Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Fatwa MUI

MENYOAL FATWA MUI
Oleh Yusep el_Thabrazi

Tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sebelas fatwa. Salah satunya ialah mengharamkan segala bentuk yang berbau liberlisme, sekulerisme dan pluralisme. Fatwa yang di keluarkan oleh ‘ulama’ itu di latarbelakangi oleh makin maraknya kelompok yang menafsirkan islam dengan perspektif beda dengan tafsiran umum. Proses haramisasi ketiga variable di atas perlu di kaji lebih analitis. Sedari dulu memang wacana agama banyak menciptakan ruang debated dan tidak sedikit menguluarkan tetesan darah bahkan kematian seseorang yang memepertahankan kebenarannya. Wacana agama tak pernah lekang untuk di bicarakan.

Saya melihat bahwa setiap fatwa MUI merupakan bentuk penggiringan struktural yang akan berimplikasi pada “closed ijtihadi”. Sebuah perselingkuhan antara kuasa yang represif dengan agama. Ruang berfikir seorang muslim akan di tutup, pintu ijtihad akan di kunci kembali. Implikasi yang fatal ialah terjadinya awan gelap umat Islam. Sebuah masa kegelapan (dark age) yang pernah atau tengah di jalani oleh islam.

Meminjam bahasanya Ilham Mundzir dari JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammdiyah) bahwa “bukan agama Islam yang menghalangi kemajuan sains. Melainkan justru para ulamalah yang melemahkan semangat komunitas muslim guna mempelajari sains.” Musthafa Bisri seorang budayawan sekaligus Kyai dalam sebuah wawancara oleh JIL mengatakan bahwa fatwa tersebut merupakan bentuk ketidakpercayaan Ulama. (Lihat : www.islamlib.com)

Sekulerisme sebuah niscaya
Meminjam istilah Thaha Husein, tanpa sekularisasi umat Islam tidak akan dapat menggapai kemajuan. Tentu saja, sekularisasi dalam Islam berbeda dengan sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari sudut pandang titik tolaknya maupun hasilnya. Bila sekularisasi di Barat dimulai dari pemisahan ilmu, politik, dan masalah dunia dari kungkungan gereja, maka sekularisasi dalam Islam bermula dari upaya melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi pemahaman ulama salaf untuk kembali kepada al Qur’an dan Hadis.

Dengan demikian, bila kita mengikuti definisi yang dibuat Thaha Husein itu, maka sekularisasi sepadan dengan kata “pembebasan” (liberation). Maksudnya, sekularisasi adalah pembebasan umat Islam dari dari ikatan-ikatan ajaran agama yang bukan bersifat mendasar (ushuly), bersifat relatif, dan merupakan produk pemahaman atau ijtihad ulama masa lalu. Sebaliknya, mereka dianjurkan mengakses langsung dan “maju bersama al Qur’an”. Senada dengan pendapat Thaha Husein di atas, Cak Nur juga melihat sekularisasi sebagai upaya untuk menanggalkan nilai-nilai yang berorientasi ke masa lampau dan mencari nilai-nilai yang lebih berorientasi kepada masa depan (Paramadina, 2001)

Lebih eksploratif lagi bahwa agama merupakan sebuah area pergulatan subjektivitas antara manasia dengan Tuhannya. Dengan demikian agama di posiiskan ke dalam ruang private.

Tipologi Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil. Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan. (Budhy Munawar Rachman, 2001) Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan, sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442.

Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. (misalnya-QS 3: 19,85). Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antaragama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semua berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis.

Maka, adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama.

Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya).

Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial". Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Setelah memahami tipologi keberagamaan seseoranag, kita bisa lebih mengerti dan tidak seenaknya melakukan atau mengeluarkan fatwa memakai standar ganda. Bahkan cenderung untuk membunuh hak saeseorang untuk memilki gagasan dan sikap. Apalagi seorang ulama. Wallahu’alam bi shawab

*Mantan Ketua LPIK Periode 2004/2005. Kini, aktivis Lingkungan Hidup di Cianjur

No comments: