Sekedar LPIK

My photo
Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung

Sunday, April 29, 2007

Pluralisme

Sekadar Refleksi Atas Prulalisme
Oleh Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz

Isue mengenai wacana Prularisme kembali bergejolak menjadi diskursus public setelah, Majelis ulama Indonesia (MUI) dengan lantang dan tegas mengeluarkan fatwa berkenaan dengan pengaharaman faham ini. MUI mendefinisikan prularisme sebagai faham yang membenarkan dan menyamakan seluruh agama- agama. Reaksi demi reaksi bermunculan ada yang mengamini dan menentang.

Mereka yang setuju, memahami dan menganggap prularisme sebagai faham yang merusak dan menyesatkan Aqidah umat Islam bahkan hingga sinyalemen hegemoni orientalis-orientalis barat yang ingin menghancurkan umat islam, juga salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun. Tak hanya dukungan atas fatawa ini, tapi kritikan bernada pedaspun harus ditelan mentah-mentah MUI. Kalangan yang tak sepakat dan menentang fatwa itu berpendapat, bahwa MUI terkesan tergesa dan sangat ideologis, untuk dalam mengambil keputusan tersebut. karena bagi mereka MUI tidak pernah melakukan upaya untuk berdialog bersama para punggawa aktivis prularisme, serta MUI mendefinisikan makna prularisme secara parsial alias tidak komprehensif.

Perbedaan dua mazhab pemikiran (scholl of thought) menjadi semacam Gazwhul fikri, atau perang pemikiran dikalangan umat islam Indonesia yaitu bagi mereka yang berusaha membumikan pluralisme yang diusung oleh sebagian cendikiawan muslim ternama seperti (Alm) Nurholis Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan Cak Nur ini. Beliau dianggap sebagai pelopor prularisme, beserta kawan-kawan baik tua maupun muda sebagi penerusnya. Dengan kalangan fundamentalis yang di gawangi MUI beserta sekte-sekte islam radikal.

Walaupun benar bahwa fatwa tak memeiliki legitimasi atau berkekuatan hukum formal yang secara sah tertulis akan tetapi memiliki pengaruh yang sangat kuat, karena dapat mempengaruhi psikologis umat islam di tanah air serta terjadinya pembentukan opini di masyarakat islam Indonesia. yang mayoritas bisa dilkatakan adalah masyarakat awam, yang menyandarkan pemahaman keagamaan mereka pada para ulama dan teks lama. Teks yang tak hanya berkisar pada al-quran dan hadis tapi tex-tex yang merupakan interpretasi atas ayat suci dan sunnah nabi.

Diskursus prularisme memang merupakan salah satu tema sentral yang menyita perhatian tokoh islam di Indonesia. Hal ini sangatlah bisa kita fahami, karena bersentuhan dengan realitas sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat majemuk mulai dari ras, suku, etnik, tradisi, budaya, agama dll. Kemudian mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Oleh karena itu, timbulnya konsepsi Islam tentang pruralitas adalah hal yang sangat wajar dan sangat perlu dipertimbangkan dengan sangat baik, dalam memetakan banyaknya konflik etno religius yang terjadi di Indonsia.

Apalagi jika konflik yang terjadi adalah konflik agama hal ini penting karena hal paling sensitif bahkan bagi Clifford Gertz agama adalah hal yang paling purba dan elementer serta hal yang merembesi segala bentuk peradaban manusia tak ada satu peradaban pun di dunia yang tak di ilhami oleh agama apaun bentuknya.

***

Pluralisme dapat ditinjau dan dimaknakan dari berbagai titik pandang. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "faham" yang mengakomodir adanya kemajemukan. Ini mengacu kepada kenyataan bahwa di dalam hidup ini kita tidak hanya menghadapi sesuatu yang tunggal. Kenyataan itu lebih dari satu. Maka, pluralitas adalah status yang memperlihatkan bahwa kenyataan memang lebih dari satu.

Asal-usul pluralisme secara harfiah dapat ditelusuri dalam bahasa Latin: plus, pluris yang berarti "lebih". Secara filosofis, pluralisme adalah menekankan bahwa kenyataan terdiri atas kejamakan dan/atau kemajemukan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, dan sebagai demikian, tidak boleh dimuarakan pada bentuk-bentuk penampakan dari satu kenyataan mutlak.

Dalam perspektif sosiologi, pluralisme mengacu kepada sebuah kondisi masyarakat di mana berbagai kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam posisinya masing-masing mempunyai pemikiran-pemikiran sendiri mengenai apa yang diingini secara sosial.
Sebagai demikian, setiap masyarakat dibangun atas bagian-bagian masyarakat tadi, yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial. Semakin bagian-bagian masyarakat ini bersifat institusional, semakin tampak wujud pluralisme di dalam masyarakat.

Setiap individu di dalam sebuah masyarakat adalah anggota dari kemajemukan institusi-institusi sosial itu. Ini mengimplikasikan bahwa semakin rumit sebuah masyarakat, semakin lenyap pula pengaruh dari suatu institusi yang bersifat dominan.
Agama sebagi sebuah institusi sosial dimana didalamnya memiliki pranta- pranata yang mengatur pola-pola interaksi yang berfungsi untuk mengintegrasikan masyarakat menuju kondisi-kondisi yang stabil seperti dalam konsepsi Durkheim agama dipandang sebagi factor yang mepersatukan masyarakat kedalam satu tubuh yang dinamakan solodaritas .

Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila nilai-pluralitas budaya itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.

Ketika berbicara mengenai pluralisme dalam konteks Islam Indonesia, maka kita tidak bisa mengeluarkn diri dari asumsi golongan islam yang mengomentari diskursus pluralisme. Secara kategoris pandangan dapat di bagi kedalam kelompok pendapat yang menempatkan dirinya masing-masing.

Bagi mereka penentang keras prularisme, menganggap pluralisme sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sejati. Karena pluralisme berangkat dari epistemologi humanisme yang merelatifkan seluruh konsep kebenaran. Dalam konsep ini, tidak akan pernah ada kebenaran hakiki yang bisa dicapai manusia, dalam hal apapun, termasuk dalam urusan agama. Menurut para pluralis, adalah bohong kalau ada yang mengatakan bahwa telah menemukan kebenaran yang pasti, termasuk misalnya meyakini secara pasti keberadaan Allah Yang Esa.

Ajaran Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa ada beberapa kebenarannya yang pasti (tidak relatif), dan itulah yang dinamakan “aqidah”. Islam juga mengajarkan bahwa satu-satunya ajaran yang benar adalah ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muhamad adalah nabi terakhir dan Islam adalah syariat paling sempurna (Al-Azhab:40, Al-Maidah: 3), setelah datangnya syariat Islam, agama-agama lain tidak ada artinya (Ali Imran :85), dan dan janji Allah berkenaan dengan superioritas Islam atas agama atau aliran lain (At-Taubah : 33).

Lebih jauh lagi, paham pluralisme agama memiliki sederet konsekwensi logis yang sangat fatal. Sebagaimana yang sudah saya sebutkan diawal artikel ini, konsep pluralisme justru akan membawa manusia kepada penyalahan semua agama. Konsekwensi lainnya adalah sebagai berikut.

Pertama, keyakinan terhadap pluralisme pada akhirnya akan menjauhkan agama dari praktek-praktek ibadahnya. Praktek ibadah menjadi tidak bermakna karena menurut konsep pluralisme, yang penting adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan (bahkan, menurut John Hick, pencetus pluralisme, yang penting adalah kepercayaan terhadap konsep kebenaran, bukan lagi kepercayaan terhadap adanya Tuhan).

Kedua, pluralisme mengandung kontradiksi logika internal dalam urusan agama. Secara akidah misalnya, pluralisme akan menyeret pengikutnya untuk membenarkan Islam sebagai agama yang meyakini Allah yang satu, dan pada saat yang sama ia juga diharuskan untuk membenarkan Kristen yang meyakini trinitas. Dan sisi ibadah Islam yang mengajarkan haramnya makan daging babi dan minuman keras adalah sama benarnya dengn penganut agama lain yang menghalalkannya.

Ketiga, pluralisme akhirnya akan menyeret orang kepada paham “non-religi”, satu kondisi ketika seseorang tidak lagi beragama karena permisifisme yang ditawarkannya sedemikian luas dan tanpa batas sehingga tidak ada lagi norma-norma agama yang layak untuk dijadikan pegangan.

Oleh karena bagi mereka, ketika umat Islam memegang Pluralisme sebagi life view, bisa dipastikan hancur Aqidahnya, Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahsia atau kunci vitaliti dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan boleh menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan

Argumen selanjutnya, berkenaan dengan Asal-usul faham pluralisme bukanlah dating dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10 000 nyawa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan seperti inilah yang lalu mengilhamkan ulangan teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahawa kebenaran dan keselamatan itu boleh saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, fahama pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historik yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimport dari setting sosio historis kaum Kristian di Eropah dan AS.

Pluralisme bukanlah kehendak Tuhan. Ia adalah sebuah komoditas politik yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk menghegemoni dunia. Dan menganggap prularisme sebagi sunnatullah adalah menyesatkan.

Sementara pendapat berbeda disampaikan oleh kalangan pluralis. Bagi para pemeluknya, prularisme itu diangap sebagai sebuah keniscayaan. Karena dalam kenyataan masyarakat itu plural (pluralitas), maka kita menghormati kepluralan, kemajemukan, dan keperbedaan itu. Jadi keperbedaannya yang ditekankan. Penghormatan terhadap perbedaan itu yang ditekankan. Sekaligus kita punya komitmen bersama bahwa dalam keberbedaan itu kita mau membangun sesuatu yang mempertemukan kita semua, yaitu civil society. Karena civil society itu masyarakat dari berbagai macam kelompok, ras, suku, agama, atau apa saja. Semuanya bisa hidup dalam suatu masyarakat. Yang di sebut civil society adalah warga negara. Yang sering dimaknai oleh Cak Nur sebagai masyrakat madani, yaitu warga negara yang mempunyai suatu etos membangun peradaban.

Dengan paham pluralisme ini umat islam dibimbing pada suatu visi. Visi kita ke mana dalam membangun masyarakat. Tapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat untuk dipecahkan dengan cara dialog, diskursus, terbuka, saling menghormati dan bebas kekuasaan Yang dengan hanya cara itulah, civil society dan demokrasi bisa dibangun, tanpa itu tidak mungkin.

Dalam konsepsi kaum pluralis mengisyaratkan adanya inklusifisme. Inklusifisme islam senidri diartikan sebagai paradigma yang menunjukan sifat terbuka islam dan menolak berbagi bentuk ekslusifisme dan absolutisme terhadap ajaran agama. Maka dengan sikap inklusifitas ini. Islam mengakomodir dan apresiatif terhadap adanya pluralisme.

Islam mentolelir dan mengakui hak-hak agama-agama lain untuk hidup dan menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh, karena pengakuan akan eksistensi agama lain sebagai sebagi dasar kemajemukan sosio kultural dan agama. Dan mengajarakan toleransi sebagai sikap yang harus dilakukan dalam menyapa kemajemukan, karena islam mengajrakn perbedaan sebagai sunnatullah.

Berbagi pendapat mengenai gunjang-ganjing diskursus pluralisme di Indonesia memang tidak akan habis diperbincangkan selama kondisi masyaraka selalu heterogen dan barangkalia kan selama sama. Dengan demikian, dalam lanskap Indonesia yang sangat pluralistis. Ini bukan sesuatu yang buruk. Bahkan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mempunyai pilarnya atas pluralisme. Perasaan dan perilaku kebangsaan (nasionalisme) kita justru didasarkan atas kesadaran bahwa kita adalah plural.
Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila pluralitas itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.
Pluralisme dengan demikian adalah sesuatu yang given, yang memang ada, disukai atau tidak disukai, mau atau tidak mau. Pluralisme tidak membutuhkan persetujuan tetapi pengakuan, dan kemampuan untuk menyikapinya sehingga kita tidak terjebak di dalam konflik-konflik sosial.

Pluralisme di dalam agama, dengan demikian tidak bisa diidentikkan dengan sinkretisme atau relativisme. Sinkretisme adalah sikap yang mencampuradukan agama-agama sehingga muncul satu agama baru. Relativisme adalah sikap yang merelatifkan segala sesuatu sehingga sendiri kehilangan pegangan.

Bahkan bagi seorang franz magniz suseno, Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.

Tantangan kita ke depan adalah peninggalan dari Cak Nur, yang harus sungguh-sungguh menyadari bahwa Islam itu seharusnya agama yang mengayomi. Hal ini sangat menentukan, apakah Islam itu nantinya jadi agama yang menarik? Atau tidak menarik. Lantas agar islam pun dapat lebih menampakan wajahnya yang ramah, toleran, dan aegalitarian, sebagai Rahmatan lil alamin. sebab menebarakan kasih sayang adalah perintah tuhan dalam Alquran

Rujukan
www.islamemansipatoris.com
www.islamlib.com
www.suarahidayah.com
http://www.suarapembaruan.com
http://bundakirana.multiply.com
http://www.ananswer.org
www.militan.blogsome.com
www.insistnet.com


*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)Bandung

Perempuan

Aku, Perempuan dan Tumpukan Buku
Pradewi Tri Chatami

Awalnya, saat mengetahui adanya Kementrian Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet BEM UIN SGD BDG kali ini, saya agak lega. Mungkin setelah ini, perempuan bisa lebih punya ruang untuk ‘berdaya’. Punya ruang lebih luas untuk menunjukkan segenap daya kami. Semoga. Tapi pada kenyataanya, harapan kami hanya berakhir di ujung kata semoga. Mentrinya sendiri tidak punya banyak ruang, apalagi status mahasiswa biasa, yang tak punya otoritas. Patriarkhi di kampus telah sedemikian menggurita.

Barangkali memang keseluruhan konstruksi sosial di UIN yang menempatkan perempuan nyaris di titik nol. Citra bahwa perempuan makhluk domestik telah sedemikian erat melekat di setiap ubun-ubun warga kampus, sehingga sedikit saja upaya improvisasi selalu diberangus dengan norma kesopanan. Bahkan aktivis Pusat Studi Keperempuanan saja tak lepas dari jerat hukum seksis.

Aturan itu terpaku di telinga saya, perlahan menyelusup ke memori saya dengan cara yang begitu pelan, menyakitkan. Tak boleh berkeliaran di kampus lebih dari jam sembilan, paling lambat jam sepuluhlah. Saya tak bisa menyalahkan teguran aparat keamanan itu, ia pelaksana aturan. Aturan adalah aturan, meski agak sedikit jengah karena itu terutama ditekankan karena saya perempuan. Tapi saya masih bisa memaklumi. Yang tak saya habis pikir, kok teguran itu lahir ketika beberapa mahasiswa (bukan mahasiswi) yang melapor—setengah bergosip, karena tak sepenuhnya laporan itu empirik—pada rektorat bahwa ada perempuan yang suka bermalam, dan malah pacaran. Dan sayalah—bukannya geer—subjek utama laporan itu. Lho, saya bahkan tak punya pacar. Dan saya di kampus, bermalam di sekretariat WSC yang memang UKM yang bergerak di studi keperempuanan. Ah, logika phallus, bahkan untuk menjaga ruangnya saja perempuan tetap tak punya ruang.

Alasan saya bermalam di kampus, karena memang awalnya lebih dirasa aman menginap daripada saya harus pulang menapaki jalanan yang selalu lengang selepas jam delapan. Lingkungan rumah saya kurang begitu ramah terhadap perempuan yang berjalan di remang malam. Dan saya pikir, memang umumnya begitu di semua tempat hunian. Saya memilih kampus, karena kampus adalah lokasi yang paling strategis untuk membiakkan gairah intelektual, baik itu membaca bersama, menulis, atau berdiskusi. Selain itu, saya relatif tak merepotkan orang lain. Meminimalisir kemungkinan mengganggu kepentingan orang lain. Dan karena kampus tempat intelektual yang mungkin bisa memahami bahwa perempuan dan laki-laki itu setara, dalam urusan apapun. Termasuk beraktivitas di kampus. Menjadi aktivis, istilah kerennya.

Tapi sekali lagi saya harus berusaha berkompromi dengan kultur yang menjerembabkan saya ke posisi sub ordinat. Saya kalah, karena ternyata intelektualitas kalah oleh rambu moral yang usang. Saya, mau tak mau harus menerima kenyataan—kekalahan—dan berkompromi. Kompromi ini bukan tanpa resistensi. Kompromi ini menyisakan nganga tanya, apakah syarat utama menjadi seorang aktivis sesungguhnya adalah jika ia punya penis? Tak bolehkah kaum Hawa mencecap kebebasan, karena toh kebebasan paling ultim adalah saat ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri? Tidak. Saya terpaksa harus bertanggung jawab pada norma, pada aturan, pada citra. Saya tak punya ruang untuk otonom.

Maka saat pulang, saya merenungkan eksistensi saya sebagai perempuan. Sebagai perempuan, saya terpaksa hanya ‘hidup’ saat siang. Dengus angin malam adalah haram. Bersosialisasi saat mentari tenggelam hanya berbuntut issu kelam. Dan sekedar menjaga gairah berwacana dalam komunitas ternyata lebih jadah dari dosa. Perempuan memang tak pernah diizinkan menjaga miliknya sendiri. Seperti tubuhnya yang kemudian harus dibungkus jilbab, dijaga kitab suci. Sebagai perempuan, saya dipecundangi oleh sistem. Sebagai perempuan, saya kembali dicampakkan ke neraka domestifikasi. Sebagai perempuan, saya dikebiri rasio maskulin. Sebagai perempuan, saya hanya boleh diam, bungkam, tak boleh lantang menantang seperti bocah lanang. Sebagai perempuan, saya tak diizinkan berhenti dalam lingkaran imanensi...

*Aktifis WSC (Women Studies Center) Bandung dan Jarik Bandung

Hari Kartini

Hari Kartini; Saatnya Perempuan Angkat Pena
Oleh Ibn Ghifarie

APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI KARTINI ITU TIBA? Aksikah, demokah, turun kejalan sambail meneriakan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu di alamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusah ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaran dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi memrlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan dirumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu di lakuakan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan--lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul Jogjakarta di kejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencapur racun tikus pada nasinya.. Usut punya usut ternya mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setenga baya itu hilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat di tolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan tak jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuat ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah di dapat dan menjamurnya gerakan feminis. Perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang di alami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia di siram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.

Dominasi Tafsir Patriarkhi.
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatar belakanginya modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu di akibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang di utarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan di ciptakanya Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa di nilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Di tambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Mengapi kemalut yang akaut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendara daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena di anggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikarir di ruang publik, tapi domestik.

Maka Ambilah Pena.
Mencermati kemiskinan wanoja buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. untuk bangsa Indonesia masih kecil bila di bandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis di gelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?
Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus di lawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang di lihat, di alami, di raskan dan di pikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang di ungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasasmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangka ide atau gagasan. Jika kita mesih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).
Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan di peringatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum Banat merdeka? Pojok Sekre Kering.[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 15/04;23.21 wib

Sangkuriang

Di Balik Mitos Sangkuriang
Oleh AHMAD SAHIDIN, S.Hum

Alkisah, pada satu waktu seorang raja berburu ke hutan. Dalam perburuannya itu ia tak kuat untuk menahan kencing, hingga kencing pada batok kelapa. Dan pada lain waktu air pada batok itu diminum seekor celeng betina yang bernama Wayungyang. Selang beberapa bulan celeng itu perutnya buncit. dalam keadaan perut yang membuncit itu Wayungyang meregang kesakitan karena anusnya membesar dan mengeluarkan seorang bayi perempuan. Bayi itu kemudian diurusnya dan diberi nama Dayang Sumbi. Menjelang dewasa Dayang Sumbi bertanya tentang siapa bapaknya. Kemudian Wayungyang membawanya pada sebuah istana kerajaan dan menunjukkan bahwa yang menduduki tahta raja itu adalah bapaknya.

Singkat kata, Raja menyambut dan mengakui Dayang Sumbi sebagai anaknya yang kemudian dididik menjadi puteri yang terampil. Namun lama kelamaan Dayang Sumbi rindu pada ibunya yang tinggal di hutan. Akhirnya Dayang Sumbi pergi ke hutan. Di tempat itu Dayang Sumbi tak menemukan ibunya, tapi karena beberapa hal ia memilih hidup di hutan. Di hutan itu ia tinggal sendirian di saung rangon. Aktivitas kesehariannya adalah menenun. Pada suatu hari taropong yang digunakan untuk menenun jatuh ke bawah saung rangon. Karena kondisi Dayang Sumbi dalam keadaan lemas, maka ia enggan untuk mengambilnya. Lalu ia ber-nadar bahwa jika ada makhluk yang rela mengambilkan taropong dan menyerahkan padanya, bila jenis jelaminnya berbeda dengannya akan dijadikan suami, dan bila berjenis sama dengannya akan dijadikan saudara. Tak sengaja bahwa di bawah itu ada anjing jantan bernama Tumang yang mendengarkan nadarnya itu. Maka Tumang pun segera naik ke atas dan menyerahkan taropong pada Dayang Sumbi. Karena Dayang Sumbi telah berjanji maka Tumang pun menjadi suaminya hingga lahirlah seorang bayi laki-laki yang bernama Sangkuriang.


Semakin lama Sangkuriang makin dewasa. Ia tangkas dan pandai berburu. Entah kenapa pada suatu hari ibunya, Dayang Sumbi, meminta hati menjangan pada anaknya. Sangkuriang pun pergi berburu ditemani si Tumang ke tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tetapi setelah berkeliling ke sana ke mari ia tak menemukan menjangan seekor pun. Dalam keadaan bingung karena belum mendapatkan yang dipinta ibunya itu, Sangkuriang melihat seekor celeng yang berlari dari arah timur. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar celeng itu.

Namun si Tumang hanya mengibas-ngibaskan ekornya sebagai tanda tidak mau mengejar, dan marahlah Sangkuriang. Karena amarah itu kemudian Sangkuriang menancapkan tombak runcing hingga matilah anjing itu. Tak ragu-ragu Sangkuriang membelah dan mengambil hatinya untuk dipersembahkan pada ibunya. Sesampainya di rumah, hati yang dibawa sangkuriang itu dimasak dan dimakan ibunya. Selesai makan ibunya bertanya tentang si Tumang, dan Sangkuriang pun berkata jujur bahwa hati yang dimakan ibunya itu bukan menjangan tapi anjing. Marahlah Dayang Sumbi dan gayung air yang ada didekatnya dipukulkan pada kepala anaknya itu. Karena tindakan itulah Sangkuriang pergi jauh meninggalkan ibunya.

Sejak kepergian anaknya itu Dayang Sumbi menyesal dan memohon kepada Sang Hyang Widi agar memulangkan kembali ke rumahnya.

Singkat cerita, datanglah pada Dayang Sumbi seorang laki-laki gagah dan tampan. Laki-laki itu kemudian jatuh cinta hingga ingin meminangnya. Namun Dayang Sumbi melihat di kepala laki-laki itu ada cacat bekas pukulan, dan kemudian Dayang Sumbi menjelaskan bahwa ia adalah anaknya. Tapi Sangkuriang membantahnya sebagai siasat ketidakmauan atau tolakan Dayang Sumbi atas pinangannya. Karena Sangkuriang terus memaksa Dayang Sumbi untuk menjadi istrinya, maka Dayang Sumbi pun mengiyakannya tapi dengan syarat bahwa Sangkuriang harus membendung sang hyang tikoro hingga menjadi danau dan membuat perahu untuk lalayaran dalam rangka merayakan bulan-madu, tetapi harus selesai dalam waktu semalam atau waktu fajar belum terbit. Akhirnya dengan kekuatan yang dimiliki Sangkuriang dan dibantu para jin dan siluman persyaratan itu mendekati selesai. Karena tahu bahwa pekerjaan Sangkuriang akan selesai, maka Dayang Sumbi menggagalkannya dengan menyuruh seluruh penduduk untuk menumbuk padi dan mengibar-ngibarkan boeh rarang hingga berkokoklah ayam sebagai tanda pagi. Saat itulah kemudian Dayang Sumbi datang kepada Sangkuriang dan mengatakan bahwa ia telah gagal untuk menjadi suaminya. Karena kesal dan tahu bahwa Dayang Sumbi telah menggagalkannya, maka perahu yang belum jadi itu ditendangnya dan nangkub hingga kini dikenal gunung tangkuban parahu.

Menurut cerita yang beredar, bahwa dahulu kala memang ada danau yang disebut danau bandung purba. Danau ini luasnya kira kurang-lebih tiga wilayah DKI sekarang, yang batas utaranya dari gunung tangkuban parahu sampai ke selatannya adalah daerah Ciwidey; batas baratnya sekitar Padalarang-gunung masigit sampai ke timurnya adalah daerah Cicalengka; yang mungkin bentuknya mirip kuali atau wajan. bahkan dalam cerita dikatakan bahwa sebelum danau ini surut ada sebuah gunung yang tinggi yang puncaknya tertutup kabut putih. Kabut putih dalam bahasa Sanskerta disebut cuda. Kata cuda ini oleh masyarakat dahulu sering diucapkan secara cepat : “cuda-cuda-cuda” hingga terdengar menjadi Sunda–ada kemungkinan istilah Sunda merujuk pada wilayah danau dan gunung tersebut. Kemudian gunung tersebut meletus dan melahirkan tiga anak gunung yaitu bukit tunggul, burangrang dan tangkuban parahu. Menurut saya kemungkinan besar munculnya dongeng sangkuriang di atas berkaitan dengan cerita danau bandung purba tersebut.

Dongeng sangkuriang di atas adalah salah satu versi yang berkembang di Tatar Sunda. Memang banyak versi tentang dongeng di atas. Namun versi di atas yang masih melekat ketika orang tua mendongengkannya di waktu kecil. Karena inilah yang kemudian menjadikan keyakinan pada diri saya, bahwa Tatar Sunda punya kekayaan intelektual berupa karya sastra. Karya sastra yang berbentuk dongeng ini memang banyak yang telah menafsirkannya. Misalnya bagi kalangan penganut mistik, sangkuriang dianggap orang yang tidak berhasil mengendalikan nafsu amarah, yang disimbolkan dengan tidak selesainya menutup sang hyang tikoro. Juga dianggap orang yang telah “gelap” sehingga menginginkan ibunya dipersunting, yang kemudian menemukan beurang (siang) yang maknanya sebagai pencerahan atau hidayah atas “kegelepan”nya karena telah bersekutu dengan dunia hitam yang disimbolkan dengan jin dan siluman.

Ada juga yang memaknai bahwa Sangkuriang merupakan symbol “manusia luar biasa”, atau istilah Nietzsche yaitu Ubermensch. Yakni manusia yang tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap bentuk nilai adi-kodrati dari orang lain karena ia menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Hal ini terlihat pada penolakan Sangkuriang atas kebenaran yang disampaikan Dayang Sumbi. Karena bagi Sangkuriang, dirinyalah yang paling benar sehingga ibunya sendiri harus “tunduk” dengan kebenaran yang ada pada dirinya. Namun pada dongeng itu pula Dayang Sumbi berusaha meruntuhkan solipsisme anaknya melalui strategi yang berbentuk persyaratan.

Dengan persyaratan itulah kemudian Dayang Sumbi melakukan siasat sekaligus resistensi yang menjungkirbalikan ego-kuasa Sangkuriang melalui penggagalan yang dilakukan Dayang Sumbi. Dengan gagalnya mengawini Dayang Sumbi-yang tiada lain ibunya-inilah yang dapat saya anggap bahwa inces tidak diperkenankan hadir di Tatar Sunda. Saya tidak tahu apakah ini bentuk resistensi budaya Timur terhadap budaya Barat yang saat itu mungkin sedang menjadi “kiblat” atau pusat kebudayaan dunia? Jika ini benar, maka mitos Oedipus Complex yang membunuh bapaknya dan kemudian berhasil mengawini ibunya (ibu dalam pandangan ini adalah symbol tanah air) adalah ciri budaya Barat yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan anjuran mengolah dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mengubah dunia.

Hal inilah yang membedakannya dengan budaya Timur yang begitu menghargai alam sebagai sumber hidup manusia dengan cara melaksanakan ritus seperti nadran laut saat panen ikan, panen pare dengan cara menyimpan sebagian hasil panen dalam tempat tertentu yang diperuntukkan sebagai ucapan terima kasih kepada Nyi Pohaci (Dewi Sri), seren tahun (tahun baru), tujuh bulanan, nyawer, ruwatan bumi yang dilakukan dengan ngarajah sebelum melantunkan pantun-pantun dan do`a-do`a keselamatan.

Memang dalam hal ini karya sastra Sunda lama sering berbentuk pantun. Pantun dalam tradisi masyarakat Sunda sering di-dalingding-kan pada acara-acara sacral; yang memang di dalamnya terdapat muatan-muatan moral sekaligus bermakna kekayaan batin orang Sunda. Pada dongeng Sangkuriang misalnya terdapat pesan bahwa nadar (Arab=nadzar) yang diucapkan Dayang Sumbi merupakan janji yang harus ditepati, yaitu kawin dengan dengan anjing yang telah menyerahkan taropong. Dan bila ditelusuri dari sejarah yang konon bahwa Sunda terpengaruhi agama Hindu, maka dari itu saya menafsirkan bahwa celeng Wayungyang adalah symbol “kembang desa” yang derajatnya rendah (sudra) dan hidup di kampung yang dekat dengan hutan. Adapun raja yang berburu dan kencing pada batok kelapa itu merupakan simbol pejabat atau ksatriya yang memanfaatkan status sosialnya untuk memetik dan menikmati harumnya “kembang desa”-yang dalam bahasa populer disebut gundik atau istri simpanan. Sedangkan anjing yang bernama Tumang adalah simbol orang yang paling rendah derajatnya yaitu paria.
Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa pada masa itu yang dianggap “manusia” hanyalah kaum brahmana, ksatriya dan waisya. Sedangkan kaum sudra dan paria adalah symbol manusia yang tidak berharga dan dinilai sama dengan binatang, sehingga Sangkuriang yang mewakili kaum ksatriya melakukan tindakan yang dehumanis. Inilah bentuk kesewenang-wenangan manusia (dengan status sosialnya) yang masih sering terjadi di masayarakat. Seperti tindakan anarkis yang dilakukan penganut agama tertentu yang mengklaim bahwa pemboman, penghancuran dan pembunuhan-terhadap orang yang dianggapnya kafir, murtad, zionis, zindik dll-adalah bukti dari “jihad” yang dipersembahkan bagi Tuhan-nya. Bukankah Sangkuriang dengan membunuh si Tumang adalah bukti inginnya mepersembahkan hati yang diminta ibunya?

Itulah apresiasi dari dongeng Sangkuriang Kabeurangan. Siapakah yang menciptakan? Anonim. Benar, karena masyarakat Sunda lama berlandaskan pada budaya lisan (oral tradition) dan bahasa cenderung dianggap alat untuk mengekspresikan kesadaran (batin) masyarakat. Itulah sebabnya dongeng-dongeng yang berbentuk pantun tidak mengenal pengarang individual, karena ia adalah milik masyarakat luas. Bahkan pada dongeng di atas memang nampak bahwa alam pikiran masyarakat dahulu memang seperti mengada-ada, irasional dan lain sebagainya. Tapi di balik kemengada-adannya dan keirasionalannya itu kalau kita bisa menafsirkannya akan tampak bahwa para karuhun Sunda begitu cerdas dan terampilnya mengekspresikan pelbagai getar batin dan keresahan yang ada di zamannya.

Inilah sebabnya saya bangga pada proses yang mereka lakukan sehingga berhasil tampil dalam panggung kebudayaan. Tidakkah kita berpikir hari ini untuk berkarya lebih dari mereka? Dengan memikirkannya berarti ada rasa pengakuan tentang adanya alam, gunung, tetumbuhan, manusia, sejarah, dan mungkin tentang Sang Maha Pencipta.

AHMADSAHIDIN adalah Jurnalis Majalah Swadaya dan Alumni Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tuhan dan Anjing

TUHAN SERUMAH DENGAN ANJING KURAP
Cerpen Endang Suhendang

Akhir-akir ini aku semakin geram dengannya. Setiap kali aku melihatnya aku bagaikan berhadapan dengan anjing kurap yang suka menjilat-jilat dan melahap makanan pada kerajang sampang juga kerap menyolong daging dari "dapur" ibuku. Sejak pertama melihatnya aku sudah menemukan gelagat yang tidak biasa dari orang ini, aku bisa menganggap begitu dari caranya berbicara dan juga dari sikapnya. Walaupun ucapan dan sikap belum mencerminkan sifat baik atau buruk secara keseluruhan.

Dia memang bukan seorang mahasiswa sepertiku, jadi bisa dimaklumi kalau kelakuannya sangat liar dan pikirannya sangat polos. Tapi setidaknya kalau dia orang yang tau tidak tau tidak tau dirinya, dia bisa belajar dan mencontoh sikap dari aku. karena aku juga mencontoh orang lain. Karena hidup ini adalah rangkaian contoh-mencontoh dari orang lain.

Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh pada sebuah pabrik kerupuk yang pembuatannya dirumah, Dengan gaji lima puluh ribu seminggu. Uang tersebut tidak dipotong makan dan rokok, karena makan dan rokok dikasih oleh majikannya. Bisa dibayangkan jika uang tersebut pada zaman sekarang pada tahun 2007 yang hidup dikota seperti Banadung ini harus bisa untuk mencukupi berbagai kebutuhan juga beberapa keinginan. seperti makan sehari-hari, sewa kontrakan, jalan-jalan, nonton dan teraktir pacar kalau punya atau setiap malam minggu ke saritem seperti orang pasar juga orang sasar. dan keinginan untuk sedikit diberikan pada emaknya dikampung. Tentunya jika ingat hal ini aku kasihan padanya. Walaupun hidupku tidak jauh berbeda dengannya.

Tentunya pertimbangan tinggal dimesjid lebih dikarenakan karena pertimbangan ekonomi, bukan karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Karena konon mesjid merupakan rumah Tuhan. Aku juga seperti itu. Aku pikir dia tidak sadar, ngorok dimesjid sampai matahari berangkat satu tumabak ke barat tanpa shalat subuh, fasilitas listrik juga air yang jika dia ngontrak kamar bisa dipungut bayaran yang beda dengan sewa kamar. Karena di Bandung ini tidak ada yang geratis kecuali kentut dan aparat yang suka naik angkutan umum. Itu semua tanpa di bayar? Dia tidak sadar dia telah menggunakan uang rakyat- uang umat.

Hari berganti minggu dan sampai sekarang sudah lebih dari lima bulan dia "I'tikaf" di mesjid bersamaku. Sebenarnya aku sedikit bingung menghadapi tingkahnya yang membatu. Berkali-kali kuperingatkan, dia tidak pernah membantah pun tak pernah menurut. Dia orangnya polos, jujur dan sangking jujurnya kadang menjadi dungu dan sifatnya yang paling membuatku ngedumel yaitu sifat "tau" dirinya.

Dengan tanpa beban dan risih sedikitpun tiap hari dia bangun jam tujuh pagi, itupun dengan susah payah dibangunkan teman kerjanya yang tidak tidur dimasjid. Awalnya aku selalu membangunkannya pada saat adzan subuh dikumandangkan, lama kelamaan aku bosan, karena fikirku untuk usia 20 tahun seperti dia tidak wajar untuk shalat saja harus dipaksa-paksa. Tanpa adanya kesadaran. mungkin kalau usianya masih 7 tahun aku masih bisa memakluminya. Sekarang aku tidak pernah membangunkannya lagi. Karenanya dia tidak pernah shalat subuh apalagi berjamaah bersamaku. Dan tanpa merasa ada beban dan malu setidaknya, apalagi berfikir tentang dosa karena itu terlalu jauh. Dia menikmati tidurnya sampai menjelang waktu shalat dhuha.

Secara pribadi itu urusan dia, dan aku tidak berhak ikut campur. Karena itu masalah dia dengan Tuhannya. Yang lebih membuat otakku sediki stress yaitu sikap acuhnya dengan "hotel" gratisnya ini. tempatnya menginap. Dia tak pernah peduli dengan sampah yang menghiasi halaman mesjid dan debu yang membuat mesjid seperti museum benda-benda purbakala. Dia tak pernah peduli selepas magrib aku kerepotan menghadapi anak-anak yang sepereti bebek-bebek. Aku sebenarnya tidak menjadi beban jika harus memberesihkannya sendiri. Seperti sekarang ini. hanya jika memang dia capek karena bekerja dan tidak sempet membantuku beres-beres. kenapa dia tidak sasadu kepadaku dan ngomong terus terang. Mungkin aku tidak akan menganggap dia orang yang "tau" diri. Tidak seperti sekarang aku menganggap dia seperti anjing kurap, yang serumah dengan Tuhan. Yang "tau" diriannya. Karena kalau aku juga menuruti kecapekan, aku juga sama sehari-hari kuliah sampe sore ditambah tugas dari makhluk yang baru masuk sudah sibuk dengan memberikan tugas. Tapi aku tidak bisa begitu saja itu dijadikan alasan untuk bersikap bak pahlawan yang sudah berjuang di Aceh menumpas Gam. Karena aku tau aku harus tidak "tau" diri.

Memang, masyarakat sepertinya tidak mau tau dan peduli dengan kodisi mesjid karena memang mereka tidak pernah kemesjid kecuali kadang-kadang pada hari jum'at dan hari I'dul fitri juga I'dul Adha. Tapi aku meresa dibalik ketidakmau tauan masyarakat tersimpan beban moral yang begitu berat untuk dipikul. Ada amanat yang secara tidak langsung dibebankan pada diri penghuni "asrama" ini. Yaitu kepercayaan untuk menjaga kebersihan juga sekedar mengajar iqra anak-anak mereka. Kedua-duanya alhamdulillah temanku ini belum pernah memikirkannya apalagi mengerjakannya.

***
Untuk mengobati kekesalan hati yang susah digambarkan lagi, aku suka mengobti diri dengan menganggap bahwa mungkin semua orang didunia ini lebih banyak yang "tau" dirinya dari pada orang yang tau tidak tau diri. Aku melihat pada diri teman baruku ini sama seperti melihat para anggota dewan dan para pejabat yang lebih banyak "tau" dirinya dapi pada tau tidak tau dirinya. Anggota dewan dan pejabat sekarang juga mungkin tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tidak sadar dan tau bahwa ia dihidupi oleh rakyat, bukan oleh SBY juga bukan oleh Tuhan. Tapi oleh rakyat dan rakyat. Walaupun rakyat tidak sadar bahwa mereka telah memberi makan belatung-belatung busuk yang biasa mengerumuni anjing kurap yang telah mati membusuk karena kekenyangan melahap tulang dan menyolong daging dari "dapur" ibuku. Kalau mereka tau mereka telah menggaji anjing kurap, mereka tentu lebih suka uangnya diberikan pada gembel yang diseret dan dingkut Satpol PP. dari pada diberikan pada anjing kurap yang menjijikan. Dan Aku mengetahuinya. Karena aku tau dari kelakuan temanku yang sama dengan kelakuan bajingan-bajingan itu, yang berbaju besi dan berkepala batu juga berhati iblis. Itulah kelakuan kau dan dia juga mereka.

Berkali kali aku katakana pada temanku, bahwa aku bukan orang yang baik dalam kesendirianku. Tapi aku berusaha menyembunyikan sifat busukku didepan manusia, didepan orang-orang. Juga didepan kau. Aku bukan munafik, tapi bukankah hati itu urusannya dengan Tuhan bukan urusan manusia, bukan urusan orang-orang. Juga bukan urusan kau?. Aku lebih suka sikap-sikap bukan sifat-sifat dari seorang munafik. Dari pada tidak munafik sama sekali. paling tidak dia menghargai dan memberikan contoh yang baik walaupun ucapannya tidak sesuai oleh hatinya. Itu tak apa karena hati bukan urusan kita bukan urusan manusia. Dari pada sudah mempunyai sikap dan sifat yang tidak baik lantas memperlihatkan dan menganggapnya bagai sebagai sikap dan sifat yang wajar. Dan yang paling mengkhawatirkan kau tidak sadar bahwa sikap dan sifat kau selama ini kau anggap benar.

Terhadap pendapat dan kritikanku ini, sepertinya dia kurang mengerti. karena memang dia tidak sekolah sampai tingkat lanjutan apalagi sampai perguruan tinggi. Jadi tidak mengerti analogi dan dan sindiran. Sama juga seperti mereka, para anggota dewan para wakil aku. Si anjing kurap. walaupun aku tak pernah memilih mereka. Mereka tidak sekolah, walaupun punya ijazah sampai perguruan tinggi, itu hasil membeli dengan uang hasil malingnya itu. Jadi mana mungkin dia mengerti akan sifat tau tidak tau dirinya. Mereka terpilih bukan berarti manusia pilihan. Karena mereka bukan manusia tapi anjing kurap. Kalau manusia tentunya mereka tau akan tidak tau dirinya. Kalau ada yang ngasih tau dianggap interpensi dan dianggap hal sia-sia jika ditanggapi. Mereka bisa duduk di Wastukencana dan menginap di Hotel Indonesia karena mereka pandai membohong anak-anak dan ibu-ibu dengan rayuan busuknya. Mungkin untuk hal ini lagi–lagi aku harus memaklumi anggota dewan seperti ini. Dan sedikit terobati karena ada bebrapa dari mereka para anjing kurap yang manusia dan seperti manusia Seperti bagaimana aku harus memaklumi temanku itu. Karena kepala batunya.
Dalam hati kadang aku berfikir, kenapa aku harus repot memikirkan dan memusingkan kelakuan temanku yang makin ngaco. Entoh masyarakat disekitar masjidku saja tidak pusing dan tidak mau tau. Kalaupun mereka tau tidak sampai memusingkan kepala mereka, tidak seperti aku kadang-kadang masalah ini sampai membuat aku susah tidur dan tidak enak makan. Kalau yang terakhir mungkin karena tidak ada yang bisa dimakan.

Tapi keinginan acuh tak acuh itu hilang kembali, ketika aku ingat pasilitas yang digunakan dan makanan yang dimakan temanku itu juga anggota dewan itu adalah pasilitas dan makanan dari "dapur" ibuku yang dipersiapkan untuk aku, untuk anak-anaku dan untuk cucu-cucuku dikemudian hari. Jika anjing kurap ini tetap dibiarkan aku khawatir keturunanku yang makan didapur ibuku mereka akan mengemis dan jadi gelandangan di"dapur" yang konon banyak makanannya. Karena makanan telah habis dicolong anjing kurap itu yang tidak kenal puas dan kenyang. Karena itu, dia lupa kapan waktu bangun untuk shalat dan kapan waktu sidang. Karena setelah perut kenyang anjing kurap itu bermesraan dengan model dongdot yang siap melayani siapa saja baik manusia ataupun binatang. Seperti anjing kurap itu, yang penting satu hal, dia harus berperut buncit yang kelak setelah puas "dikencingi" anjing kurap itu. Perutnya akan dibedel dan keluarlah lembaran merah dan butiran intan permata hasil jarahan dari "dapur" ibuku.

Aku kasih tau sekarang, jika kau melihat temanku juga dewan itu dimana saja dia berada kejar dan seretlah dia. Karena temanku telah ku lempar dia kepadang ilalang yang jauh dan bisu kelu. Yang mungkin suatu saat datang kembali kesekitar rumah anda. Pecahkanlah perutnya dan Keluarkanlah lembaran merah dan butiran permata yang ada didalamnya. Dan pecahkanlah kepalanya dengan ketapel ataupun dinamit yang biasa digunakan untuk memecahkan batu, karena sama kepalanya juga batu. dan lemparkanlah mayatnya kelaut, agar bangkainya dimakan paus dan tidak dikerumuni oleh belatung-belatung tengik yang doyan mengerumini setiap bangkai. Entah bangkai apapun yang penting dia bisa menghabiskan sisa daging dan daleman untuk disisakan tulangnya saja untuk disemayamkan dimakam pahlawan yang kelak akan diabadikan sebagai pahlawan anjing kurap yang berjuang untuk belatung-belatung tengik.

Bandung, 12 februari 2007

Sosok

Badru Yang Saya Kenal
Oleh Ibn Ghifarie

Di tengah-tengah kebingungan sekaligus ketidak jelasan keputusan LPIK secara kelembagaan. Tak terelakan lagi, Saya selaku mantan pengurus LPIK periode 2003/200. Kini, Koordinator Post LPIK, sebutan bagi Alumni LPIK. Merasa kehilangan atas pengunduran diri Badru. Pasalnya, Ia merupakan tonggak LPIK. Terutama dalam khazanah sastra.

Meski di masa kepemimpinannya (2005-2006) Ia sempat hengkang hampir 4 bulan lamanya dari masa baktinya. Tepatnya di semester genap. Terhitung dari bulan Mei-Agustus
2006. Tentunya, menuai pelbagai kritik, cacian, makian hingga hujatan sekalipun dari anggota, pengrus sampai Alumni.

Namun begitu, Ia tetap berdikari di Saung Kajian. Hingga ajal kepengurusanya berakhir di Gerbang Musyag X. Yahni 14 Oktober 2006. Saat ngabuburit Ramadhan ala LPIK. Terpilihlah Tedi Taufik Rahman sebagai Pentolan LPIK masa bakti 2006-2007.

Tak cukup berhenti sampai di sini saja, Mifka pun ikut larut menjadi pengurus sekarang. Sampai-sampai Ia menghantarkan terselanggaranya acara; Geliat LPIK (11-12/12/06), Talk Show (18/12/06), TGB (Ta’aruf Generasi Baru; 20-22/1206 ), Menebus Kelahiran dan Kematian (30/12/06). Sudah tentu, keberhasilan kegiatan spektakuler itu berkat berbagai pihak. Khususnya, pengurus LPIK dengan Anggota Muda.

Seiring waktu. Sepenggal asa. Kuatnya arus modernitas dan peliknya kehidupan. Akhirnya Ia mendeklarasikan diri dengan cara melayangkan surat pernyataan ‘Mengundurkan Diri Sebagai Pengurus LPIK Periode 2006-2007 Sekaligus Melepas Identitas Keanggotaan LPIK. Mentah karena alasan apa ?. Yang jelas Ia menulis lima alasan diantaranya; Pertama, Rapuhnya Komunikasi Yang Sehat Sesama Anggota. Kedua, Lemahnya Temali Kekeluargaan di Tubuh Organisasi. Ketiga, Lunturnya Tradisi-tradisi LPIK Dalam Keseharian. Keempat, Sekaratnya Kerja Kepengurusan. Kelima, MatinyaTradisi Penalaran Anggota.

Tak ayal, kehadiran Surat Sakti itu, membuat sebagin besar kawan-kawan pengurus dan anggota bertanya kepadaku. Dengan pelbagai pertanyaan; Apa sebenarnya yang terjadi, Pernahkan Ia bercerita sebelumnya kepada kamu (Aku-red), Eta sugan pernah ngobrol heula jeung Boelldzh teu?

Lontaran kata-kata itu, tentu saja menghentakan perasaanku. Seolah-olah aku yang bersalah dan tidak pernah peduli pada kawan.

Semula tak ada jawaban dariku. Kecuali geleng-geleng kepala sebagai pertanda ketidak tahuan persoalan tersebut sambil terus membaca Surat Pengunduran Diri. Yang dipajang di Sekretariat. Tanpa kusadari pikiranku melayang jauh menembus ruang dan waktu, hingga tergambarlah sosok Ahmad Wahib (Pergulatan Pemikiran Islam). Saat Ia mengundurkan diri secara forman dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan membuat satu tulisan. Ia beranggapan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sudah tak nyaman lagi baginya, tak bisa berekspresi, bahkan disebut-sebut sebagai pembawa aliran lalim. Mungkinkah Badru meniru sekaligus mengikuti jejal Neo-Wahib? Entahlah

Sejurus kemudian, ngahuntu pun kumulai sambil mengingat-ngingat beberapa hari yang lalu. Memang dulu pernah ngobrol antara aku dengan Badru di samping Mesjid Iqomah antara pohon Jambe dengan ruko Jualan Rokok, Kopi ala Sifi (detik-dertik terakhir direlokasi ke M’ahad Aly d/h) (13/01).

‘Leudzh, kadie sakeudeng urang hayang ngobrol jeung ente’, ungkap Mifka mengawali pembicaraan.
‘Aya naon Dru’, sahutku.
‘Ari cara nyieun Surat Pengunduran diri the kumaha’, kata Mantan Ketum tersebut.
‘Secara organisatoris atau luar organisatoris’, jawabku.
‘Secara organisatorsi dong’, ungkapnya sambil ketawa-ketiwi.

Tanpa basa-basi. Semua unsur-unsur surat pengunduran diri ku jelaskan sampai tek-tek bengeknya. Di penghujung penjelasan baru aku sadar dan balik bertanya ‘Jang aya naon bet nanyakeun surat pengunduran sagala’, tegasku.

‘Ah biasa pan entege geus nyaho, lamun urang nanyakeun data jeung sajabana pastilah eta keur nyieun tulisan’, kilah Koor Divisi Jurnalistik tersebut.
‘Siga baheula urang nanyakeun data BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) KBM UIN SGD Bandung pan keur nyien tulisan’, tambahnya.

Tanpa memperpanjang masalah buat apa dan kebetulan dua kawan Ia dan aku menghampiri kami. Lebih tepatnya salah seorang senior kami di organisasi ekstra kampus. Akhirnya, ngawadul surat pun berakhir. Tanpa salam apalagi.
Selang beberapa hari dari obrolan senja itu, di tengah malam dan gemercik hujan sekitar 22-an di depan Wartel UIN. Saat aku membeli bubur guna menyantap obat karena memang aku aga tak enak badan (17/01).

Kala itu, Ia berdiri di antara temen-temen pengurus LPIK (Sutisna, Fani, Zarien) sambil berkata ‘Leudzh kadieu sakeudeung urang hayang ngobrol, paparnya dalam mengawali ngahuntu.

‘Aya naon Jang’ jawabku.
‘Sabenerna mah lain keur nyieun tulisan batur atawa insfirasi tulisa keur di publikasikeun, tapi baheula nanyakeun surat pengunduran teh keur urang’, jelasnya.
Kontan saja, aku pun balik berkata ‘Emang aya naoan jeung alasana naon bet rek ngundurkeun diri sagala’, cetusku.

Sebelum menjawab pertanyaanku. Ia malah balik bertanya, ‘Tapi aya masalah yeuh ngenaan No surat kesediaan Jadi Pengurus baheula euweuh teu manggihan, geus neangan kasasaha’, tambahnya.
‘Ah pokonamah kudu aya. Lamun euweuh urang pertama anu rek ngagugat surat eta’, jelasku sambil bercanda.
Tanpa ada jawaban lebih. Memuaskan penasaranku apalagi. Mantan Pimred Al-Kitobah itu, berpamitan kepada kami. ‘Urang balik heula yeuh,’ menutup obrolan malam.
‘Moal ka Sekre LPIk heula’, tanya salah satu rekan sepengurusnya.
Lagi, tak ada jawaban kecuali meninggalkan kami. Akhirnya, kami pun berpisah satu sama lain.

Walhasil, terjawab sudah kepenasaranku tentang pembuatan surat pengunduran diri. Yakni terpajangnya Surat Pernyataan di sekretariat LPIK. Tepatnya di bawah papan pengumuman No kontak LPIK. Saat mentari mulai menggeliat ke titik zenit (18/01).
Hingga hari ini, tak ada keputusan jelas dan tegas secara lembaga. Namun, secara pribadi saya sangat menyayangkan langkah yang ditempuh kawanku. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Kareha hal itu telah terjadi. Cuman terkadang aku sangat menyesalkan peristiwa itu terjadi. Pasalnya, kali ini terjadi pengunduran diri yang dilakukan oleh mantan Ketum.

Apapaun alasannya. Aku harus rela menerima kenyataan pahit ini. Tanpa menyalahkan satu sama lain. Mungkin saja ini, kekhilafanku yang tak begitu peduli pada sahabat dan terlalu percaya pada kawan. Jika mereka menanyakan sesuatu kepadaku. Terlebih masalah organisasi.

Walaupun ada keganjilan dalam Surat tersebut; Pertama, tidak ada kop surat beserta kawan-kawanya. Mulai dari Nomor, Lampiran sampai Prihal. Semuanya tidak ada.
Kedua, Dalam No Surat Kesediaan Menjadi Pengurus (No: 01/B/LPIK/Desember/2006). Sepengetahuanku Desember bulan-bulanya acara LPIK dan TGB. Kalau tak salah pelantikan kepengurusan masa bakti 2006-2007 itu bulan pertengahan November. Berarti surat kesediaan sekira awal bulan.

Ketiga, penempatan 5 alasan-alasan pengunduran diri. Kebiasaan penulisan selalu di akhirkan dalam bentuk terlampir.

Keempat, Tidak ada Matrai dan tanda tangan di penghujung surat.
Meski begitu, kau tetap rekan seperjuanganku. Lebih-lebih sewaktu engkau menjabat Ketum LPIK dan Sekretaris Lembaga Pres GPMI (LPG) Gerakan Persatuan Mahasiswa Islam. Kebetulan waktu itu, aku menjabat Koord Alumni (LPIK), Sekjen (GPMI), Pimred sekaligus penggerak LPG (doBRak).

Hampir dua tahun lamanya aku mengenal dirimu. Sampai-sampai orang lain iri dengan kekompakan team doBRak (Ifa, Mifka, dan Boelldzh). Selama itu pula, aku sedikit demi sedikit mengetahui lebih dalam kepribadianmu.

Paling tidak yang ku ketahui engkau sosok Sastrawan dengan sederetan sebutan Pujangga, Cerpenis (Juara II tingkat PT STAIN, IAIN dan UIN se-Indonesia di Palembang; Desember 2005), hingga gelandangan Liberal. Begitu asyik memainkan huruf, kata-kata, kalimat dalam menyusun sebuah tulisan. Sampai-sampai aku ingin mengikuti jejak langkahmu. Namun, sudah ku coba berulang-ulang kali, hingga tak terhitung, tapi tetap saja aku tak bisa kecuali dalam memainkan data semata.

Selain itu, karena terlalu gandrung dengan permainan rima. Setiap kejadian, keluh kesah, letupan-letupan suara hati engkau semua tuangkan dalam Catatan Harian.
Bergelut dengan Dyari bukan pertama bagi Ia. Malahan sudah hampir 5 tahun Ia akrabi. Sampai-sampai di satu kesempatan engkau pernah menyuruhku guna mengklasifikasi mushaf berserak tersebut. Namun, entah satu alasan apa, Ia meninggalkan ikhtiar tersebut. Padahal ingin ku menyunting semua goresan penamu. Terkadang kau lupa menyimpan agenda harian tersebut. Thus, aku pula yang menyimpan bait-bait puisimu.

Kuatnya tradis menulis bagimu bak nafas yang terus menghembuskan sanu bari. Tengok saja, hasil lengkingan penanya di WebBlog pribadinya (www.mifka.multiply.com) atau di Komunitas Mata Pena (KMP) Bandung (www.komunitasmatapena.multiply.com).

Ketidak terlibatanmu dalam kecerian di Saung Kajian LPIK mulai hari ini dan selanjutnya. Engkau tetap Mifka bukan yang lainya. Mudah-mudahan terus berkarya dan akhirnya aku hanya bisa berkata ‘Selamat Jalan Dru, Teruskanlah Perjuananganmu Sampai Ajal Menjemput’. Itulah Badru yang saya kenal. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/01;03.47 wib

Lunturnya Tradisi Dialog

Buntut Lunturnya Tradisi Dialog Itu Bernama Surat Pernyataan
Oleh Ibn Ghifarie

Keluarnya surat edaran Menyatakan ‘Mengundurkan diri sebagai pengurus LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Kesilaman-red) KBM UIN Sunan Gunung Djati Bandung periode 2006-2007 sekaligus melepas identitas kenggotaan LPIK’ oleh Badru Tamam Mifka, mantan Ketum LPIK periode 2005-2006 (18/01).

Tak ayal lagi, hal ini membuat sebagian pengurus dan anggota kebingungan sekaligus bertanya-tanya. Pasalnya, kepengurusan masa bakti 2006-2007 baru beberapa bulan dilantik dan Mabim (Masa Bimbingan Anggota Muda) pun belum berjalan dengan baik. Salah satu pengurus angkat bicara Abdul Kumis, Koord Divisi Ekternal ‘Saya ngarasa kecewa jeung teu satuju Badru kaluar ti LPIK. Kulantaran terlalu buru-buru nyokot kaputusan, teu bijak jeung egoislah, ungkapnya.

‘Mestinya ngobrol terlebih dahulu dengan pengurus untuk mengundurkan diri tersebut. Sebab segala persoalan bisa diselesikan dengan dialog. Ini tidak dan keluarlah surat pernyatan,’ tambahnya.

Menyoal pengunduran diri mantan Ketum LPIK itu, Tedi Taufik Rahman selaku Ketum LPIK periode 2006-2007 beranggapan ‘Ini hanya ekspresi kejengahan saja dan cukup beralasan. Meski dalam bentuk titik nadir ekstrim, katanya.

‘Secara pribadi saya bangga dengan keputusan Badru dan sent of bilonging Ia terhadap LPIK begitu tinggi daripada Hakim (anggota divisi Internal-red) yang tidak aktif dikepungurusan dan tidak menyatakan diri keluar dari kepengurusan sekarang, baik secara lisan maupun tulisan,’ jelasnya.

Berbeda dengan Tedi, Iya Maliya anggota Divisi Ekternal sekaligus Pimred Suaka (Lembaga Pres Mahasiswa-red) menilai ‘Biasa aja. Mentang mentang anak lembaga kajian surat pengunduran diri saja dibikin secara tertulis dan panjang. Coba kalau di Suaka mengundurkan diri cukup dengan lisan saja,’ paparnya.

‘Inilah sindrom cinta. Sudah jelas misalkan LPIK itu mempunyai berbagai macam masalah. Ini malah diperumit lagi dengan keluarnya Badru, tambahnya.

Tentunya, komunikasi antar pengurus pun sudah tak sehat lagi. Jika setiap persoalan harus diselesaiakn dengan tulisan semata, tanpa adanya dialog terlebih dulu, ujarnya.

Senada dengan Iya, Reni Sendiawati, Bendum LPIK ikut menggapi ‘Biasa aja’. Kok, kelemahan lembaga dianggap tameng buat keluar dari lembaga. Padahal yang saya ketahui bukan itu alasan mengundurkan dirinya. ’Ah geus kapangih modalna jeung beulangna sifat manehna ku barudak,’ tegasnya.

‘Bingung. Abong hayang dipika ngarti ku batur, tapi manehna anu teu ngarti ka batur. Maeunya teu ngobrol heula jeung barudak. Ujug-ujung kabur bari nyieun tulisan pernyataan,’ cetus Johan Koord Johan Koord Seni dan Budaya.

‘Tapi lamun mah kaluar ti LPIK keur majukeun organisasi lain, samodel GPMI mah teu nanaon jeung urang ngadukung pisan. Kade omat lamun di GPMI teu baleg oge. Tah anu kitu mah hayang meunang soranangan we,’ tegasnya.

‘Teu bisa kumaha deui. Da ieu mah geus urusan eksistensial,’ Sutisna sekretasir Divisi Seni dan Budaya.

Atuh antukna mah bakal saling menghakimi, tidak ada dialog dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusanya, katanya.

Berbeda dengan Sutisna, Wanda Al-Rasid, Koord Divisi Internal berkata ini salah yang dilakukan oleh Badru. ‘Salah ibarat membuat patah semangat kepengurusan. Walaupun, ini hasil dari akumulasi masalah-masalah sebelumnya. Imbasnya pada kepengurusan sekarang,’ paparnya.

‘Ceuk urangmah ieu aya kaitanan jeung masalah hate,’ tambahnya.

Lain pengurus. Lain pula Anggota Muda. Bagi Pradewi Chatami, mahasiswa Psikologi berkata ‘Inilah delirium (Kekacauan sebelum sekarat), kekanak-kanakan, teu otokritik. Pokonamah teu sehat jeung masih keneh boga hutang 2 buletin lateral ka LPIK,’

‘Biasa teu biasa jeung emosioanal we. Solana ari saya mah karek ka LPIkna ge jeung teu apal kumaha tradisina, kata Dian mahasiswa Sosiologi semerter III.

‘Ayeuan aya anu ngundurkeun sagala ti kapengurusan pan teu hade jeung bakal di contoan ku budak anyar, lamun teu genah didieu (LPIK-red). Pokonamah jangan ada dusta diantara kita,’ jelasnya.

Senada dengan Dian, Naoval Ketua Angkatan anggota muda menjelaskan ‘Takut perlakuan serupa ditiru oleh kawan seangkatanya, manakala sudah tak nyaman lagi di sini (LPIK-red)’, paparnya.

Walapun sebelumnya ‘Ada keganjilan di Badru sendiri, terutama dalam sikap (sebelum pindah-red) dan sewaktu di angkutnya buku-buku di WSC. Padahal LPIK mempergunakan perpustakan tersebut, ujarnya.

‘Aneh we. Maenya keceriaan dan kebahagian memajukan LPIK selama 3 tahun kalah dengan kekcewaan selama 2 minggu. Pan teu logis jeung emosional we. Padahal, Badru merupakan pilar LPIK. Jika ia keluar, maka ada yang kurang di LPIK, menutup perbincangannya.

Biasa wae jeung geus waktuna. Maeunya mantan ketua masih jadi pengurus tambah Abdul Aziz, mahasiswa jurnalistik semester IV.

Meski membuat kebingungan Pengurus dan Anggota. Namun dilain pihak seakan-akan beredar surat pernyataan pun tidak membuat getir LPIK. Salah satunya Didin Syarifuddin, mantan Koord Divisi Metodologi dan Wacana berujar ‘Ah, sok wae rek kaluarmah jeung urang ngadukung. Lamunmah hiji jelema geus teu nyaman di imahna sorangan’.

Selain itu, tambahnya ‘Lain opat alasan eta anu matak Badru kaluar, tapi sigana aya kaitanan jeung duriat. Matakna ari heureuy teu tong kamalinaan heg jadi we kieu akibatna’,

Bagi Farid Ridwan Koord Nalar Intelektual ‘Wajar, soalnya saya merasakan sendiri bagaimana keluh kesah Badru. Walaupun tergesa-gesa, ungkapnya.

Menurutnya, ‘Secara psikologis sudah tak nyaman lagi. Masa mantan ketua jadi pengurus lagi. Di organisasi manapun tidak ada perlakuan seperti itu dan profesionalisme tidak ada di LPIK’,

Lain keluarga besar LPIK. Lain pula WSC (Women Studies Center) menyayangkan pengunduran diri Badru ‘Sangat disayangkan keluar dari LPIk. Padahal dulu LPIK ibarat tubuhnya. Segala kegiatan dan aktifitas LPIk pasti dilakukan dengan sungguh-sungguh dan diutamakan terlebih dahulu olehnya daripada organisasi lain’, kata Dedeh Ketum WSC.

Walau begitu, Ia medukung segala keputusan Badru. Mungkin itu yang terbaik dan sudah tepat. Sebab Ia mantan Ketum. Meski caranya tak tepat, jelasnya.

Menanggapi tanggapan miring dari pelbagai pengurus dan anggota LPIK, Badru Tamam Mifka ketika ditemui lateral di kosan sementaranya (18/01). Ia memaparkan ‘Wajar saja mereka berkata seperti itu. Sebab segala keputusan pasti ada konsekuensinya. Yang jelas Saya ingin membuktikan kepada kawan-kawan bahwa persoalan pribadi bisa berimbas pada organisasi. Selama ini mereka beranggapan adanya pendikotomian antara masalah pribadi dan organisasi. Padahal, kedua-duanya saling berkaitan’, ungkapnya.

Walaupun dalam tulisan (surat pernyataan-red) itu, hanya gambaran umum dan bentuk ideal satu organisasi. Tapi lagi-lagi masalah pribadi (konplik-red) dapat mempengaruhi dan menggangu stabilitas kinerja organisasi, tegasnya.

Selain itu, mudah-mudahan dilayangkanya surat pengunduran diri sebagai ajang introspeksi diri buat kepengurusan sekarang. Sehingga sikap kekeluargaan dan keterbukaan diantara kita terjaiin kembali, tambahnya.

Menyinggung ketidak harmonisan komunikasi antar pengurus. Menurutnya ‘Memang saya akui untuk masalah pengunduran diri sebelumnya tak pernah di dialogkan kepada siapapun. Namun, bukankah kehadiran ‘Surat Pernyataan’ sebagai bentuk dialog secara tulisan. Karena saya percaya kawan-kawan LPIK lebih pandai dalam menafsir dan memaknai kata-kata’.

Hingga pemberitaan ini diturunkan pihak LPIK secara kelembagaan belum bisa mengambil keputusan, kecuali secara individu berharap forum dialog segera dilakukan. Seperti yang diungkapkan Tedi ‘Kita adakan kumpulan b’ada Maghrib seluruh pengrus guna membahas surat pernyataan tersebut, ujarnya.

‘Mudah-mudahan dengan adanya, surat pernyataan ini dapat mempererat tali persaudaraan kita dan meningkatnya muhasabah, baik secara pribadi maupun lembaga, menuntup perkataanya.

Perkataan senada pun dilontarkan Johan, ‘Harus diadakan semacam ruang curhat. Setiap pengurus atapun angota ketika ada persoalan harus dikomunikasikan dalam forum tersebut.

Selain dialog itu, harus diadakan rencana pesan singkat buat pengurus tersebut. Sebab tak semuanya pengurus dan anggota mahir dalam bicara, terkadang sulit atau sebaliknya, tambah Farid.

‘Serta harus dibentuk team khusus penggerak kesadaran guna membangun kebersamaan dan bertangung jawab, jelas Wanda. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/01;02.57 wib

Surat Pengunduran

SURAT PERNYATAAN

Yang Terhormat,
Keluarga Besar LPIK
di
Saung Kajian



Bissmillahirrahmanirrahim
Salam sejahtera.
Sehubungan dengan Surat Kesediaan Menjadi Pengurus No: 01/B/LPIK/Desember/2006 yang saya terima dan sepakati beberapa bulan yang lalu serta jalannya separuh kepengurusan LPIK periode 2006-2007 yang mencantumkan nama saya menjadi bagian kepengurusan, maka yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Badru Tamam Mifka
Tempat/Tgl Lahir : Tasikmalaya, 15 April 1983
Jur/Fak : KPI/ Dakwah
Jabatan : Ketua Divisi Pers
Alamat : Nomaden

Menyatakan mengundurkan diri sebagai pengurus LPIK periode 2006-2007 sekaligus melepas identitas keanggotan LPIK, dengan beberapa alasan yang sedikit ingin saya uraikan sebagai berikut:

Pertama: Rapuhnya Komunikasi Yang Sehat Sesama Anggota.
Ada apa dengan kita? Kata hampir mengurai air mata…
Aku terlunta meski tak meminta…


Kawan, komunikasi yang tidak nyaman dan sehat dalam organisasi (dalam level pergaulan keseharian) akan mereduksi hakikat kebersamaan kita yang seharusnya dilandasi persaudaran (al-mu`akhah), toleransi (al-tasamuh) dan kasih (al-rahmah).

Tetapi, akhir-akhir ini, gejala agelaste, egoisme dan narsisme telah mengikis keakraban dan sikap saling menghargai serta hilangnya sportivitas diantara kita. Ekspresi yang kekanak-kanakkan dan bebal itu hadir, bisa berupa kekerasan verbal dan psikologis yang tak objektif, penuh dengki, ejekan dan hinaan terhadap pihak lain—diluar wilayah humor, tentunya [manusia makhluk mulia, kenapa harus saling menghina—kecuali “hinaan” khas LPIK yang sanggup dimaklumi oleh anggota yang tahu “sejarah dinamika penghuni LPIK”] Kebebalan lain bisa berupa serangan fisik-laten/ diam-diam yang dapat merugikan orang lain terkait hak miliknya. Tentu saja, karena tradisi mendiskusikan segala hal termasuk persoalan pribadi tidak pernah dibumikan. [Saya sempat punya rencana untuk membuat media umum berupa saran dan kritik buat sesama anggota, tetapi tidak sempat rampung]. Begitulah, kerapkali kita terjebak menjadi sekumpulan orang-orang yang tidak objektif menangani masalah besar bahkan problem keseharian. Akibatnya, muncullah orang-orang yang pintar tetapi tak cerdas, bijak dan arif; penuh dengki, pendendam dan curiga berlebih yang bisa dikategorikan pada patologi kepribadian anggota. Lebih lanjut, muncullah ironi kepribadian. Ada paradoks sifat: disatu sisi bicara tentang wacana kesetaraan dan keadilan, wacana pluarlisme, memuja cinta, mengagumi filsafat, mengolah bathin/semedi, mengaku peka pada perasaan/kalbu dan menyanjung intelektualisme, tetapi di sisi lain pendengki, pendendam, pencaci, picik, suka kekerasan dan begitu mudah termakan informasi yang belum jelas, tanpa sedikitpun memberi keterangan atas sikapnya, tanpa memasuki ruang dialog/ komunikasi dua arah yang lebih terbuka. Lebih gawat jika implikasi dari kelengahan itu sampai melahirkan “dengki kolektif” yang menyebar karena agitasi yang memadati kesadaran-tak selektif terhadap infut informasi dari sesama [kelompok] anggota lainnya. Tak hanya itu, kita acap tergesa menganggap utuh dan valid setiap informasi yang masuk, meskipun informasi itu keliru. Kelak, ini akan menyebabkan fitnah dan kebencian yang menajam sesama anggota jika tidak ada klarifikasi pada orang yang bersangkutan. Soal segala hal yang menyangkut permasalahan anggota dengan organisasi, ketua atau sesama anggota, memang meniscayakan diskusi dan rapat anggota untuk pembicaraan lebih lanjut dengan keterbukaan, sekalipun itu masalah pribadi.

Mentalitas yang melarikan masalah kedalam keengganan upaya pemecahan bersama akan terjebak kedalam penyempitan sikap bernama sinisme, tanathos yang berpotensi destruktif dan—jika dibiarkan—berpotensi merusak hak milik orang lain, dan bebalism iri-dengki akan muncul lebih fatal bagi keutuhan hubungan yang harmonis, baik hubungan emosional sesama anggota atau lainnya. Sebab, persoalan yang kerap dianggap “sepele” itu akan berdampak besar bagi kondisi kenyamanan setiap anggota dalam organisasi.

Akibat lain dari ketidakharmonisan komunikasi itu adalah munculnya kepenatan-meruang yang kemudian meresahkan orang bersangkutan. Dengan kata lain, lembaga dirasakan tak nyaman lagi untuk ditempati karena salah satu unsur ruang (baca:komunikasi) tak berjalan sebagaimana mestinya. Meski tema dalam komunikasi murni-pribadi, tetapi saya tak terlalu yakin pada dikotomi yang “proporsional” dan terpisah dalam hubungannya antara pribadi-organisasi, karena ini menyangkut ranah psikologis anggota sebagai pribadi sekaligus bagian terpenting dari bangunan organisasi. Hal ini memang bisa dianggap sepele, tetapi bagi saya, dampaknya cukup gawat. Misal, seseorang punya masalah-pribadi dengan sesama anggota; lalu muncul ekspresi tidak sehat yang akan menimbulkan ketidaknyaman ruang jika ekspresi tersebut tampak berlebih dan tidak termanage. Sebab, organisasi dibangun oleh elemen-elemen pribadi. Sekedar mengutip Anis Matta, bahwa apa yang ada dalam diri manusia ada 3 hal, yakni akal, hati dan fisik; Jadi—sedikit memodifikasi—perubahan pada skala organisasi hanya dapat terjadi jika setiap individu [yang merupakan bagian dari keanggotaan—mengubah apa yang ada dalam dirinya tersebut. Matta mengungkapkan bahwa akal adalah visi, hati adalah mental dan fisik adalah sikap. Maka, jika tiap pribadinya lumpuh karena konflik yang tak terselesaikan dengan bijak dan baik, rapuhlah separuh pilar kecil kekompakkan dan solidaritas organisasi untuk selalu dalam jalur perubahan. Dengan kata lain, problematika-pribadi-dalam-organisasi yang saya alami punya dampak yang tak kecil bagi kerja yang efektif dalam berorganisasi. Dari kepenatan dan ketidaknyamanan ruang itu, lalu timbullah ketidaknyamanan berekspresi [hoream gadag]. Hilangnya kenikmatan ekspresi dalam ruang berakibat buruk pada persoalan tanggung jawab-kerja kepengurusan saya. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi runyam tersebut dan mengelak dari potensi yang buruk terhadap efektivitas tanggung jawab-kerja saya, maka saya memandang perlu mengalih-tugaskan fungsi koordinator ke pihak lain dalam divisi yang sama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, agar adanya kejelasan kerja Divisi Pers ke depan.


Kedua: Lemahnya Temali Kekeluargaan di Tubuh Organisasi
Ada apa dengan kita? Kian berjarak, satu sama lain…
Begitu retas jahitan hati kita di kain waktu…


Kawan, setiap anggota dalam organisasi ini adalah saudara. Kita memasuki lembaga ini dengan melewati pintu yang sama. Disana kita menghimpun satu sama lain dalam semangat kekeluargaan. Tetapi, yang saya rasakan akhir-akhir ini, sifat kekeluargaan itu tersekat dan lamat di hati saya. Saya menerima perlakuan sikap buah “penyakit” mati-rasa dan pemikiran yang eksklusif—“penyakit” yang tidak peka pada persoalan orang lain, ketidakpedulian terhadap yang lain; “penyakit” yang amat tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan kebenaran orang lain disebabkan mental ciut menerima kekalahannya sendiri; “penyakit” yang membuat kita gembira melihat penderitaan orang lain, penyakit barbarism: berpolah sewenang-wenang karena tahu ada peluang kelemahan pada diri orang lain. Lantas, kita sibuk mencari kemungkinan kesalahan orang lain karena tak sabar ingin gegas mengeksekusi “ad hominem” dengan ekspresi jahat dan menerima kepuasan dalam hasilnya. Apakah itu pelajaran yang selama ini kita raih dari kebersamaan dan permenungan di LPIK? Kita tak pernah sadar, bahwa sekecil apapun pendapat orang lain, harus sesegera kita hormati; bahwa kesalahan sebesar apapun yang dilakukan orang lain, kita mesti arif menyikapinya. Tetapi kita memilih keras kepala mempertahankan pendapat dan keyakinannya hanya karena tak mampu memetakan kekayaan khazanah pemikiran yang berkembang hingga tak sanggup melakukan oto-kritik terhadap diri. Apakah kita memang sebongkah batu? Saya merasakan adanya wabah kolektivisme-eksklusif yang menganggap kelompoknya dalam organisasi secara generalisir benar dengan ukuran standar pribadi. Sungguh, meski kawan dekat atau pacar, jika ia salah, maka salahkan! Itu tanda dari sikap kritis dan sportif kita sebagai anggota LPIK. Tetapi pikiran kritis, disini, kini habis terkikis. Kita seringkali tak pernah tahu, bahwa bersikap kritis terhadap segala hal berarti berharap menemukan kemajuan yang lebih baik terhadapnya. Namun kita malah memendam diri dalam caci maki dan sikap tidak menyenangkan terhadap yang lainnya. Sekarang kita tinggal pilih, menuju rasio dan kesadaran yang sehat atau terbenam dalam bara demagogi dan sugesti-agitasi yang tak jelas juntrungannya?

Mengenai rasa kekeluargaan ini, saya pikir, kita dapat menemukan perasaan saling “memiliki”, dan saling menjaga keadaan diri yang lainnya. Dengan kekeluargaan, organisasi akan menemukan hubungan kerja tiap-tiap anggota dengan sukarela dan kenyamanan, tanpa paksaan, dan tanpa pamrih. Kita bisa saling mengerti tentang posisi masing-masing. Saya berharap lebih banyak tentang kekeluargaan dalam lagu yang saya ciptakan bagi LPIK. Tetapi, nilai-nilai [kemanusiaan, keadilan, kedamaian dsb] yang saya ajukan dalam lirik ternyata hanya sebatas narasi-besar yang tak pernah menyentuh lantai keseharian di lembaga ini. Mars LPIK yang saya buat dengan seorang kawan seolah utopia dan impian yang tak menemukan lintasannya yang jelas. Yang ada adalah iri hati, arogansi, dan besikap dengki dan dendam dengan level yang amat melampaui batas. Akibat dendam, misalnya, kita jadi tak berperasaan merusak materi/benda-benda yang dianggap milik orang tertentu yang tidak disenangi (persona non-grata). Saya sadar, kita semua kerapkali enggan menerima kritik dan nasehat. Kita merasa maha benar. Celakanya, sesuatu yang kita anggap benar itu selalu diabsahkan oleh ukuran pribadi, oleh “aing”. Dari sana, lahirlah egoisme dan akhirnya keakraban satu sama lain tersekat-sekat. Kita merasa tak lagi saling menghargai. Kita acapkali abai untuk menjaga perasaan satu sama lain. Satu sama lain merasa tersinggung, dan saya khawatir jika dendam yang terpendam itu kian mengekalkan lenyapnya rasa simpati sesama anggota. Saya tidak mendramatisir keadaan ini, tetapi saya menemukan banyak “keanehan” ini dibelakang layar dan saya mengalaminya sendiri. Saya berupaya untuk meminimalisir ketegangan ini dengan cara tidak membalas [reaksi], tetapi saya lagi-lagi menemui kegagalan. Seolah ada konflik yang kadung menjadi batu, menjadi “sistem” yang baku karena sikap keras kepala dan keangkuhan. Saya memang tak betah terlalu lama diam dalam suasana seperti itu. Berangkat dari kekalahan itu, maka saya memandang perlu keluar dari sistem dan pusaran konfik itu, sekedar meredakan bising ketegangan yang amat pekat saya rasakan selama ini.


Ketiga: Lunturnya Tradisi-tradisi LPIK Dalam Keseharian.
Ada apa dengan kita? Aku mengering dalam catatan…
Suara lamat, dan huruf kian terlambat…


Kawan, lunturnya kekompakkan anggota dalam menjalankan tradisi-tradisi LPIK [membaca, menulis, diskusi dan meneliti] dalam keseharian mengancam hakikat lembaga sebagai gerbong intelektual yang akan dan telah berhadapan dengan realitas luar. Akibat kikisnya hakikat, secara otomatis organisasi secara keseluruhan mengalami fase regress, bahkan bisa hanyut menuju arah kehancuran [desentrum] visi dan misi—atau bahkan bisa sampai kematian pada level lembaga. Padahal, tuntutan kompetisi dalam khazanah keilmuan di lingkungan kampus meniscayakan penguatan metodologi cara berpikir dan pengetahuan yang sistematis dari masing-masing anggota di internal lembaga yang notabene konsentrasi pengkajian. Kerucut runcing saja tidak cukup untuk tegak menunjuk langit, harus ada dasar bangunan yang kokoh dan eskalatif agar seimbang. Keberanian saja tidak cukup, mesti ada dasar yang kokoh dalam logika, argumentasi, data-data [fakta] dan kepekaan analisis. Itulah yang akan menjadi modal kepercayaan diri [self convidence] dalam kancah keilmuan dan dunia ke-cendikiawan-an—bukan melulu jadi epigon [pengekor]. Saya punya pengetahuan soal cendekiawan; Hana E. Kassis [1983] yang dikutip Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Cendikiawan Muslim memiliki beberapa pengertian, diantaranya: [1] Orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas dan mendalam; [2] Orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif/yang halus perasaannya; [3] Orang yang memiliki pandangan/wawasan (insight) yang luas dan mendalam; [5] Orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat/ luas; dan [6] Orang yang mempunyai kebijaksanaan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil. Ciri-ciri tersebut terangkum dalam kepribadian manusia-manusia tercerahkan [muthahar/ rausyanfiqr], kepribadian yang tak melulu mementingkan dirinya sendiri, merasa paling benar, merasa paling kuat dan amat keras kepala, tetapi kepribadian yang rendah hati, melek kondisi sekitar dan—meminjam bahasa Syari`ati—sadar akan keadaan kemanusiaan [human conditions]. Semua “kekayaan kepribadian” itu akan tercapai dengan tradisi-tradisi LPIK jika kita tak malas melakukannya. Saya yakin, tradisi-tradisi itu akhirnya akan menemukan puncaknya dalam aktivitas berpikir dan berekspresi yang “jalang, lantang & sarkas” [khas LPIK] , tetapi tetap bijak, arif, cerdas, objektif, teliti, kreatif dan—tak lupa—humoris.

Tradisi-tradisi itu juga—jika dijalankan dengan sungguh-sungguh—konon, akan membuat kita kritis dan menambah rasa ingin tahu [coriusity]. Namun, ada satu hal, mengenai membaca misalnya, membaca kritis merupakan loncatan kreativitas pikiran dari narasi-besar dalam-buku menuju problem keseharian dalam-realitas. Kita bermain analogi, identifikasi, relevansi, pembumian [down to earth] teori dengan realitas. Membaca harus diikuti dengan menulis, diskusi dan observasi atau mengamati langsung, tidak apriori, untuk penguatan argumentasi. Yang terjadi, celakanya, kita kerap begitu pintar menguasai buku barat misalnya, tetapi sangat buta dengan efek-yang-sama dari struktur analogi ilmu dan gagasan dalam konteks persoalan terdekat disekitar kita. Kita membaca Postmo, chaos, eksistensialisme, fenomenologi, humanisme, teologi, butterfly effect, iluminasi, sosialisme dan sebagainya., tetapi tak cerdas menganalogikan “kupu-kupu” misalnya, seolah kita dengan segala tindakan terikat dengan jejalin ruang realitas-sosial yang punya potensi “badai” dalam beberapa “kepak sayap” kita. Menyoal hilangnya loncatan kreativitas dalam pola membaca kritis adalah lenyapnya kekompakkan sharing dan membedah teori untuk didiskusikan dengan beberapa kepala yang berbeda dalam memberi makna dan tafsiran baru dan kontekstual, apalagi jika ditambah keengganan mengolah nalar dalam kegiatan menulis, semakin lengkaplah jarak antara benih teori dan ladang realitas. Lenyapnya tradisi baca dan nulis bareng itu akibat lebih dominan-nya gaya hidup yang—secara umum—mengasyikkan. Saya pikir, keempat tradisi yang saya sebut diatas memang tak pernah mengasyikkan bagi kebanyakan orang. Tetapi ingat, kita penghuni lembaga pengkajian. Tentu saja, jika kita mau, kita—dengan tradisi-tradisi itu— akan mendapatkan “keasyikan” tersendiri: mampu berpikir kritis, peka realitas, bijaksana dan sebagainya dan sebagainya. Beberapa bulan ke belakang saya menemukan “keasyikan” itu, tetapi LPIK—sebagai media aktualisasi diri—sudah tidak kondusif dan tidak memberikan keseharian yang nyaman hingga keringnya gairah pergaulan yang awalnya diharapkan tetap saling mempertaut-erat hubungan emosional masing-masing anggota. Melihat kurang kondusifnya keseharian LPIK tanpa “ruh” tradisi-tradisi dan baunya ruang dengan sifat infantilism yang menempati setiap sudut dengan tindakan jahil, ancaman “kekerasan” atau “serangan” pada personal dan seterusnya, maka saya memandang perlu keluar dari “neraka” organisasi ini dengan melepas keanggotaan saya secara total, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan alasan ketenangan bathin dan tolakan mutlak terhadap beban sukarela keanggotaan yang memungkinkan saya tetap terlibat kembali dalam nyala api ketidaknyamanan dalam berorganisasi.


Keempat: Sekaratnya Kerja Kepengurusan
Ada apa dengan kita? Yang berserak itu sulit merangakai sahut…
Matahariberulangkali tak juga dimengerti…


Kawan, sejauh saya di LPIK, persoalan disfungsi kepengurusan memang hal yang tak aneh; bahkan di organisasi lainpun kondisi serupa seringkali terjadi. Bahkan, ketika saya menjabat sebagai ketua umum LPIK periode 2005-2006, kondisi rujit itu terjadi. Yang saya heran, kenapa begitu kekalnya kultur sakahayang dalam urusan organisasi? Kenapa perasaan bertanggung jawab kita amat rendah? Bukan hanya soal kita abai dan terbatas sembari meremehkan tanggung jawab organisasi karena pemahaman yang dangkal sebatas pemahaman melandingkan program kerja, tetapi lebih dari itu: tanggung jawab intelektual dalam kancah pergulatan wacana kampus. Kita semua tahu, LPIK hanya “perahu” yang kita tumpangi dengan garis arah yang kita tentukan bersama; ada nakhoda dan para awak kapal—sepenuhnya proses laju kita yang menentukkan. LPIK hanya benda mati! Disisi lain, kita sudah keburu bangga pada citra intelektualisme dan jejak-jejak kebesaran sejarah LPIK sembari tak menindaklanjuti ikhtiar yang sama—minimal memodifikasi kerja keorganisasian dan gairah internalisasi wacana ke ranah publik. Kenapa begitu kompak kita dalam soal kejatuhan dan kegagalan? Selalu, tak ada kebiasaan dimana ketua /koordinator anggota mesti mengetahui tahap-tahap kemajuan tiap-tiap anggota [evaluasi]. Selalu, kita tak pernah sadar bekerjasama. Selalu, kita tak pernah merasakan lelahnya kawan kita kerja sendirian. Saya tahu, LPIK hanyalah wadah yang akan memburuk jika melulu dipadati keinginan-keinginan subjektif tanpa sedikitpun terbuka pada realitas diluar diri. Tetapi saya sadar, parameter kehebatan organisasi tidak diukur dari berapa banyak anggota baru mendaftar [kuantitas], tetapi lebih diukur dari kualitas-kualitas anggota yang efektif dan memakna saat ini juga dikemudiann hari. Kita tiba-tiba dapat memahami LPIK dengan rumus E=MC2-nya Einstein yang bicara tentang energi yang sangat besar dari gabungan reaksi dalam jumlah yang sangat besar—tentu saja, bukan bicara gemuruh kuantitas, tetapi semangat bekerjasama tiap anggota. Tetapi, harapan yang satu untuk bangkit tak pernah ditemani keriuhan semangat dari yang lainnya. Tidak adanya “persaingan” yang positif diantara anggota. Misal, kompetisi berkarya dan mengembangkan inisiatif serta gagasan dalam berorganisasi. Saya memang berupaya untuk mengelak dari kekeringan ruang, tetapi LPIK, bagi saya pribadi, sudah tidak kondusif lagi dalam segala hal; saya tak bergairah melulu mengendapkan kekecewaan dan kegelisahan, maka saya memandang perlu lenyap dari denah LPIK dengan menanggalkan komitmen-formal yang mengikat keanggotaan saya sepenuhnya.


Kelima: MatinyaTradisi Penalaran Anggota

Ada apa dengan kita? Mata akal tak mengetuk kesepianku…
Cahaya tak membangunkan kehausan dinginku…


Kawan, selama di LPIK ini, saya merasa bahwa perkumpulan ini belum menghidupkan tradisi penalaran secara kolektif. Saya percaya, membangkitkan daya nalar individual [the individual power of reason] sebagai dasar yang paling urgen menentukan dari kemampuan analitis dan sintesis, adalah tanggung jawab anggota yang juga sebagai mahasiswa. Di LPIK, kita kehilangan “manusia penganalisis” [man of anayisis] Disinilah ironi mahasiswa terjadi. Kita mesti tahu, sebagai penganalisis, mahasiswa bukan semata-mata pemburu ijazah, melainkan merupakan penghasil gagasan dalam bentuk pemikiran yang teratur. Tak hanya itu, mengenai penalaran ini, Cicero [pemikir Romawi Kuno], menghubungkan penalaran dengan intelektualitas dan kebijaksanaan: wise men are instructed by reason; men of lessunderstanding by experience; the most ignorant by necessity, and beasts by nature.” Penalaran, menurut Cicero, yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Dalam keseharian, misalnya, kita juga perlu menganalisis sejauhmana penalaran seseorang sebelum berburuk sangka terhadapnya. Itu contoh kecilnya. Jadi pada hakikatnya penalaran itu ialah:”proses jalannya pikiran dari suatu data [fakta] menuju suatu konklusi.” Tetapi, kita memang begitu bebal, bukan saja tak punya tradisi penalaran, menganalisis diri sebagai mahasiswa saja jarang dilakukan. Saya menemukan pengetahuan baru, bahwa mahasiswa itu terbagi dua “gelempengan”: yaitu, mahasiswa extravert, yaitu mahasiswa yang aktif [bukan aktif nganjuk], dinamis, optimis, sportif [bukan diartikan bersifat olahraga], toleran, amikal [bersahabat] berhati terbuka, mudah bergaul dan mudah mendapat kawan. Ia melihat keluar dan bertanya kepada dirinya: “apa arti aku bagi orang lain?” Lawannya adalah mahasiswa introvert, mahasiswa yang tertutup, pasif [terhadap hal-hal yang positif], pesimistis, egoistis, jahil dan pemalas. Ia melihat kedalam dirinya dan bertanya: “ apa arti orang lain bagiku?” Mahasiswa extravert bersedia untuk menyesuaikan dirinya kepada lingkungan dan sanggup mengarifi segala problem yang terjadi. Sedangkan mahasiswa introverst sebaliknya, menghendaki lingkungan menyesuaikan diri pada dirinya. Dari jenis mahasiwa yang saya sebut terakhir, kerapkali mendapati otaknya memilih konsumtif ketimbang produktif menghasilkan gagasan yang otentik. Jangan sampai kita hanya jadi reservoir ilmu. Tetapi, kita selama ini kita hanya mengalami keadaan diri yang menghabiskan energi kreatif dengan sikap-sikap yang tidak sportif, jahil, egoistis dan lainnya. Kita acap menghabiskan pikiran dan waktu keseharian dengan tema-tema sepele yang panjang dan ekspresi yang memuakkan bagi yang lainnya. Kita melulu ikut-ikutan bersikap dan berpikir yang seragam hanya karena yang diikuti teman sejawat, idola atau bagian dari kelompok sendiri. Kita tidak kritis. Kita tak punya tanggung jawab yang sadar, malah bergerak terlalu mekanis dan egois; mengikuti arus begitu saja tanpa mengerti riak sendiri. Kondisi yang pejal dan mengeras itu membuat saya memandang perlu membuka jendela lembaga dan menatap langit luas ketika saya tahu, bahwa langit yang sama akan berbeda nuansa jika dilihat dari tempat yang berbeda dengan udara yang tak terlalu sumpek.

Khutbah Terakhir

Benar kata sufi terdahulu, bahwa inti hidup adalah kehadiran.
Kehadiran yang terbaik bagi yang lain, kehadiran yang memberi makna
pada kehidupan…
Tetapi, aku kini hadir tanpa kehadiran disamping kalian, seperti nyanyi sunyi
yang gemetar menaruh jejak dalam segegas bayangan dan kesementaraan…

Surat pernyataan ini saya buat dengan sadar, dengan pertimbangan yang matang selama hampir 2 minggu setelah saya kian mendapat “kejanggalan” dalam tubuh organisasi yang sempat sedikit saya uraikan diatas. Entahlah, “kejanggalan” itu menyalakan resah di dada saya, tetapi saya orang yang tak berharap senang membalas dengki dengan kedengkian yang sama, membalas kebekuan dengan beku yang sama, kejumudan dengan jumud yang sama, kemalasan dengan malas yang sama, dendam dengan rasa dendam yang sama, sombong dengan sikap sombong yang sama, membalas bebal dengan bebal yang sama. Oleh karena itu, saya pikir, ada baiknya jika dalam hal tertentu, yakni relasi sesama anggota dan kondisi egoisme-eksistensial yang kian memburuk dapat—setidaknya—terminimalisir dengan hengkangnya saya dari organisasi. Saya tak berharap menyesal dengan keputusan ini. Saya tahu, kerja saya belum selesai, tetapi apa lacur, kepenatan, ketidaknyamanan dan kejenuhan sudah kadung berdarah dan berkarat, sudah mulai entah. Akhirnya saya percaya, kenyamanan psikologis & fisiologis dalam berorganisasi menjadi hal yang penting, bagi setiap anggota. Meski saya berada dalam keputusan yang tak seharusnya dan tak terlalu menguntungkan, tetapi saya mesti optimis pada generasi muda LPIK yang saya pandang memiliki potensi yang besar untuk memberi nafas pada lembaga kajian ini. Saya tak mau terlalu lama membayangkan seseorang diantara kalian akan senang dan tersenyum puas dengan keputusan hengkangnya saya dari LPIK; saya mafhum. Mudah-mudahan hati yang penuh dengki, ketidakpedulian, dan sikap yang kasar memberikan “solusi terbaik” bagi segala problematika keseharian yang kelak centang perenang dan bathin yang tak kunjung tenang. Saya tak punya jaminan bahwa saya akan lebih baik sekeluarnya dari LPIK. Tetapi, terima kasih untuk semuanya, atas kenangan dan pengalamannya—meski kadang rumit dan tak terlalu enak dicicipi, tetapi sangat berharga bagi saya. Pengalaman saya selama hampir 3 tahun di LPIK sangat menantang—untuk meyebut beberapa hal—saya jadi bagian dari komunitas yang sempat mampu menahan 3 hari menahan kelaparan dan begadang dalam intensitas yang tinggi dengan kemungkinan teori dilatasi waktu fisika kuantum Stephen Hawking dan matematika Roger Penrose. Saya menemukan humor. Saya mendapatkan pengalaman berharga. Saya mendapatkan ilmu yang berharga. Semoga LPIK ke depan tambah keren! Maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan saya selama di LPIK, baik disengaja ataupun tidak. Saya tak berharap punya niat untuk memutuskan tali silaturahmi dengan kawan-kawan, karena saya teringat Abu Kharash Al-Sulami pernah berkata, bahwa memutuskan hubungan sesama manusia selama setahun adalah sama jahatnya dengan menumpahkan darahnya. Akhir kata, ambil hikmah dari segala hal dan peristiwa. Pelajari masa lalu tanpa nyeri, jalani kini dengan berani, rencanakan masa depan dengan harapan yang penuh pertimbangan. Mudah-mudahan kita berada dalam kesehatan lahir dan bathin. Selamat berkarya untuk semua, dalam bentuk apapun. Selalu sukses buat LPIK!

Demikian surat ini saya sampaikan dengan sebenar-benarnya. Surat pernyataan ini dianggap sah sejak tanggal ditetapkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Cipadung, 10 Januari 2007 _03:35 pm

Salam hangat,
Badru Tamam Mifka

Ibu....

Surat Tertunda Buat Ibu
Oleh Endang Suhendang

Ibuku yang terhormat. Semoga kau selalu dalam keadaan sehat dan selalu diberikan kekuatan dan kepercayaan kepadaku, kepada anakmu ini yang selalu membuat hari-harimu melelahkan karena kecapean. Sekarang ini kau seharusnya menikmati sisa umurmu dan waktumu untuk bersantai dirumah bersama anak dan cucu-cucumu yang lucu. Juga seharusnya kau beribadah dengan tenang (walaupun saat inipun engkau tidak pernah meninggalkan shalat malam dan membaca Qur'an) tapi alangkah tenangnya ibadahmu bila tidak dibarengi dengan badan dan fikiran yang sangat lelah karena seharian bekerja.

Tapi itu semua belum kau nikmati, karena aku. Ya karena aku anakmu yang memaksakan untuk terus menuntut ilmu walaupun dengan kondisi yang menurut sebagian orang tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah sampai tingkat Perguruan tinggi. Aku sebenarnya sangat sedih dan sangat malu pada ibu. sampai sekarang, sampai saat ini aku menulis tulisan ini aku menggantungkan hidupku pada ibu. Aku belum bisa membalas jasa-jasamu dalam bentuk yang lebih nyata. Walaupun aku tidak pernah melewatkan waktu setelah Shalat yang lima waktu maupun hari dan saat yang lain untuk selalu mendo'akan mu.

Tapi itu semua belum cukup dan tak akan pernah cukup untuk membalas jasa baikmu. Aku malu pada orang-orang dikampung, pada teman-temanku waktu sekolah SD dulu, mereka semua sudah bisa membahagiakan orang tua mereka dengan penghasilannya. Walaupun aku juga sadar itu bukan satu-satunya yang bisa membahagiakan mereka (para orang tua). Tapi memang itu yang mudah dan paling jelas dirasakan mereka.

Para orang tua lebih membutuhkan uang daripada kabar gembira karena aku mendapat prestasi misalnya. (walaupun ibuku tentunya bergembira). Mereka tidak mau tahu anaknya kerja sebagai apa dan dari cara seperti apa? Yang mereka tau anaknya pulang membawa uang yang banyak, kemuadian anaknya membagi-bagikan kepada saudara-saudaranya juga para tetangganya. Dengan begitu tak salah lagi predikat sukses akan disandang anaknya. Dan para orang tua merasa bangga karena telah mendidik anaknya menjadi orang "sukses". Iya seperti itulah gambaran masyarakat dikampung kita ibu. Aku gak tau dengan kau apakah seperti mereka (para orang tua yang lainnya). Aku pikir sama seperti mereka ( maaf bukan berburuk sangka). Tapi aku berharap kalupun kau sebelumnya berfikir seperti itu sekarang bisa merubahnya.

Tapi memang aku melihat itu sebuah hal yang sangat wajar untuk sebuah masyarakat kampung yang tingkat pendidikannya masih rendah. Mereka tidak peduli dengan keadaan yang lebih jauh. Mereka tidak peduli siapa pemerintahan yang memimpin sekarang, dari partai ataupun dari golongan mana. Yang mereka perlukan adalah harga-harga murah, pendidikan murah, dan juga mereka mudah mendapatkan pekerjaan. (fenomena seperti ini juga bisa ditemui pada sebagian masyarakat kota). Namun aku kadang prihatin dengan kondisi masyarakat seperti ini. Kondisi masyarakat seperti ini diakibatkan karena secara umum mereka tidak berpendidikan. Kondisi seperti ini akan berbeda seandainya masyarakat dikampungku rata-rata lulusan perguruan tinggi ataupun pernah mengenyam pendidikan tinggi. Tentu jika memang benar prediksiku ini betapa pentingnya pendidikan.

Atau aku melihat gejala yang lain yang nampak pada masyarakatku yaitu merasuknya budaya matrelaisme. Dan yang lebih mengerikan mereka tidak sadar bahwa mereka sedang terkena penyakit tersebut. Mungkin lagi-lagi ini diakibatkan karena mereka tidak tahu. Dimana kita tau budaya matrelisme mengukur segala sesuatu menurut ukuran-ukuran materi. Dalam hal apapun masyarakat akan menilai seseorang dengan ukuran kekayaan. Orang akan dianggap sukses dan terhormat jika mereka memiliki kekayaan yang berlimpah. Sungguh sangat mengerikan dan muak mendengarnya. Setidaknya itu dibuktikan dengan perlakuan-perlakuan mereka (masyarakat) yang mengelu-elukan mereka (orang yang kaya). Mereka (masyarakat) jika melihat atau bertemu dengan orang kaya bagaikan bertemu dengan seorang raja. Mungkin ini diakibatkan oleh sulitnya system feodalisme yang tanggung sudah melekat dan sudah menjadi sebuah kebudayaan yang sulit dihilangkan.

Mudah-mudahan gejala masyarakat seperti ini tidak termasuk pada diri ibu. Aku berharap ibu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan ini. Materi memang perlu dan harus diusahakan, tapi itu bukan merupakan segala galannya. Yang lebih penting dari itu semua yaitu masyarakat bisa bersikap arif dan bijaksana. Adalah sangat dirindukan olehku ibu, yaitu dijungjungnya nilai- nilai kejujuran dan kebenaran oleh masyarakat kita. Bukankah masyarakat dikampung kita semuanya beragama Islam. Tapi dalam prakteknya tidak jauh berbeda dengan masyarakat kapitalis (bahkan lebih dari itu ). Bukankah budaya matrelisme dan sikap menghalalkan segala cara tidak terdapat pada ajaran Islam?.

Aku sebagai seorang anak yang sedikit memiliki pengetahuan karena aku sekolah sedikit tinggi merasa bahwa ada sesuatu yang harus diluruskan pada diri orang tua dan masyarakat pada umumnya. Jika kita (masyarakat) melihat dan menganggap bahwa kehormatan ditentukan oleh kekayaan, hal ini akan menjerumuskan anak-anakmu untuk melakukan cara apa saja yang bisa dilkukan agar bisa jadi orang kaya. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan hal-hal yang secara norma agama dan kebudayaan luhur kita sangat bertentangan. Itu baik jika dengan persepsi yang sudah tanggung mendarah daging pada orang tua atau masyarakat melahirkan stimulus pada anak sehingga menimbulkan rasa dan tekad yang kuat agar bisa lebih berusaha lebih keras dan gigih lagi ( tentunya dengan cara-cara yang benar dan jujur). Tapi itu sangat jarang sekali.

Yang akan lahir dengan kondisi masyarakat seperti itu yaitu lahirnya hukum rimba dan hukum laut, dimana yang kuatlah yang berkuasa dan yang bisa makan hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk bersaing dengan sesamanya. Dengan kondisi seperti ini generasi selanjutnya akan melanggar Rumpaka-Rumpaka adat yang dulu dijungjung tinggi oleh karuhun kita. Aku sanksi ibu pada orang tua di kampung kita apakah mereka memikirkan masa depan keturunan mereka kelak, apakah pernah mereka menanamkan moral kejujuran dan kebenaran walaupun dalam keadaan bagaimanapun.

Ibu, aku melihat orang tua lebih suka mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana caranya memperoleh kedudukan walaupun dengan cara-cara yang licik dan bejat. Mereka nyaris lebih bersifat individualistik. Aku semakin heran kadang orang menyebutkan masyarakat desa itu lebih bersifat kekeluargaan, toleransi dan tenggang rasa mungkin kalau dalam istilah sosiologi disebut gemeinschaft.

Dampak ini, ya dampak dari budaya masyarakat yang seperti ini tidak terkecuali ikut mewarnai hidupku ibu. Aku juga dibesarkan pada masyarakat seperti ini jadi mau tidak mau akupun merasakan pandangan yang sedikit sama dengan warga masyarakat. Aku sekarang berada dalam pergulatan ajaran dan kebudayaan yang saling bersebrangan dan saling bertolak belakang. Sebagai seorang mahasiswa tentunya nilai-nilai idealisme sangat kental sekali pada diriku. Tapi disisi lain budaya pragmatis dan hedonis juga datang dari berbagai sudut dan menyeretku dalam dilema pilihan yang sulit untuk dipilih.

Disatu sisi aku ingin sebagai seorang yang dihirkan dikampung yang kental dengan budaya merantaunya ingin pulang kekampung pulang ke ibu dengan membawa ole-ole dan uang yang banyak sebagai hasil usaha dikota. Juga sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu dan sedang berada diperguruan tinggi yang konon menurut sebagian orang akan menjadi orang terpandang dan punya kedudukan dan jabatan yang tinggi aku ingin pulang dengan kabar yang ku bawa bahwa aku sekarang sudah menjadi apa dan bekerja dimana.

Hal –hal seperti itu ibu selalu menghantui pikiranku dan membuat tidurku tidak nyenyak bahkan aku kadang berpikir selama aku belum jadi "orang" badanku tidak akan pernah gemuk karena memikirkan hal ini. Walaupun aku tidak pernah melewatkan makan. Akupun tidak bisa memungkiri keinginan diri seperti keinginan ibu atau orang tua yang lain. Tapi apakah dengan sekolah lantas kita bisa menghasilkan uang yang banyak dan pekerjaan yang enak? Aku pikir tidak seperti itu. Sekarang zaman yang susah ditebak, kadang seseorang dengan pendidikan formal hanya sampai SD setelah merantau jauh dan lama dia pulang dengan hasil yang menggembirakan (jadi orang kaya). Hal seperti ini membuat sebagian masyarakat mengeneralisir keadaan dan mengahrapkan hal yang sama terjadi pada anaknya atau keluarganya. Walaupun itu sebuah hal yang wajar. Tapi sangat tidak bisa aku terima dimana kegagalan berpihak pada kita, cibiran-cibiran secara tidak langsung kontan bertubi-tubi menghampiri.

Gejalan seperti entah dari mana sumber dan pangkalnya? Aku sendiri bingung menghadapi masyarakat yang disatu sisi tekun melaksanakan ritual syariat agama tapi disisi lain kehidupan sosial yang sangat membuat pusing kepala.

Hanya pada ibu aku bisa berpesan, sebagai wujud cinta dan pengabdian tulus dari anakmu. Maafkan anakmu ini yang belum bisa memberimu uang untuk kau belikan kain yang akan dipakai untuk shalat Ied atau keperluan yang lain. Inilah wujud cintaku pada ibu yang bisa kuberikan, inilah ladang pemahaman ku selama kuliah. Aku menemuakan sesuatu yang lain dibalik keramahan orang di kampung kita. Sekali lagi Maafkan aku ibu. Aku bukan lancang menasehati ibu, tapi aku mengungkapkan apa yang selama ini jadi unek-unek dalam hati. Aku tau ibu berbeda dengan orang tua yang lain makanya ibu masih bersedia dan tlus kerja keras demi aku. Hanya aku mohon maaf seandainya suatu saat aku mengecewakan ibu, bukan aku mengharapkan kegagalan, tapi sebagai manusia yang hanya bisa berusaha dan berdo'a tentunya kita tidak bisa memastikan apa yang bakal terjadi pada kita, pada aku ini. Aku akan berusaha mewujudkan cita cita aku dan keluarga dengan sekuat tenaga.

Aku mohon doa restu darimu ibu
aku mohon berkah darimu ibu
aku mohon pengertian darimu ibu
aku mohon ampun adrimu ibu
aku mohon izin darimu ibu
aku berdo'a intukmu ibu
semoga kau panjang umur dan selalu dirahmati oleh Allah
semoga aku bisa membalas jasa-jasamu
walau aku tau jasamu tak akan pernah terbalaskan


Sembah sujud dan Bakti putramu
Pun Endang Suhendang