Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Menggugat Wacana

“CAKEPAN” DALAM WACANA
Oleh; te_Ditaufiqrahman

Satu

Wacana atau yang lebih dikenal dalam lingkup akademisi dengan aktivitas diskusi. Foucalt lebih menyenangi hal ini dengan menyebutnya discours, diskursus. Dalam bahasa Foucalt diskursus diartikan sebagai cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi pengetahuan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta keterkaitan diantara semua aspek ini.

Wacana bila kita lirik dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansakerta yang memiliki arti: 1) ucapan, tutur, 2) kesatuan tutur [seluruhnya yang merupakan kesatuan], 3) satuan bahasa yang lengkap berupa karangan yang utuh. Wacana, diskursus atau apapun juga namanya mendapat bentuknya dalam aktivitas diskusi, menulis, membaca. Seseorang yang membicarakan teori bisa dianggap sedang berwacana. Seseorang yang meneropong kejadian sehari-hari misalnya kentut, bersin, batuk dengan memakai bingkai teori tertentu kemudian menuliskan permenungannya dalam sebuah karya entah itu artikel, esai atau bentuk tulisan lainnya biasanya dianggap berwacana pula.

Tentunya dalam berwacana seorang akademisi, seorang intelegensia dari mahasiswa tingkat awal sampai taraf Profesor, dari kacamata yang tipis sampai kacamata setebal kaca riben, dari rambutnya yang gondrong sampai botak sekalipun bukan dewa yang mendapat otoritas penuh dari Tuhan sehingga ucapannya atau wacananya berubah menjadi sebuah fatwa yang mendekati sabda. Apa yang diwacanakannya adalah tafsiran-teropongan mengenai kebenaran tersembunyi yang no’ong di balik realitas. Wacana bukanlah kebenaran! Wacana bukanlah PENJELASAN, wacana adalah tafsiran dan tafsiran itu bisa benar dan sangat mungkin salah.

Misalnya seseorang yang ”tersengat kentut” lantas kemudian dia merasa terganggu dan mencoba, sekali lagi mencoba bukan menjelaskan, ”menafsirkannya” dengan menggunakan metodologi tertentu. KENTUT itu, ia coba telanjangi dengan metodologi filsafat EKSITENSI. Umpamanya, seseorang yang menahan kentut karena malu oleh orang lain dianggap memiliki eksistensi yang lemah karena bukankah orang lain adalah neraka, massa adalah sekumpulan setan yang akan merenggut dengan paksa eksistensi seseorang. Alasan semisal ini, Sah…sah saja dan sangat memungkinkan, kalau ada orang yang mewacanakannya demikian. Asal bisa dirasionalisasikan saja. Dan apa sih yang tidak dirasionalisasi, paling tidak dikait-kaitkan itu usaha minimal dalam rasionalisasi.

Paling tidak, mesti diingat, seseorang yang berwacana jangan menganggap wacananya kebenaran umum. Kebenaran yang diwacanakannya adalah kebenaran pribadi. Subjektif, meski secara objektif dia memakai metodologi secara runtut dan runut. Tetap saja. Itu juga kalau memang benar kita masih menganggap bahwa manusia adalah makhluk penafsir! Dan mungkin kita menolak asumsi itu karena alasan pribadi?

Tetapi anehnya, orang yang mengaku bijak saja apalagi yang mengaku sok bijak pun akan tersengat kalau ada wacana yang menyudutkannya. Nah, nantinya metodologi yang ia kuasai akan dipakai untuk mengkacamatai ”kasus” yang terasa memojokkannya. Bisa saja kasusnya begini, seorang filsuf marxis hidup di rumah kontrakkan, kemudian masa kontrakannya habis. Dia diusir dan menjadi gelandangan di kemudian hari ia menulis perihal statsu sosial. Hal itu mungkin saja, asal kemampuan rasionalisasinya tinggi. Dan bukankah teori-teori yang dikenal luas dalam disiplin manapun tidak bisa dilepaskan dari setting sosial tokoh yang menelorkannya. Apakah Karl Max akan memiliki teori materialisme dialektik kalau dibesarkan di Pandeglang?

Relasi wacana sangat berkembang. Foucalt mengatakan tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan begitu pula sebaliknya. Dalam wacana pula memproduksi kebenaran dan bagaimana jadinya kalau kebenaran diproduksi oleh kekuasaan tertentu. Itu sudah terjadi. Bagaimana sejarah dibuat oleh rezim orde baru. Soehartolah segalanya yang lain nothing. Wacana (sebut pengetahuan), kebenaran, kuasa tidak bisa dilepaskan satu sama lain, semuanya berkaitan, berkelindan bahkan bercampur sehingga kadangkala kita tidak bisa membedakan, memisahkan mana pengetahuan mana kuasa mana kebenaran.

Muncullah apa yang disebut, kebenaran adalah permasalahan rasionalisasi teoritis saja, kalau kelihatannya nggak terlalu masuk akal, kita nganggap nggak benar. Dan itu berpulang kepada masalah penafsiran, tentu saja penafsiran bersifat subjektif. Kebenaran subjektif jangan terlalu dipercaya, sebab kita juga memiliki kebenaran subjektif yang lain. Dan bukankah kebenaran objektif masih diragukan. Karena bukankah yang menciptakan objektif juga berasal dari subjektivitas seseorang. Iya to.

Dua
Bukan tidak ada permasalahan, persoalan, kejanggalan dalam wacana. Bukan berarti tidak ada wacana dalam wacana. Semisal ada rapat dalam rapat, ada diskusi dalam diskusi. Lantas apa yang mau diwacanakan dalam wacana. Sudah wacana, diwacanakan lagi. Apa tidak menjadi pembengkakan, penumpukan wacana.
Ada beberapa yang mesti kita pertanyakan dan persoalkan lagi dalam wacana. Apakah wacana tidak memiliki etika atau lebih tepatnya moral berwacana. Meski sedikit buram apa yang dimaksud dengan etika dan moral tetapi paling tidak pertanyaannya bisa berubah menjadi; apakah wacana untuk wacana, atau wacana untuk kerja.

Kalau wacana untuk wacana, logikanya seseorang tidak akan dimintai pertanggung jawaban dengan apa yang telah diwacanakannya, meskipun apa yang diwacanakannya adalah ide-ide luhur tentang kemanusiaan, karena dalam wacana tidak ada pertanggung jawaban maka apa yang diucapkannya hanya sebatas kata

Tetapi kalau dalam wacana ada prinsip pertanggung jawaban apa yang diwacanakan maka kita bisa nguber-nguber orang yang telah berwacana. Misalnya, seseorang mewacanakan bahwa kerja sangat berbanding lurus dengan nilai-nilai yang terpendam dalam diri kita, sebut saja spiritualitas. Maka orang yang kerjaannya tidak beres bisa jadi spritualitasnya tidak beres. Nah kalau orang yang mengatakannya ternyata kerjaanya tidak beres kita bisa nguber-nguber orang itu untuk dimintai pertanggung jawaban wacananya. Dan dalam kasus kedua ini, seseorang yang mewacanakan itu jangan menjawab dengan wacana lagi sebab dalam hal ini wacana untuk keperluan praksis. Seperti halnya orang membuat teknologi untuk keperluan yang lebih cepat. Pengefisienan waktu. Kalau menjawab dengan wacana? Kita bisa mencak-mencak atau mungkin jangan percaya omongannya lagi. Dalam artian, kita harus masih percaya omongan itu benar tetapi jangan percaya kalau statemennya benar-benar dilakukan, dilaksanakan.

Tiga
Dengan tulisan ini, mungkin ada yang merasa nggak perlu menanyakan hal ini. Mengalir saja wacana ya wacana tidak ada urusannya dengan pertanggung jawaban yang diwacanakan, karena membincangkan hal itu sudah memasuki wilayah pribadi. Urusan saya dong melakukan apa yang saya wacanakan. Kok, kamu repot-repot menguruskannya?

Kalau jawabannya seperti itu, kita mungkin akan berkata. Ya boleh-boleh saja, tapi jangan mewacanakan urusan publik dong! Urusan kemanusiaan, urusan kebangsaan apalagi urusan keakhiratan!

Karena wacana adalah kristalisasi permenungan dalam upaya pembebasan ekspresi manusia dari keterkungkungungan tirani. Tirani itu bisa berbentuk tokoh, sistem, teori, norma, dogma, doktrin. Kalaulah seorang tokoh, tokoh apapun itu, menjadi tirani yang menghambat kreativitas berpikir, mengganjal otak mengucap, rasa untuk meresap maka wacana adalah salah satu upaya penggerondolan tokoh itu. Wacana berubah menjadi seperti virus yang akan menggerogoti tokoh itu sampai kekebalan tubuhnya yang dinamakan status quo hancur.

Wacana akan berubah menjadi prajurit-prajurit Roma dalam perlengkapan perang dan menjadi mujahid Islam dalam spirit menyerang sistem yang mengangkangi dan menahan jenderal wacana. Wacana akan mengumpulkan seluruh kata, fakta, data menggumpal menjadi teori baru yang akan siap menghantam teori lama yang sudah aus!

Wacana adalah perjalanan spritual yang akan mendapati jalan yang hitam kelam atau juga tak disangka-sangka mendapatkan dian yang sangat benderang dan menuntun terus selama perjalanan. Wacana adalah kunci borgol yang akan mengeluarkan para tapol dan membebaskan mereka berkeliaran untuk meneriakan kembali kata-kata yang tersimpan dalam goa Plato.

Wacana adalah sebentuk gumpalan es salju yang turun dari atas bukit dan jatuh kebawah dasar yang kian bawah kian besar dan kian menggumpal-padat membesar. Wacana adalah teriakan, rintihan, ketegasan, jeritan yang akan terus mengaum hingga yang tidur akan kaget terhenyak, terenggut terbangun dari mimpi buruknya.

Wacana adalah bersin yang kalau tidak jadi akan berat dan terus mengganggu, tidak dikeluarkan akan menyesal. Wacana adalah kebutuhan jasmani seperti mandi seseorang yang tidak berwacana akan kucel. Wacana seperti kentut yang akan nilainya dilihat dari kebusukan kentut itu bukan dari omongan bahwa kentut itu bau.

Wacana yang paling hebat adalah wacana yang bisa membuat orang untuk bertindak seperti kentut orang akan terganggu dan gangguan itu berubah menjadi tindakan untuk keluar atau mengeluarkan kentut yang lebih bau.
Wacana yang paling maha adalah wacana yang bertanggung jawab!

Mujahidin, 12;45 Bandung, 31/08/06

Ketum LPIK periode 2007/2008. Aktivis Jarik Bandung

No comments: