posmodernisme yang selama kurang lebih satu darsa warsa ke belakang sempat hangat diperdebatkan di Indonesia. Posmodernisme, atau istilah lain pasca modern di sini, maksud sederhananya sebagai arti dari perkembangan atau tahapan cara dan paradigma (gaya) hidup. Maksudnya, dulu manusia mengalami tahap kehidupan tradisional. Segala atribut prilaku kehidupannya sangat tergantung pada kesederhanaan alam. Setelah itu periode modern muncul, di mana semua kehidupan tergantung pada suatu alat produksi (industri). Dan tahap yang menggejala sekarang ini (postmodernisme) muncul sebagai pendobrak (deconstruktion) dari kungkungan hasil alam modern yang menghegemoni manusia.

Selain itu, gejala posmodernisme muncul juga berbarengan dengan apa yang dinamakan Cultural Studies. Yaitu hadir dengan tujuan menciptakan kesadaran budaya yang sama derajatnya; tidak ada lagi budaya tinggi dan budaya rendah, sebab dua budaya tersebut tidak lain adalah budaya.

Penilaian ini memang diawali dari kritik seni dan budaya baik itu musik, arsitektur, mode, gaya hidup, sastra dan merembet ke pemikiran yang sampai sekarang menggejala. Adapun alam realitasnya, gejala posmo di Indonesia seperti diketerangan sebelumnya, menurut penulis hanya sebagai imbas (dampak) dari globalisasi dunia barat yang sudah mengalami dunia posmo lebih awal.

Dan apabila kita konparasikan, sebenarnya terlalu dini apabila munculnya fenomena musik underground bisa disebut sebagai gejala posmo. Mengingat ketumpangtindihan perkembangan kebudayaan yang ada di Indonesia secara keseluruhan, mengalami kerancuan. Sebenarnya kita berada pada tahap tradisional, modern, pasca modern (posmodernime) ataukah ketiganya?.

Namun demikian, akhirnya penulis berpendapat bahwa fenomena pertunjukan underground, bukan hanya selalu sekedar sebuah kasus pelanggaran etika dan moral yang biasanya dikaitkan dan dilengkapi dengan sanksi-sanksi norma. Pertunjukan undeground dalam hingar-bingarnya kebringasan, kiranya bukanlah, misalnya semata-mata pertunjukan anarkis sebagaimana wajah aslinya. Tetapi simbol-simbol yang tampil dalam ketak beragaman bentuk mode dan asesoris yang dipakai, sebenarya justru ingin menampilkan sebuah fenomena baru kepada pendengar, pengunjung, penonton atau penafsir untuk mengambil makna dari bentuk, gambaran, bayangan, imajinasi simbolis yang dicipta dan tersedia di depan mata kita.[]

Mantan Ketua Jurnalistik LPIK periode 2003/2004.Kini tinggal di Bandung

No comments: