Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Pluralisme

Sekadar Refleksi Atas Prulalisme
Oleh Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz

Isue mengenai wacana Prularisme kembali bergejolak menjadi diskursus public setelah, Majelis ulama Indonesia (MUI) dengan lantang dan tegas mengeluarkan fatwa berkenaan dengan pengaharaman faham ini. MUI mendefinisikan prularisme sebagai faham yang membenarkan dan menyamakan seluruh agama- agama. Reaksi demi reaksi bermunculan ada yang mengamini dan menentang.

Mereka yang setuju, memahami dan menganggap prularisme sebagai faham yang merusak dan menyesatkan Aqidah umat Islam bahkan hingga sinyalemen hegemoni orientalis-orientalis barat yang ingin menghancurkan umat islam, juga salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun. Tak hanya dukungan atas fatawa ini, tapi kritikan bernada pedaspun harus ditelan mentah-mentah MUI. Kalangan yang tak sepakat dan menentang fatwa itu berpendapat, bahwa MUI terkesan tergesa dan sangat ideologis, untuk dalam mengambil keputusan tersebut. karena bagi mereka MUI tidak pernah melakukan upaya untuk berdialog bersama para punggawa aktivis prularisme, serta MUI mendefinisikan makna prularisme secara parsial alias tidak komprehensif.

Perbedaan dua mazhab pemikiran (scholl of thought) menjadi semacam Gazwhul fikri, atau perang pemikiran dikalangan umat islam Indonesia yaitu bagi mereka yang berusaha membumikan pluralisme yang diusung oleh sebagian cendikiawan muslim ternama seperti (Alm) Nurholis Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan Cak Nur ini. Beliau dianggap sebagai pelopor prularisme, beserta kawan-kawan baik tua maupun muda sebagi penerusnya. Dengan kalangan fundamentalis yang di gawangi MUI beserta sekte-sekte islam radikal.

Walaupun benar bahwa fatwa tak memeiliki legitimasi atau berkekuatan hukum formal yang secara sah tertulis akan tetapi memiliki pengaruh yang sangat kuat, karena dapat mempengaruhi psikologis umat islam di tanah air serta terjadinya pembentukan opini di masyarakat islam Indonesia. yang mayoritas bisa dilkatakan adalah masyarakat awam, yang menyandarkan pemahaman keagamaan mereka pada para ulama dan teks lama. Teks yang tak hanya berkisar pada al-quran dan hadis tapi tex-tex yang merupakan interpretasi atas ayat suci dan sunnah nabi.

Diskursus prularisme memang merupakan salah satu tema sentral yang menyita perhatian tokoh islam di Indonesia. Hal ini sangatlah bisa kita fahami, karena bersentuhan dengan realitas sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat majemuk mulai dari ras, suku, etnik, tradisi, budaya, agama dll. Kemudian mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Oleh karena itu, timbulnya konsepsi Islam tentang pruralitas adalah hal yang sangat wajar dan sangat perlu dipertimbangkan dengan sangat baik, dalam memetakan banyaknya konflik etno religius yang terjadi di Indonsia.

Apalagi jika konflik yang terjadi adalah konflik agama hal ini penting karena hal paling sensitif bahkan bagi Clifford Gertz agama adalah hal yang paling purba dan elementer serta hal yang merembesi segala bentuk peradaban manusia tak ada satu peradaban pun di dunia yang tak di ilhami oleh agama apaun bentuknya.

***

Pluralisme dapat ditinjau dan dimaknakan dari berbagai titik pandang. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "faham" yang mengakomodir adanya kemajemukan. Ini mengacu kepada kenyataan bahwa di dalam hidup ini kita tidak hanya menghadapi sesuatu yang tunggal. Kenyataan itu lebih dari satu. Maka, pluralitas adalah status yang memperlihatkan bahwa kenyataan memang lebih dari satu.

Asal-usul pluralisme secara harfiah dapat ditelusuri dalam bahasa Latin: plus, pluris yang berarti "lebih". Secara filosofis, pluralisme adalah menekankan bahwa kenyataan terdiri atas kejamakan dan/atau kemajemukan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, dan sebagai demikian, tidak boleh dimuarakan pada bentuk-bentuk penampakan dari satu kenyataan mutlak.

Dalam perspektif sosiologi, pluralisme mengacu kepada sebuah kondisi masyarakat di mana berbagai kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam posisinya masing-masing mempunyai pemikiran-pemikiran sendiri mengenai apa yang diingini secara sosial.
Sebagai demikian, setiap masyarakat dibangun atas bagian-bagian masyarakat tadi, yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial. Semakin bagian-bagian masyarakat ini bersifat institusional, semakin tampak wujud pluralisme di dalam masyarakat.

Setiap individu di dalam sebuah masyarakat adalah anggota dari kemajemukan institusi-institusi sosial itu. Ini mengimplikasikan bahwa semakin rumit sebuah masyarakat, semakin lenyap pula pengaruh dari suatu institusi yang bersifat dominan.
Agama sebagi sebuah institusi sosial dimana didalamnya memiliki pranta- pranata yang mengatur pola-pola interaksi yang berfungsi untuk mengintegrasikan masyarakat menuju kondisi-kondisi yang stabil seperti dalam konsepsi Durkheim agama dipandang sebagi factor yang mepersatukan masyarakat kedalam satu tubuh yang dinamakan solodaritas .

Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila nilai-pluralitas budaya itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.

Ketika berbicara mengenai pluralisme dalam konteks Islam Indonesia, maka kita tidak bisa mengeluarkn diri dari asumsi golongan islam yang mengomentari diskursus pluralisme. Secara kategoris pandangan dapat di bagi kedalam kelompok pendapat yang menempatkan dirinya masing-masing.

Bagi mereka penentang keras prularisme, menganggap pluralisme sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sejati. Karena pluralisme berangkat dari epistemologi humanisme yang merelatifkan seluruh konsep kebenaran. Dalam konsep ini, tidak akan pernah ada kebenaran hakiki yang bisa dicapai manusia, dalam hal apapun, termasuk dalam urusan agama. Menurut para pluralis, adalah bohong kalau ada yang mengatakan bahwa telah menemukan kebenaran yang pasti, termasuk misalnya meyakini secara pasti keberadaan Allah Yang Esa.

Ajaran Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa ada beberapa kebenarannya yang pasti (tidak relatif), dan itulah yang dinamakan “aqidah”. Islam juga mengajarkan bahwa satu-satunya ajaran yang benar adalah ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muhamad adalah nabi terakhir dan Islam adalah syariat paling sempurna (Al-Azhab:40, Al-Maidah: 3), setelah datangnya syariat Islam, agama-agama lain tidak ada artinya (Ali Imran :85), dan dan janji Allah berkenaan dengan superioritas Islam atas agama atau aliran lain (At-Taubah : 33).

Lebih jauh lagi, paham pluralisme agama memiliki sederet konsekwensi logis yang sangat fatal. Sebagaimana yang sudah saya sebutkan diawal artikel ini, konsep pluralisme justru akan membawa manusia kepada penyalahan semua agama. Konsekwensi lainnya adalah sebagai berikut.

Pertama, keyakinan terhadap pluralisme pada akhirnya akan menjauhkan agama dari praktek-praktek ibadahnya. Praktek ibadah menjadi tidak bermakna karena menurut konsep pluralisme, yang penting adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan (bahkan, menurut John Hick, pencetus pluralisme, yang penting adalah kepercayaan terhadap konsep kebenaran, bukan lagi kepercayaan terhadap adanya Tuhan).

Kedua, pluralisme mengandung kontradiksi logika internal dalam urusan agama. Secara akidah misalnya, pluralisme akan menyeret pengikutnya untuk membenarkan Islam sebagai agama yang meyakini Allah yang satu, dan pada saat yang sama ia juga diharuskan untuk membenarkan Kristen yang meyakini trinitas. Dan sisi ibadah Islam yang mengajarkan haramnya makan daging babi dan minuman keras adalah sama benarnya dengn penganut agama lain yang menghalalkannya.

Ketiga, pluralisme akhirnya akan menyeret orang kepada paham “non-religi”, satu kondisi ketika seseorang tidak lagi beragama karena permisifisme yang ditawarkannya sedemikian luas dan tanpa batas sehingga tidak ada lagi norma-norma agama yang layak untuk dijadikan pegangan.

Oleh karena bagi mereka, ketika umat Islam memegang Pluralisme sebagi life view, bisa dipastikan hancur Aqidahnya, Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahsia atau kunci vitaliti dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan boleh menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan

Argumen selanjutnya, berkenaan dengan Asal-usul faham pluralisme bukanlah dating dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10 000 nyawa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan seperti inilah yang lalu mengilhamkan ulangan teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahawa kebenaran dan keselamatan itu boleh saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, fahama pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historik yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimport dari setting sosio historis kaum Kristian di Eropah dan AS.

Pluralisme bukanlah kehendak Tuhan. Ia adalah sebuah komoditas politik yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk menghegemoni dunia. Dan menganggap prularisme sebagi sunnatullah adalah menyesatkan.

Sementara pendapat berbeda disampaikan oleh kalangan pluralis. Bagi para pemeluknya, prularisme itu diangap sebagai sebuah keniscayaan. Karena dalam kenyataan masyarakat itu plural (pluralitas), maka kita menghormati kepluralan, kemajemukan, dan keperbedaan itu. Jadi keperbedaannya yang ditekankan. Penghormatan terhadap perbedaan itu yang ditekankan. Sekaligus kita punya komitmen bersama bahwa dalam keberbedaan itu kita mau membangun sesuatu yang mempertemukan kita semua, yaitu civil society. Karena civil society itu masyarakat dari berbagai macam kelompok, ras, suku, agama, atau apa saja. Semuanya bisa hidup dalam suatu masyarakat. Yang di sebut civil society adalah warga negara. Yang sering dimaknai oleh Cak Nur sebagai masyrakat madani, yaitu warga negara yang mempunyai suatu etos membangun peradaban.

Dengan paham pluralisme ini umat islam dibimbing pada suatu visi. Visi kita ke mana dalam membangun masyarakat. Tapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat untuk dipecahkan dengan cara dialog, diskursus, terbuka, saling menghormati dan bebas kekuasaan Yang dengan hanya cara itulah, civil society dan demokrasi bisa dibangun, tanpa itu tidak mungkin.

Dalam konsepsi kaum pluralis mengisyaratkan adanya inklusifisme. Inklusifisme islam senidri diartikan sebagai paradigma yang menunjukan sifat terbuka islam dan menolak berbagi bentuk ekslusifisme dan absolutisme terhadap ajaran agama. Maka dengan sikap inklusifitas ini. Islam mengakomodir dan apresiatif terhadap adanya pluralisme.

Islam mentolelir dan mengakui hak-hak agama-agama lain untuk hidup dan menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh, karena pengakuan akan eksistensi agama lain sebagai sebagi dasar kemajemukan sosio kultural dan agama. Dan mengajarakan toleransi sebagai sikap yang harus dilakukan dalam menyapa kemajemukan, karena islam mengajrakn perbedaan sebagai sunnatullah.

Berbagi pendapat mengenai gunjang-ganjing diskursus pluralisme di Indonesia memang tidak akan habis diperbincangkan selama kondisi masyaraka selalu heterogen dan barangkalia kan selama sama. Dengan demikian, dalam lanskap Indonesia yang sangat pluralistis. Ini bukan sesuatu yang buruk. Bahkan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mempunyai pilarnya atas pluralisme. Perasaan dan perilaku kebangsaan (nasionalisme) kita justru didasarkan atas kesadaran bahwa kita adalah plural.
Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila pluralitas itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.
Pluralisme dengan demikian adalah sesuatu yang given, yang memang ada, disukai atau tidak disukai, mau atau tidak mau. Pluralisme tidak membutuhkan persetujuan tetapi pengakuan, dan kemampuan untuk menyikapinya sehingga kita tidak terjebak di dalam konflik-konflik sosial.

Pluralisme di dalam agama, dengan demikian tidak bisa diidentikkan dengan sinkretisme atau relativisme. Sinkretisme adalah sikap yang mencampuradukan agama-agama sehingga muncul satu agama baru. Relativisme adalah sikap yang merelatifkan segala sesuatu sehingga sendiri kehilangan pegangan.

Bahkan bagi seorang franz magniz suseno, Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.

Tantangan kita ke depan adalah peninggalan dari Cak Nur, yang harus sungguh-sungguh menyadari bahwa Islam itu seharusnya agama yang mengayomi. Hal ini sangat menentukan, apakah Islam itu nantinya jadi agama yang menarik? Atau tidak menarik. Lantas agar islam pun dapat lebih menampakan wajahnya yang ramah, toleran, dan aegalitarian, sebagai Rahmatan lil alamin. sebab menebarakan kasih sayang adalah perintah tuhan dalam Alquran

Rujukan
www.islamemansipatoris.com
www.islamlib.com
www.suarahidayah.com
http://www.suarapembaruan.com
http://bundakirana.multiply.com
http://www.ananswer.org
www.militan.blogsome.com
www.insistnet.com


*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)Bandung

No comments: