Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Sangkuriang

Di Balik Mitos Sangkuriang
Oleh AHMAD SAHIDIN, S.Hum

Alkisah, pada satu waktu seorang raja berburu ke hutan. Dalam perburuannya itu ia tak kuat untuk menahan kencing, hingga kencing pada batok kelapa. Dan pada lain waktu air pada batok itu diminum seekor celeng betina yang bernama Wayungyang. Selang beberapa bulan celeng itu perutnya buncit. dalam keadaan perut yang membuncit itu Wayungyang meregang kesakitan karena anusnya membesar dan mengeluarkan seorang bayi perempuan. Bayi itu kemudian diurusnya dan diberi nama Dayang Sumbi. Menjelang dewasa Dayang Sumbi bertanya tentang siapa bapaknya. Kemudian Wayungyang membawanya pada sebuah istana kerajaan dan menunjukkan bahwa yang menduduki tahta raja itu adalah bapaknya.

Singkat kata, Raja menyambut dan mengakui Dayang Sumbi sebagai anaknya yang kemudian dididik menjadi puteri yang terampil. Namun lama kelamaan Dayang Sumbi rindu pada ibunya yang tinggal di hutan. Akhirnya Dayang Sumbi pergi ke hutan. Di tempat itu Dayang Sumbi tak menemukan ibunya, tapi karena beberapa hal ia memilih hidup di hutan. Di hutan itu ia tinggal sendirian di saung rangon. Aktivitas kesehariannya adalah menenun. Pada suatu hari taropong yang digunakan untuk menenun jatuh ke bawah saung rangon. Karena kondisi Dayang Sumbi dalam keadaan lemas, maka ia enggan untuk mengambilnya. Lalu ia ber-nadar bahwa jika ada makhluk yang rela mengambilkan taropong dan menyerahkan padanya, bila jenis jelaminnya berbeda dengannya akan dijadikan suami, dan bila berjenis sama dengannya akan dijadikan saudara. Tak sengaja bahwa di bawah itu ada anjing jantan bernama Tumang yang mendengarkan nadarnya itu. Maka Tumang pun segera naik ke atas dan menyerahkan taropong pada Dayang Sumbi. Karena Dayang Sumbi telah berjanji maka Tumang pun menjadi suaminya hingga lahirlah seorang bayi laki-laki yang bernama Sangkuriang.


Semakin lama Sangkuriang makin dewasa. Ia tangkas dan pandai berburu. Entah kenapa pada suatu hari ibunya, Dayang Sumbi, meminta hati menjangan pada anaknya. Sangkuriang pun pergi berburu ditemani si Tumang ke tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tetapi setelah berkeliling ke sana ke mari ia tak menemukan menjangan seekor pun. Dalam keadaan bingung karena belum mendapatkan yang dipinta ibunya itu, Sangkuriang melihat seekor celeng yang berlari dari arah timur. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar celeng itu.

Namun si Tumang hanya mengibas-ngibaskan ekornya sebagai tanda tidak mau mengejar, dan marahlah Sangkuriang. Karena amarah itu kemudian Sangkuriang menancapkan tombak runcing hingga matilah anjing itu. Tak ragu-ragu Sangkuriang membelah dan mengambil hatinya untuk dipersembahkan pada ibunya. Sesampainya di rumah, hati yang dibawa sangkuriang itu dimasak dan dimakan ibunya. Selesai makan ibunya bertanya tentang si Tumang, dan Sangkuriang pun berkata jujur bahwa hati yang dimakan ibunya itu bukan menjangan tapi anjing. Marahlah Dayang Sumbi dan gayung air yang ada didekatnya dipukulkan pada kepala anaknya itu. Karena tindakan itulah Sangkuriang pergi jauh meninggalkan ibunya.

Sejak kepergian anaknya itu Dayang Sumbi menyesal dan memohon kepada Sang Hyang Widi agar memulangkan kembali ke rumahnya.

Singkat cerita, datanglah pada Dayang Sumbi seorang laki-laki gagah dan tampan. Laki-laki itu kemudian jatuh cinta hingga ingin meminangnya. Namun Dayang Sumbi melihat di kepala laki-laki itu ada cacat bekas pukulan, dan kemudian Dayang Sumbi menjelaskan bahwa ia adalah anaknya. Tapi Sangkuriang membantahnya sebagai siasat ketidakmauan atau tolakan Dayang Sumbi atas pinangannya. Karena Sangkuriang terus memaksa Dayang Sumbi untuk menjadi istrinya, maka Dayang Sumbi pun mengiyakannya tapi dengan syarat bahwa Sangkuriang harus membendung sang hyang tikoro hingga menjadi danau dan membuat perahu untuk lalayaran dalam rangka merayakan bulan-madu, tetapi harus selesai dalam waktu semalam atau waktu fajar belum terbit. Akhirnya dengan kekuatan yang dimiliki Sangkuriang dan dibantu para jin dan siluman persyaratan itu mendekati selesai. Karena tahu bahwa pekerjaan Sangkuriang akan selesai, maka Dayang Sumbi menggagalkannya dengan menyuruh seluruh penduduk untuk menumbuk padi dan mengibar-ngibarkan boeh rarang hingga berkokoklah ayam sebagai tanda pagi. Saat itulah kemudian Dayang Sumbi datang kepada Sangkuriang dan mengatakan bahwa ia telah gagal untuk menjadi suaminya. Karena kesal dan tahu bahwa Dayang Sumbi telah menggagalkannya, maka perahu yang belum jadi itu ditendangnya dan nangkub hingga kini dikenal gunung tangkuban parahu.

Menurut cerita yang beredar, bahwa dahulu kala memang ada danau yang disebut danau bandung purba. Danau ini luasnya kira kurang-lebih tiga wilayah DKI sekarang, yang batas utaranya dari gunung tangkuban parahu sampai ke selatannya adalah daerah Ciwidey; batas baratnya sekitar Padalarang-gunung masigit sampai ke timurnya adalah daerah Cicalengka; yang mungkin bentuknya mirip kuali atau wajan. bahkan dalam cerita dikatakan bahwa sebelum danau ini surut ada sebuah gunung yang tinggi yang puncaknya tertutup kabut putih. Kabut putih dalam bahasa Sanskerta disebut cuda. Kata cuda ini oleh masyarakat dahulu sering diucapkan secara cepat : “cuda-cuda-cuda” hingga terdengar menjadi Sunda–ada kemungkinan istilah Sunda merujuk pada wilayah danau dan gunung tersebut. Kemudian gunung tersebut meletus dan melahirkan tiga anak gunung yaitu bukit tunggul, burangrang dan tangkuban parahu. Menurut saya kemungkinan besar munculnya dongeng sangkuriang di atas berkaitan dengan cerita danau bandung purba tersebut.

Dongeng sangkuriang di atas adalah salah satu versi yang berkembang di Tatar Sunda. Memang banyak versi tentang dongeng di atas. Namun versi di atas yang masih melekat ketika orang tua mendongengkannya di waktu kecil. Karena inilah yang kemudian menjadikan keyakinan pada diri saya, bahwa Tatar Sunda punya kekayaan intelektual berupa karya sastra. Karya sastra yang berbentuk dongeng ini memang banyak yang telah menafsirkannya. Misalnya bagi kalangan penganut mistik, sangkuriang dianggap orang yang tidak berhasil mengendalikan nafsu amarah, yang disimbolkan dengan tidak selesainya menutup sang hyang tikoro. Juga dianggap orang yang telah “gelap” sehingga menginginkan ibunya dipersunting, yang kemudian menemukan beurang (siang) yang maknanya sebagai pencerahan atau hidayah atas “kegelepan”nya karena telah bersekutu dengan dunia hitam yang disimbolkan dengan jin dan siluman.

Ada juga yang memaknai bahwa Sangkuriang merupakan symbol “manusia luar biasa”, atau istilah Nietzsche yaitu Ubermensch. Yakni manusia yang tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap bentuk nilai adi-kodrati dari orang lain karena ia menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Hal ini terlihat pada penolakan Sangkuriang atas kebenaran yang disampaikan Dayang Sumbi. Karena bagi Sangkuriang, dirinyalah yang paling benar sehingga ibunya sendiri harus “tunduk” dengan kebenaran yang ada pada dirinya. Namun pada dongeng itu pula Dayang Sumbi berusaha meruntuhkan solipsisme anaknya melalui strategi yang berbentuk persyaratan.

Dengan persyaratan itulah kemudian Dayang Sumbi melakukan siasat sekaligus resistensi yang menjungkirbalikan ego-kuasa Sangkuriang melalui penggagalan yang dilakukan Dayang Sumbi. Dengan gagalnya mengawini Dayang Sumbi-yang tiada lain ibunya-inilah yang dapat saya anggap bahwa inces tidak diperkenankan hadir di Tatar Sunda. Saya tidak tahu apakah ini bentuk resistensi budaya Timur terhadap budaya Barat yang saat itu mungkin sedang menjadi “kiblat” atau pusat kebudayaan dunia? Jika ini benar, maka mitos Oedipus Complex yang membunuh bapaknya dan kemudian berhasil mengawini ibunya (ibu dalam pandangan ini adalah symbol tanah air) adalah ciri budaya Barat yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan anjuran mengolah dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mengubah dunia.

Hal inilah yang membedakannya dengan budaya Timur yang begitu menghargai alam sebagai sumber hidup manusia dengan cara melaksanakan ritus seperti nadran laut saat panen ikan, panen pare dengan cara menyimpan sebagian hasil panen dalam tempat tertentu yang diperuntukkan sebagai ucapan terima kasih kepada Nyi Pohaci (Dewi Sri), seren tahun (tahun baru), tujuh bulanan, nyawer, ruwatan bumi yang dilakukan dengan ngarajah sebelum melantunkan pantun-pantun dan do`a-do`a keselamatan.

Memang dalam hal ini karya sastra Sunda lama sering berbentuk pantun. Pantun dalam tradisi masyarakat Sunda sering di-dalingding-kan pada acara-acara sacral; yang memang di dalamnya terdapat muatan-muatan moral sekaligus bermakna kekayaan batin orang Sunda. Pada dongeng Sangkuriang misalnya terdapat pesan bahwa nadar (Arab=nadzar) yang diucapkan Dayang Sumbi merupakan janji yang harus ditepati, yaitu kawin dengan dengan anjing yang telah menyerahkan taropong. Dan bila ditelusuri dari sejarah yang konon bahwa Sunda terpengaruhi agama Hindu, maka dari itu saya menafsirkan bahwa celeng Wayungyang adalah symbol “kembang desa” yang derajatnya rendah (sudra) dan hidup di kampung yang dekat dengan hutan. Adapun raja yang berburu dan kencing pada batok kelapa itu merupakan simbol pejabat atau ksatriya yang memanfaatkan status sosialnya untuk memetik dan menikmati harumnya “kembang desa”-yang dalam bahasa populer disebut gundik atau istri simpanan. Sedangkan anjing yang bernama Tumang adalah simbol orang yang paling rendah derajatnya yaitu paria.
Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa pada masa itu yang dianggap “manusia” hanyalah kaum brahmana, ksatriya dan waisya. Sedangkan kaum sudra dan paria adalah symbol manusia yang tidak berharga dan dinilai sama dengan binatang, sehingga Sangkuriang yang mewakili kaum ksatriya melakukan tindakan yang dehumanis. Inilah bentuk kesewenang-wenangan manusia (dengan status sosialnya) yang masih sering terjadi di masayarakat. Seperti tindakan anarkis yang dilakukan penganut agama tertentu yang mengklaim bahwa pemboman, penghancuran dan pembunuhan-terhadap orang yang dianggapnya kafir, murtad, zionis, zindik dll-adalah bukti dari “jihad” yang dipersembahkan bagi Tuhan-nya. Bukankah Sangkuriang dengan membunuh si Tumang adalah bukti inginnya mepersembahkan hati yang diminta ibunya?

Itulah apresiasi dari dongeng Sangkuriang Kabeurangan. Siapakah yang menciptakan? Anonim. Benar, karena masyarakat Sunda lama berlandaskan pada budaya lisan (oral tradition) dan bahasa cenderung dianggap alat untuk mengekspresikan kesadaran (batin) masyarakat. Itulah sebabnya dongeng-dongeng yang berbentuk pantun tidak mengenal pengarang individual, karena ia adalah milik masyarakat luas. Bahkan pada dongeng di atas memang nampak bahwa alam pikiran masyarakat dahulu memang seperti mengada-ada, irasional dan lain sebagainya. Tapi di balik kemengada-adannya dan keirasionalannya itu kalau kita bisa menafsirkannya akan tampak bahwa para karuhun Sunda begitu cerdas dan terampilnya mengekspresikan pelbagai getar batin dan keresahan yang ada di zamannya.

Inilah sebabnya saya bangga pada proses yang mereka lakukan sehingga berhasil tampil dalam panggung kebudayaan. Tidakkah kita berpikir hari ini untuk berkarya lebih dari mereka? Dengan memikirkannya berarti ada rasa pengakuan tentang adanya alam, gunung, tetumbuhan, manusia, sejarah, dan mungkin tentang Sang Maha Pencipta.

AHMADSAHIDIN adalah Jurnalis Majalah Swadaya dan Alumni Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

No comments: