Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Iman Minoritas

Tuhan Pun tertawa Muhammad Menangis dan MUI Marah
oleh Ibn Ghifarie

Belum lama ini, terjadi peristiwa yang mengejutkan bagi pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan acapkali kebakaran jenggot. Pasalnya, beberapa pekan kebelakang ada beberapa kumpulan pengajian mengajarkaan hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hingga disinyalir aliran tersebut dapat membuat resah dan geram masyarakat alias menyesatkan.

Kemudian, yang pada akhirnya berujung pangkal pada penisbian, bahkan sekaligus menafikan adanya Tuhan. Sebut saja, yang terjadi di Malang, yakni Ponpes Ma’dinul Asro, yang dipimpin oleh H Yusman Roy; di Bekasi, tepatnya di daerah Bantar Gebang, yang terdapat Mazlis Dzikir Ponpes al-Musyarofah yang dikepalai oleh Syaikh Maulana. Lembaga ini dinilai mengajarkaan ajaran sesat, sebab salah satu ajarannya adalah menghalalkan perbuatan zinah. Apalagi perlakuan bejad ini dilakukan secara langsung oleh kepala Ponpes tersebut kepada jemaahnya; di Probolinggo pun terjadi hal yang serupa.

Namun, berbeda caranya. Yakni dengan mengeluarkaan buku habis gelap terbitlah terang. Konon, isi buku tersebut mengajarkan kepada kita untuk berbuat zina dengan siapa pun termasuk dengan ketua ponpesnya. Atau yang unik lagi, ketika menjamurnya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di daerah Indaramayu terdapat satu calon Bupati dan Wakil Bupati itu melakukan kampanye dengan membubuhkan potonya di sampul al-Qur’an. Tentunya naif sekali.

MUI di Menara Gading
Dengan maraknya aliran-aliran bak jamur di musim hujan tiba, yang dapat menyesaatkan akidah umat Islam. Maka MUI sebagai lembaga yang menaungi segala problematika keumatan untuk menggapi permasalah tersebut. Tentunya harus cepat tanggap dan memberikan penjelasan terkait dengan persolan tersebut. Namun, bukan berarti MUI tidak hanya berkutat dan dapat mengeluarkan fatwa-fatwa semata, tanpa harus berujung pangkal pada pemberian penjelasan kepada halayak banyak. Apalagi perkumpulan ulama nan kompleks lagi ragam ini, beralih propesi dari juru bicara Tuhan dalam memberikan m’alulat tentang aspek Mu’alammah dan Tauhidullah menjadi polisi agama. Waspadailah polisi agama itu.

Dengan demikian, maka sangatlah wajar apabila ada sekelompok tertentu yang beranggapan bahwa MUI bukan lagi kumpulan para ulama tapi polisinya agama. Karena lembaga tersebut hanya pandai mengeluarkan pendapat dan fatwa saja--yang mesti diamini oleh seluruh umat islam. Ketika tidak sepadan dengan pemahmannya dinilai tidak sepaham, bahkan terkadang dicap kapir dan halal darahnya. Hal ini terlihat dari isi gugatan pengacara H Yusman Roy kepada MUI. Seperti yang tedapat dalam HU Pikiran Rakyat (31/5);

Tim pengacara pemimpin pengajian lelaku Pondok Itikaf Sumberwaras Lawang Jatim, menolak berdamai dengan MUI Kab Malang. dan tetap melanjutkan gugatan perdatanya di Peradilan Negeri.

“Kami tidak akan menyatakaan damai dan mencabut gugatan terhadap MUI Malang. Jika pihak MUI sendiri juga mencabut fatwanya, yang menyatakan bahwa ajaran H Yusman Roy, M Amin dalam persidangan perdana gugatan perdata di PN Kapenje, senin (30/5)

Selain itu, katanya desakan agar MUI untuk meminta maaf secar terbuka kepada H Yusman Roy dan para santrinya melalui media masa selam minimal 4 bulan itu juga harus dipenuhi, ungkaap pengacara H Yusman Roy dengan tegas.

Sementara Majlis Hakim PN Kapenje, Soedarmadji S.H dan didampingi Taufan Mahdala itu menyarankan agar kedua belah pihak segera berdamai secara kekeluargaan.
Seperti yang diketahui secara bersama belum lama ini, MUI mengeluarkan fatwanya tentang bahaya ajaran ngaji lelaku di mana shalat menggunakan dua bahasa, yang diajarkaan oleh Yusman Roy tersebut sesat dan menyimpang dari ajaran al-Qur’an, sehingga kegiatan dipondok itu diberhentikan.

Tak hanya itu, MUI cabang Tulungagung Jatim pun ikut nimbrung berkenan dengan aliran tersebut. Yang secara resmi mengeluarkan fatwa sesat bagi ponpes Ma’dinul Asror yang dirusak oleh masa beberaapa waktu lalu. Wakil K H Mungin Arif kepada antara Tulungaagung, minggu (29/5) menyebutkan paling tidak terdapat tiga penyebab sesat tersebut.

Pertama, Ponpes telah mengajarkan paham semua yang ada dimuka bumi ini milik Allah, sehingga siapa saja boleh mengambilnya.
Kedua, Pada tataran tertentu umat Islam tidak wajib menjalankan ibadah shalat lima waktu.

Ketiga, Akad perkawinan didasarkan pada suka sama suka tanpa harus melalui restu wali dan dihadapan 2 orang saksi. Tegasnya.

Menilik persolan-persolan di atas, yang membuat kita mengerutkan kepala. Jika kita ditanya tentang asal muasal lahirnya pemahaman tersebut. Tentunya akan sama jawabannya, yakni bersumber pada kitabullah dan sunnatrasul. Namun, dalam mengejawatahkan teks tersebut dalam tatanan kehidupan nyata akan mendapat halangan dan rintangan. Sebab berbeda kondisi ruang, waktu dan zamannya. Apalagi kita tidak memiliki “mentalitas keragaman”(pluralitas). Sebab faktor inilah yang acap kali menjadi biang kerok dalam menaggapi permaslahan-permasalahan tersebut. Walaupun, kemudian pada akhirnya akan tertumpu dan tergantung pada teks itu sendiri dan si pembaca. Karena kehadiraan teks matinya sang pengarang—meminjam istilah K Bartez.

Sementara menurut Azu Mardy Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memberikan komentar tentang maraknya aliran-aliran tersebut. Di salah satu stasiun TV swasta (27/5). Ia berujar bahwa menjamurnya pemahaman itu, di karenakan krisis identitas yang terjadi di masyaralat dalam perubahan tatanan sosial. Sehingga mencari format-format baru guna diakui keberadaannya, katanya.

Selain itu, masih menurut Azra—panggilan akrabnya. Ia memberikan tanggapan terhadap persoalan itu, tentunya ada motif lain terkait dengan menjamurnya kelompok keagamaan yang dianggaap sesat oleh sebagian golongan termasuk MUI. Yakni oleh orang yang mempunyai kepentingan tertentu, ujarnya.
Senada dengan pendapat di atas, A. Gunaryo, dosen pasca sarjaana IAIN Walisongo pun ikut berkomentar bahwa pemikiran pluralisme perkembangaannya ditentukan oleh dinamika dan kebijakan pandang masyarakat. Bukan campur tangan dan kendali pemerintah yang berkuasa, ungkapnya.

Ia berpendapat, jika campur tangan sampai terjadi inilah yang dikatakan sebagai persoalan. Menurutnya terkadaang dalam pluralitas muncul berbagai sikap dan sifat atau perilaku yang tidak plural, tegasnya.

Keragaman Sebagai Kehendah Tuhan
Terlepas dari setuju atau pun tidak, dengan pemahman tersebut. Yang jelas Pluralisme agama yang hidup dan ada di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman pemahaman atau aliran keagamaan yang ada didalam tubuh interen umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
Dengan kata lain, pluralisme menegaskan bahwa kemajemukan, keragaman dan perbedaan merupakan satu kenyatan kemanusiaan. Atau satu-satunya fitrah kemanusiaan, tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali heteroginitas.

Dengan begitu, fenomena di atas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda, bagaikan mata uang.
Pertama adalah sisi manusia serius dengan aktivitasnya, sehingga orang yang berada di sekiatarnya tak dihiraukan.

Kedua, adalah manusia yang “terlalu peduli”, sehinggan ingin tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan “kebinasaan” dan “peniadan”, salah satu pihak karena tidak adanya “kesaling-mengertian” dan “kesaling-pemahaman” tentang karakter lain. Dari hal-hal yang kecil berubah menjadi yang besar. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang tidak merasa senang dengan mereka yang berbeda? bukankah kita sering menggagap sesat kepada mereka yang berbeda paham dengan kita?.

Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya” mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir” (H R Bukhari-Muslim).

Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai Rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.
Maka di sini kita patut bertanya, konsep ataukah manusianya yang melenceng? Saya kira jawabanya ada pada yang terakhir. Jika ini benar, maka yang rusak adalah sistem pengetahuan dan konstruk-budaya yang melekat pada diri kita. Yakni cara pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang lagi. Jika perlu didekontruksi sekaligus direkontruksi menuju kepada Rahmat tadi. Dan kita sebagai manusia harus berani mengakui, baik secara nalar (episteme)—yang melahirkan beragam tafsir, maupun sikap dan jalah hidup (way of the lyfe) itu berbeda-beda.

Oleh karena itu, kita harus berani bersikap bijak (wisdem) terhadap berbagai perbedaan di antara kita. Karena dengan itu, akan melahirkan masyarakat yang penuh Rahmat—kasih sayang dan perdamaian yaitu masyarakat madani (Sivil society). Sebagaimana Tuhan berfirman, …dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan bumi dan langit serta berlain-lain bahasamu, dan warna kulitmua (QS Ar-Rum : 22); dan pada ayat lain, ….kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal dan menghormati satu sama lain (QS Al-Hujurat : 13); surat an-Naba 24-26; Katakanlah hai Muhammmad siapa yang membri rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah Allah dan sesungguhnya kami atau kamu (non muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, katakanlah kami (non muslim) tidak akan bertanggungjawab tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberikan keputusan antara kita dengan benar dan dialah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui.

Bahkan nabi Muhammad sendiri pernah di tegur secara langsung oleh Tuhan melalui firmannya, ketika ia berkeinginan kelak, nanti umatnya itu menjadi satu golonganya. Artinya tidak ber-firkah-firhak hingga 73 golongan. Maka dengan jelas Tuhan berkata, seperti yang termaktub dalam kitabnya,; kalaulah Tuhan menghendaki, tentunya akan beriman semua orang yang ada dalam bumi secara keseluruhan, maka apakah engkau Muhammad akan memaksa manusia, sehingga mereka beriman semua (QS Yunnus: 99); atau dalam ungkapan lain sebermula sekalian umat manusia merupakan satu kaum dari Adam; kemudian mereka bercerai berai, jika tidak ada pernyatan Tuhanmu sebelumnya, niscaya di putuskan masalah-masalah mereka yang di perselisihkan. Tetapi manusia tidak berselisih pendapat mengenai kebenaran itu kecuali mereka yang telah menerima tanda-tanda yang jelas; dalam hal ini mereka melakukan dalam semata-mata.(QS Al-Baqarah : 213).

Sedangkan dalam tradisi yang lain seperti Kristen, kita kenal ungkapan Konsili Vatikan II; …. yang mengakui keselamatan juga terdapat dalam ajaran agama lain selain di lingkungan Katolik Roma.

Dari Monolitik Ke Pluralistik
Namun, lagi-lagi dalam kehidupan acapkali kita menemukan bahwa kearifan yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyyah dan Insaniyyah merupakan “kata-kata” yang lebih mudah di bicarakan dan sulit dijalankan. Sebab ia, adalah yang berdasarkan pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara pemahaman dan cara pandang yang biasa kita anut—karena dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak, sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.
Berkenaan dengan hal ini, Henry Bergeson (Filusuf dari Prancis) membagi dua bentuk masyarakat. Pertama, masyarakat tertutup (fermes). Inilah masyarakat individu-individunya membentengi (ekslusif) dan membatasi dirinya dalam dinding-dinding asas, kepercayaan dan lembaga-lembaga yang diciptakannya.
Pada masyarakat ini, manusia terkungkung sekaligus statis; dan pada gilirannya tidak berkembang di karenakan kemandegannya.

Kedua, masyarakat terbuka (ouverte). Adapun masyarakat ini adalah kebalikan dari masyarakat yang tertutup. Yakni masyarakat yang tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri dengan peradaban yang ada di masyarakat.

Pada masyarakat ini, keterbukan (inklusif), toleran dan sikaf kasih sayang antara sesama serta bijak dalam memahami orang lain merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan kontrak sosial yang mengacu pada nilai-nilai Insaniyyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan bersama. Inilah yang pada masa Rasululah di sebut ummah. Dan berbentuk masayarakat Madinah Al-Wunamwwarah. Tentu pada masa itu, muncul nabi Muhammad SAW menjadi figur yang menyatukan perbedaan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu Rasalullah lewat Piagam Madinah yang di sepakati oleh berbagai suku dan agama, berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.

Sebagai mana yang kita ketahui, ternyata dalam hadits-hadits, Rasulullah mewujudkan masyarakat itu berdasarkan pada nilai-nilai insaniyyah dan ilahiyyah. Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan tertentu, sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusian dalam masyarakat diprioritaskan.
Di sinilah sikap Pluralisme yang berdasarkan ukhuwwah Insaniyyah wa Ilahiyyah menjadi penting untuk di wujudkan dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat kita yang Multi-Budaya, Etis dan agama, tentu harus di realisasikan. Karena dengan itu, kita sebagai manusia tidak akan lagi tersesak dengan garis pemisah antara kita dengan “manusia” dan yang-lain sebagai bukan manusia—karena manusia sesunguhnya adalah “satu-makhluk” yang beranekaragam.

Akhir kata, dengan hadir dan maraknya aliran-aliran “baru”, bahkan dianggap “ganjil” oleh sebagian golongan termasuk MUI. Terutama di Malang, Probolinggo, Bekasi dan Indramayu, dll. Mudah-mudahan dapat memberikaan pemahaman yang baru dalam khazanah keilmuan Islam, yang pada akhirnya dapat membawa kita kepada derajat ketakwaan yang tebih tinggi. Itu pun akan terjadi mana kala kita mampu memahami dan mengakui perbedaan di antara kita. Baik dari segi agama, sekte/madzhab, Ormas, ras maupun etnis ini. Sehingga terbangunlah sisi persatuan dan kesatuan (kemanusiaan) yang tahun kemarin sempat awut-awutan, robek, hancur, bahkan sekaligus terkoyak.
Tak hanya itu, dengan memahami dan ikut andil dalam mewujudkaan pemahman pluralisme ini merupakan satu langkah awal menuju pintu kebajikan dan pembebasan dalam memahari keragaman yang ada pada manusia.
Akan terapi, pluralisme dalam kontek ke kinian pluralisme tidak hanya kesadaran atau pemahaman adanya heterogentas, tapi harus juga terlibat secara pro aktif dalam mengejawatahkan nilai-nilainya.
Keharusan pro aktif inilah yang tidak disentuh, selama ini. Apalagi digumulai oleh orang-orang yang selama ini mengaku memehami pluralisme.
Jadi, bukan hanya mengakui tapi membiarkan orang lain yang bebeda dengan kita untuk berkretifitas dengan bebas.
Dengan demikian, pluralisme dalam pandangan Dr Alwi Shihab melalui buku Islam Inklusif (2001:41-42) harus dibedakan dari;
Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.
Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Hal yang tak kalah menarik pun di lontarkan oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Pluralime Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur) (2002:77) tentang Pluralisme.

Adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri.
Oleh kerena itu, ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diajukannya wacana, kelopmpok, individu, komunitas, sekte, dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima.

Di sinilah saya hanya dapat berharap, semoga usaha kita dalam menepis keragaman ini tidak di tertawakan oleh Tuhan sendiri. Apalagi dengan membuat Muhammad menangis. Meskipun membuat geram, bahkan marah MUI. Ya...salah siapa beralih profesi menjadi polisi agama. Dengan demikian, waspadailah polisi agama itu. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 01/06/05;21.43 wib (Dimuat Di Majalah Suaka edisi Maret 2006)

Mantan Sekum LPIK periode 2003/2004. Kini koord Post LPIK

No comments: