Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Sosok

Badru Yang Saya Kenal
Oleh Ibn Ghifarie

Di tengah-tengah kebingungan sekaligus ketidak jelasan keputusan LPIK secara kelembagaan. Tak terelakan lagi, Saya selaku mantan pengurus LPIK periode 2003/200. Kini, Koordinator Post LPIK, sebutan bagi Alumni LPIK. Merasa kehilangan atas pengunduran diri Badru. Pasalnya, Ia merupakan tonggak LPIK. Terutama dalam khazanah sastra.

Meski di masa kepemimpinannya (2005-2006) Ia sempat hengkang hampir 4 bulan lamanya dari masa baktinya. Tepatnya di semester genap. Terhitung dari bulan Mei-Agustus
2006. Tentunya, menuai pelbagai kritik, cacian, makian hingga hujatan sekalipun dari anggota, pengrus sampai Alumni.

Namun begitu, Ia tetap berdikari di Saung Kajian. Hingga ajal kepengurusanya berakhir di Gerbang Musyag X. Yahni 14 Oktober 2006. Saat ngabuburit Ramadhan ala LPIK. Terpilihlah Tedi Taufik Rahman sebagai Pentolan LPIK masa bakti 2006-2007.

Tak cukup berhenti sampai di sini saja, Mifka pun ikut larut menjadi pengurus sekarang. Sampai-sampai Ia menghantarkan terselanggaranya acara; Geliat LPIK (11-12/12/06), Talk Show (18/12/06), TGB (Ta’aruf Generasi Baru; 20-22/1206 ), Menebus Kelahiran dan Kematian (30/12/06). Sudah tentu, keberhasilan kegiatan spektakuler itu berkat berbagai pihak. Khususnya, pengurus LPIK dengan Anggota Muda.

Seiring waktu. Sepenggal asa. Kuatnya arus modernitas dan peliknya kehidupan. Akhirnya Ia mendeklarasikan diri dengan cara melayangkan surat pernyataan ‘Mengundurkan Diri Sebagai Pengurus LPIK Periode 2006-2007 Sekaligus Melepas Identitas Keanggotaan LPIK. Mentah karena alasan apa ?. Yang jelas Ia menulis lima alasan diantaranya; Pertama, Rapuhnya Komunikasi Yang Sehat Sesama Anggota. Kedua, Lemahnya Temali Kekeluargaan di Tubuh Organisasi. Ketiga, Lunturnya Tradisi-tradisi LPIK Dalam Keseharian. Keempat, Sekaratnya Kerja Kepengurusan. Kelima, MatinyaTradisi Penalaran Anggota.

Tak ayal, kehadiran Surat Sakti itu, membuat sebagin besar kawan-kawan pengurus dan anggota bertanya kepadaku. Dengan pelbagai pertanyaan; Apa sebenarnya yang terjadi, Pernahkan Ia bercerita sebelumnya kepada kamu (Aku-red), Eta sugan pernah ngobrol heula jeung Boelldzh teu?

Lontaran kata-kata itu, tentu saja menghentakan perasaanku. Seolah-olah aku yang bersalah dan tidak pernah peduli pada kawan.

Semula tak ada jawaban dariku. Kecuali geleng-geleng kepala sebagai pertanda ketidak tahuan persoalan tersebut sambil terus membaca Surat Pengunduran Diri. Yang dipajang di Sekretariat. Tanpa kusadari pikiranku melayang jauh menembus ruang dan waktu, hingga tergambarlah sosok Ahmad Wahib (Pergulatan Pemikiran Islam). Saat Ia mengundurkan diri secara forman dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan membuat satu tulisan. Ia beranggapan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sudah tak nyaman lagi baginya, tak bisa berekspresi, bahkan disebut-sebut sebagai pembawa aliran lalim. Mungkinkah Badru meniru sekaligus mengikuti jejal Neo-Wahib? Entahlah

Sejurus kemudian, ngahuntu pun kumulai sambil mengingat-ngingat beberapa hari yang lalu. Memang dulu pernah ngobrol antara aku dengan Badru di samping Mesjid Iqomah antara pohon Jambe dengan ruko Jualan Rokok, Kopi ala Sifi (detik-dertik terakhir direlokasi ke M’ahad Aly d/h) (13/01).

‘Leudzh, kadie sakeudeng urang hayang ngobrol jeung ente’, ungkap Mifka mengawali pembicaraan.
‘Aya naon Dru’, sahutku.
‘Ari cara nyieun Surat Pengunduran diri the kumaha’, kata Mantan Ketum tersebut.
‘Secara organisatoris atau luar organisatoris’, jawabku.
‘Secara organisatorsi dong’, ungkapnya sambil ketawa-ketiwi.

Tanpa basa-basi. Semua unsur-unsur surat pengunduran diri ku jelaskan sampai tek-tek bengeknya. Di penghujung penjelasan baru aku sadar dan balik bertanya ‘Jang aya naon bet nanyakeun surat pengunduran sagala’, tegasku.

‘Ah biasa pan entege geus nyaho, lamun urang nanyakeun data jeung sajabana pastilah eta keur nyieun tulisan’, kilah Koor Divisi Jurnalistik tersebut.
‘Siga baheula urang nanyakeun data BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) KBM UIN SGD Bandung pan keur nyien tulisan’, tambahnya.

Tanpa memperpanjang masalah buat apa dan kebetulan dua kawan Ia dan aku menghampiri kami. Lebih tepatnya salah seorang senior kami di organisasi ekstra kampus. Akhirnya, ngawadul surat pun berakhir. Tanpa salam apalagi.
Selang beberapa hari dari obrolan senja itu, di tengah malam dan gemercik hujan sekitar 22-an di depan Wartel UIN. Saat aku membeli bubur guna menyantap obat karena memang aku aga tak enak badan (17/01).

Kala itu, Ia berdiri di antara temen-temen pengurus LPIK (Sutisna, Fani, Zarien) sambil berkata ‘Leudzh kadieu sakeudeung urang hayang ngobrol, paparnya dalam mengawali ngahuntu.

‘Aya naon Jang’ jawabku.
‘Sabenerna mah lain keur nyieun tulisan batur atawa insfirasi tulisa keur di publikasikeun, tapi baheula nanyakeun surat pengunduran teh keur urang’, jelasnya.
Kontan saja, aku pun balik berkata ‘Emang aya naoan jeung alasana naon bet rek ngundurkeun diri sagala’, cetusku.

Sebelum menjawab pertanyaanku. Ia malah balik bertanya, ‘Tapi aya masalah yeuh ngenaan No surat kesediaan Jadi Pengurus baheula euweuh teu manggihan, geus neangan kasasaha’, tambahnya.
‘Ah pokonamah kudu aya. Lamun euweuh urang pertama anu rek ngagugat surat eta’, jelasku sambil bercanda.
Tanpa ada jawaban lebih. Memuaskan penasaranku apalagi. Mantan Pimred Al-Kitobah itu, berpamitan kepada kami. ‘Urang balik heula yeuh,’ menutup obrolan malam.
‘Moal ka Sekre LPIk heula’, tanya salah satu rekan sepengurusnya.
Lagi, tak ada jawaban kecuali meninggalkan kami. Akhirnya, kami pun berpisah satu sama lain.

Walhasil, terjawab sudah kepenasaranku tentang pembuatan surat pengunduran diri. Yakni terpajangnya Surat Pernyataan di sekretariat LPIK. Tepatnya di bawah papan pengumuman No kontak LPIK. Saat mentari mulai menggeliat ke titik zenit (18/01).
Hingga hari ini, tak ada keputusan jelas dan tegas secara lembaga. Namun, secara pribadi saya sangat menyayangkan langkah yang ditempuh kawanku. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Kareha hal itu telah terjadi. Cuman terkadang aku sangat menyesalkan peristiwa itu terjadi. Pasalnya, kali ini terjadi pengunduran diri yang dilakukan oleh mantan Ketum.

Apapaun alasannya. Aku harus rela menerima kenyataan pahit ini. Tanpa menyalahkan satu sama lain. Mungkin saja ini, kekhilafanku yang tak begitu peduli pada sahabat dan terlalu percaya pada kawan. Jika mereka menanyakan sesuatu kepadaku. Terlebih masalah organisasi.

Walaupun ada keganjilan dalam Surat tersebut; Pertama, tidak ada kop surat beserta kawan-kawanya. Mulai dari Nomor, Lampiran sampai Prihal. Semuanya tidak ada.
Kedua, Dalam No Surat Kesediaan Menjadi Pengurus (No: 01/B/LPIK/Desember/2006). Sepengetahuanku Desember bulan-bulanya acara LPIK dan TGB. Kalau tak salah pelantikan kepengurusan masa bakti 2006-2007 itu bulan pertengahan November. Berarti surat kesediaan sekira awal bulan.

Ketiga, penempatan 5 alasan-alasan pengunduran diri. Kebiasaan penulisan selalu di akhirkan dalam bentuk terlampir.

Keempat, Tidak ada Matrai dan tanda tangan di penghujung surat.
Meski begitu, kau tetap rekan seperjuanganku. Lebih-lebih sewaktu engkau menjabat Ketum LPIK dan Sekretaris Lembaga Pres GPMI (LPG) Gerakan Persatuan Mahasiswa Islam. Kebetulan waktu itu, aku menjabat Koord Alumni (LPIK), Sekjen (GPMI), Pimred sekaligus penggerak LPG (doBRak).

Hampir dua tahun lamanya aku mengenal dirimu. Sampai-sampai orang lain iri dengan kekompakan team doBRak (Ifa, Mifka, dan Boelldzh). Selama itu pula, aku sedikit demi sedikit mengetahui lebih dalam kepribadianmu.

Paling tidak yang ku ketahui engkau sosok Sastrawan dengan sederetan sebutan Pujangga, Cerpenis (Juara II tingkat PT STAIN, IAIN dan UIN se-Indonesia di Palembang; Desember 2005), hingga gelandangan Liberal. Begitu asyik memainkan huruf, kata-kata, kalimat dalam menyusun sebuah tulisan. Sampai-sampai aku ingin mengikuti jejak langkahmu. Namun, sudah ku coba berulang-ulang kali, hingga tak terhitung, tapi tetap saja aku tak bisa kecuali dalam memainkan data semata.

Selain itu, karena terlalu gandrung dengan permainan rima. Setiap kejadian, keluh kesah, letupan-letupan suara hati engkau semua tuangkan dalam Catatan Harian.
Bergelut dengan Dyari bukan pertama bagi Ia. Malahan sudah hampir 5 tahun Ia akrabi. Sampai-sampai di satu kesempatan engkau pernah menyuruhku guna mengklasifikasi mushaf berserak tersebut. Namun, entah satu alasan apa, Ia meninggalkan ikhtiar tersebut. Padahal ingin ku menyunting semua goresan penamu. Terkadang kau lupa menyimpan agenda harian tersebut. Thus, aku pula yang menyimpan bait-bait puisimu.

Kuatnya tradis menulis bagimu bak nafas yang terus menghembuskan sanu bari. Tengok saja, hasil lengkingan penanya di WebBlog pribadinya (www.mifka.multiply.com) atau di Komunitas Mata Pena (KMP) Bandung (www.komunitasmatapena.multiply.com).

Ketidak terlibatanmu dalam kecerian di Saung Kajian LPIK mulai hari ini dan selanjutnya. Engkau tetap Mifka bukan yang lainya. Mudah-mudahan terus berkarya dan akhirnya aku hanya bisa berkata ‘Selamat Jalan Dru, Teruskanlah Perjuananganmu Sampai Ajal Menjemput’. Itulah Badru yang saya kenal. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/01;03.47 wib

No comments: