Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Goyang Inul

Goyang Inul: Mantra, Tafsir dan Dangdut “Pinggiran”
Oleh Dani Tri Wardani

Siapa yang tidak kenal Inul. Seorang maistro dangdut yang sekarang ini lagi naik daun, tiba-tiba saja dapat mendobrak jagad perdangdutan dengan mudahnya. Bukan karena hasil nyanyian semata, yang memang seharusnya menjadi tolak ukur terpopulernya Inul melejit diblantika artis perdangdutan, melainkan mengandalkan keahliannya ‘menari’ lewat goyang pinggul (baca: bor)nya yang khas.

Setelah Alam melakukan dobrakan dengan mengkolaborasikan dangdut melalui tarian khas Michael Jacsonnya, mungkin Inul Dharatista yang nama aslinya Ainul Rokhimmah ini mencoba membuat terobosan baru lewat tari pinggul yang bisa dibilang energik dan seportif seperti ratu joged, Lisa Natalia salah satunya.

Sampai-sampai goyangan ini dieksploitasi oleh para ‘koleganya’, sebagai adegan yang bisa dibilang seronoh dan dapat mengundang birahi siapa saja (terutama golongan lelaki) yang menontonnya. Apa yang dianggap ‘maksiat’ dari pertunjukan Inul itu tiada lain karena ‘goyang erotis’ yang ditampilkan Inul ketika menyanyi di atas panggung atau di dalam layar TV. Meliuk berputar pinggulnya, mirip cara kerja bor yang ke kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah; seakan-akan dapat memabukkan setiap maniak dangdut dengan mudahnya dan selebihnya dapat menimbulkan imajinasi seksual.

Beberapa pendangdut wanita ternama lain yang dimintai komentar oleh salah satu media catak beberapa waktu lalu mengenai Inul, semuanya menyangkan bahwa dia berani ‘menjual’ keindahan tubuhnya lewat goyang bornya. Bahkan beberapa station TV yang pernah mendatangkan Inul ke studionya pernah menampilkan Inul dalam arena pro-kontra beserta pemuka agama, seolah-olah sebuah goyangan bisa menjadi terdakwa.

Dari etika, Estetika ke Tanda

Persoalan goyang Inul merupakan persoalan tiga tali satu ikatan, di mana ketiganya bersimpul pada satu ikatan (baca: masalah), etika. Yaitu menyangkut pada permasalahan ‘bentuk’ baik-buruknya goyang Inul itu dipertontonkan di muka umum. Seperti awal-awalnya mulai disorot di TV, goyang Inul mendapat komentar sampai titik klimaknya, setelah segudang tanggapan kebilang serius dari kalangan MUI (khususnya Rhoma Irama). Lembaga ini pernah mengajukan keberatannya dan berusaha mencekal—kalau tidak disebut menghentikan—manggung Inul apabila tidak segera merubah gayanya dalam bernyanyi dangdut. Dan nyatanya hal itupun terjadi. Dunia entertaiment mulai melihat bahwa kasus ini sebagai harta karun yang perlu dikruk dengan cara diperlihatkan ke permukaan. Akibatnya pro-kontra terjadi.

Namun beberapa persoalan yang muncul itu, Inul mengaku kalau maksud dari goyangannya itu bukan untuk membuat para penonton menjadi seperti beberapa kasus yang berkaitan denganya. Apalagi untuk mengumbar nafsu sang penonton. Inul, dalam salah satu pernyataannya di media massa, cuma ingin membuat ciri khas dari seorang penyanyi dangdut lewat tarian pinggulnya. Karena dalam pemahaman dirinya, dangdut itu sendiri merupakan arti dari unsur goyangan. Di mana istilah dangdut selalu dikaitkan dan diartikan dari hasil tabuhan atau dendangan salah satu alatnya yaitu berupa tam-tam dengan irama: dang.. dut.. yang biasa diikuti dengan irama tubuh? Dalam artian lain, Inul berusaha menjawabnya lewat ekspresi penyanyi (estetika)--walaupun sebagian menganggapnya berlebihan, pastilah Inul tidak sepopuler sekarang.

Padahal hasil dari ekspresi itulah bahwa estetika sebenarnya merupakan faktor yang seluruhnya otonom, tidak tunduk kepada faktor lain dan tidak pernah bergantung pada ‘kriteria luar’. Ini berarti, bahwa secara etis ataupun politis, estetika selalu bersifat netral. Ia tidak mempunyai komitmen moral ataupun kewajiban politik. Campur tangan agama, politik atau pendidikan dalam estetika, seperti yang diungkapkan Ignas Kleiden dalam salah satu tilisannya mengenai budaya pop, hanya akan menjauhkannya dari wujud kreativitasnya. Dan oleh sebab itu mengakibatkan pertumbuhan seni yang caunter productive.

Padahal seperti halnya para penggoyang lainnya, baik dari Jawa Timur ataupun sampai Pembaungan (Sumut) yang baru memulai kariernya, Inul hanya suatu fenomena yang sempat ditangkap dari keseluruhan model hubungan semacam ini di kelas bawah. Hal ini lebih mafhum lagi apabila kita mengetahui sejak kecil, di lingkungannya lahir—Pasuruan, jatim—Ia telah akrab dengan hubungan semacam itu. Sedangkan dangdut pinggiran seperti sekarang-sekarang ini yang Inul tapilkan dalam kebiasanya, seakan-akan telah diposisikan marjinal, kalau tidak sejalan dengan ‘norma-norma’ resmi seperti dangdut ‘pusat atau tinggi’. Serta tidak pula mendapat pengakuan dari kaum ‘eite dangdut’.
Maka tidak mengherankan, dangdut pinggiran seperti yang Inul tampilkan, sedikit sekali mendapat peluang untuk menyusup ke elite perdangdutan—walaupun sebenarnya telah lama mempunyai penggemar di daerah ataupun di kota, dengan ditandai lakunya VCD-VCD dia manggung, meskipun bajakan.

Namun karena kedudukannya yang marjinal itu, sebagian orang memandang dangdut pinggiran seperti salah satunya yang ditonjolkan Inul tidak sebagai varian yang sah dalam perkembangan dangdut. Malahan tidak lebih sebagai penyimpangan dari pola-pola dangdut yang abnormal, atau sebagai perkembangan yang prematur. Padahal ia adalah jenis ekspresi penyanyi dangdut yang ingin mempunyai ciri sendiri yang berbeda dari apa yang telah ‘mapan’. Apalagi dangdut yang ditampilkan Inul tersebut, bisa ditafsirkan agar para penonton pemilik tubuh untuk dibuat ingat selalu, bahwa tubuh mereka itu adalah sosok manusia yang rapuh terhadap nafsu naluriah. Serta sebagai perwakilan (simbolik) dari kelas ‘rakyat’ yang selama ini dianggap rawan dan rapuh terhadap naluri dan hawa nafsu.

Dengan demikian, penulis meminjam bahasa Budi Susanto dalam salah satu tulisannya mengenai Dangdut di Sekaten antara Penguasa, Agama dan Musik Rakyat di Yogyakarta, yang berpendapat bahwa fenomena pertunjukan dangdut, terutama seperti yang dilihatkan Inul sebenarnya bukan melulu sekadar sebuah kasus pelanggaran etika atau moral--yang biasanya sering dikaitkan dan dilengkapi dengan sanksi-sanksi moral atau agama. Pertunjukan dangdut—dalam hingar-bingarnya erotisme goyang bornya Inul kiranya bukanlah, misalnya semata-mata pertunjukan fantasi seksual sebagaimana berlaku dalam masyarakat dan kebudayaan barat kebanyakan. Melainkan menampilkan bentuk-bentuk simbolik budaya masa yang sebenarnya justru sangat toleran dangan memberi kebebasan kepada kita sebagai penonton, pendengar, pembaca, atau penafsir untuk mengambil makna dari bentuk, gambar, bimbingan, imaginasi simbolik yang dicipta dan tersedia di depan mata kepala kita. Karena keseronohan dangdut itu bisa dikatakan sebagai salah satu hal yang paling jasmaniah dan manusiawi (spontan dan rawan) di sisi lain dan hal yang terlanjur di beri tafsir (Agama, Moral, Filsafat, Adat, Seni dll) di sisi lainnya.
Adapun kenyatan masih banyaknya yang tidak menyetujui goyang Inul, dapat dipahami, karena seni tari pada dasarnya adalah bersifat kontekstual. Maka oleh karenanya mempunyai nilai tersendiri, dalam artian ia tidak pernah dipahami secara universal. Dan terbukti sebagaimana hukum budaya populer, goyang bor Inul akan terlihat survive ataupun tidak, tergantung diikuti (baca: trend)-tidaknya baik oleh pesaingnya ataupun yang menyukainya. []

No comments: